Mohon tunggu...
Mira Herlina
Mira Herlina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi - Universitas Padjadjaran

Penggemar musik yang tertarik dengan kehidupan anak dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Dini Mengapa Menjadi Akar Kemiskinan yang Sulit Teratasi?

31 Oktober 2024   09:20 Diperbarui: 31 Oktober 2024   10:22 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kampanye Pencegahan Pernikahan Usia Dini Sumber birokesra.babelprov.go.id

Di Indonesia, pernikahan usia dini bukanlah sesuatu yang baru melainkan telah menjadi fenomena yang mengakar dalam kehidupan masyarakat, terutama di daerah pedesaan dan wilayah-wilayah dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Pernikahan usia dini kerap dianggap sebagai solusi sosial---baik untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga maupun untuk menghindari stigma sosial. 

Namun, di balik itu semua, praktik ini justru melanggengkan siklus kemiskinan yang sulit untuk diatasi. Di Indonesia Undang-Undang terkait pernikahan telah diatur dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 mengatur bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. 

Undang-undang ini mengubah ketentuan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. 

Namun, meskipun telah diatur dalam undang-undang angka pernikahan usia dini di Indonesia masih tergolong tinggi. Tentu saja ini menjadi hal yang meresahkan, karena dampak buruk dari pernikahan dini tidak hanya akan dirasakan oleh individu yang terlibat, tetapi juga berpengaruh terhadap masyarakat luas. Pernikahan usia dini tidak hanya merampas masa depan generasi muda, tetapi juga memperparah kemiskinan struktural dalam jangka panjang.

Memutus Akses terhadap Pendidikan dan Peluang Ekonomi

Salah satu dampak terbesar dari pernikahan usia dini adalah hilangnya akses pendidikan bagi anak-anak, terutama anak perempuan. Ketika seorang anak menikah di usia remaja, fokus hidupnya beralih dari pendidikan ke tanggung jawab rumah tangga. 

Di daerah DKI Jakarta misalnya, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2023 ada sekitar 9.131 anak di Jakarta berstatus menikah di usia anak dan tentu saja mereka yang menikah itu terpaksa menghentikan sekolahnya. 

Hal ini sangat disayangkan, lantaran Jakarta merupakan kota besar yang memiliki sekolah-sekolah yang memiliki tingkat mutu pendidikan yang baik dibandingkan daerah lain. Data menunjukkan bahwa mereka yang menikah pada usia dini memiliki kemungkinan lebih besar untuk putus sekolah, yang secara langsung membatasi peluang karir mereka di masa depan. 

Tanpa pendidikan yang memadai, mereka tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja modern, sehingga mereka rentan terjebak dalam pekerjaan tidak menentu dan berpenghasilan rendah. Lingkaran ini berlanjut ke generasi berikutnya ketika anak-anak mereka juga tumbuh dalam lingkungan dengan akses pendidikan dan ekonomi yang terbatas.

Dampak Kesehatan yang Memperberat Kondisi Ekonomi

Pernikahan dini juga membawa risiko kesehatan yang tinggi, terutama bagi remaja perempuan. Kehamilan pada usia muda meningkatkan risiko komplikasi medis, seperti preeklamsia, anemia, hingga kematian ibu dan bayi. Biaya kesehatan yang tinggi untuk mengatasi komplikasi-komplikasi ini sering kali harus ditanggung keluarga, menguras tabungan, dan semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun