Kau buka mulutmu lebar,
Dayamu kuat dengan kaki tangguhmu,
Gigi putihmu kuat, menakutkan
Urat perutmu bagai pohon aras,
Pahamu saling menjalin sangat kuat,
1.500 kg mampu untuk membunuhku,
Aku tak suka, kau menakutkan.
Di bawah teratai kau menderum,
Bersembunyi dalam gelagah,
Bersenjatakan bagai kekuatan pedang,
Pohon-pohon menanungi teduh,
Paya kulihat melindungimu,
Pun dengan gandarusa di sana.
Aku diam, aku bingung,
Aku marah, kesal dan marah,
Tak tertahankan lagi, marah
Tak perlu percaya, aku tak butuh,
Aku muak, karena aku tak bisa,
Diam, marah aku.
Mau percayakah?
Itu katamu? Bagaimana bisa?
Aku menderita, sangat,
Kesakitan, sedih dan kecewa,
Aku tak dapat mengurangi arus itu,
Meski aku ingin melakukannya.
Aku diam, berpikir dalam kalbu,
Aku tak mau begini lagi,
Dan...aku merasa menyesal,
Mengapa aku menuntutmu?
Apakah aku baik, hebat dan kuat?
Dan...kembali aku menyesal.
Kutau rencanamu tak pernah gagal,
Aku tau, aku paham itu,
Semua bisa terjadi, pun aku tak sudi,
Pengetahuanku menjadi alasan,
Temanku menjadi panduan,
Bahkan dia, kekasih jiwaku,
Kata orang, aku dengarkan
Kata mereka lagi, aku iyakan.
Kukira kalau aku baik akan baik semuanya,
Kuberikan, kau akan balaskan,
Aku takut, maka akan kau makmurkan,
Kuberi banyak akan kudapatkan banyak,
Ternyata, kau menyakitiku, aku kecewa,
Aku bingung dan diam.
Diamku membuatku berserah, kau baik selalu,
Mataku terbuka, kau ada di sana dan tak pergi kemana jua,
Aku menyesal, kucabut kata-kata kasarku,
Sombongnya aku di depanmu,
Aku sadar dan malu, semua itu egoku.
Kini, jauhkanlah murkamu dariku,
Biarkan aku merenung menyesal,
Jadikan aku diam, karena aku hanya debu,
Aku terduduk dalam debumu,
Abu dan debu milikmu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H