Mohon tunggu...
Mirah Delima
Mirah Delima Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar dan Mendengarkan

Belajar dan Mendengarkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkin Ngga Agorafobia Mural?

29 Agustus 2021   05:05 Diperbarui: 29 Agustus 2021   15:04 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih dengan hiruk-pikuk gambar mural, ceritanya. Sudah ada beberapa mural, termasuk tindakan pemerintah. Sampai menjual kaos saja, pakai sablon tertentu berurusan ke aparat kepolisian. Meski itu adalah pekerjaan tetap, seorang sabloner. Ia perlu lapor dan melakukan permohonan maaf dengan proses berita acara tentunya. Meminta maaf dan tidak akan melakukan pencetakan kaos senada lagi. Si sabloner perlu ide-ide yang “lebih kreatif”, jangan ikut-ikutan saja.

Alih-alih mau diciduk aparat, sudah pasti seniman mural dilanda ketakutan, masyarakat juga. Selain bingung dan gelisah. Walaupun alasan yang dirasakan “kurang pas” ya. Ngga beda dengan pernyataan dari pemerintah setempat “kurang pas” letak mural tersebut. Menganggu ketertiban umum. Rencananya akan difasilitasi tempatnya kreativitas para seniman di kota Tangerang.

Lagipula, gambar mural itu menimbulkan ketidakpahaman di masyarakat. Karenanya selain warga, seniman, para pengamat dan akademisi juga berkomentar dan bertanya. Berbagai pandangan atas mural-mural itu.

Agorafobia Mural?

Terkesan ada rasa takut yang mengarah ke gejala agorafobia. Atau sosial fobia, kali. Agorafobia dan sosial fobia termasuk fobia kompleks. Gejala yang terjadi hampir mirip. Ketakutan dan kecemasan pada situasi tertentu. Agorafobia perasaan yang terjebak di tempat umum.  Atau sulit untuk dapat melarikan diri, situasi sulit tidak mendapatkan pertolongan. Kalau ada serangan maka menjadi panik. Mungkin panik terhadap mural-mural yang mengkritisi. Bisa jadi. Ada gejala untuk itu.

Kita mungkin pernah mengalami gejala agoraphobia atau fobia sosial. Mengutip berita di media Kompas sebelumnya, ada pernyataan dari pengamat komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Terjadinya kebingungan di publik untuk mural “404:not found”. Mirip kepala negara tetapi sebenarnya bukan. Tidak ada menyebutkan identitas dan keterangan yang mengarah ke satu orang. Apalagi ke kepala negara Indonesia. Masyarakat sudah tentu menghormati dan menghargai. Masyarakat masih berbudaya. Itu hasil demokrasi dari rakyat Indonesia, kok. Artinya, publik ngga paham permasalahan yang menyebutkan mural itu salah karena apa. Alasan salah apakah didasari sebagai penganggu ketertiban umum atau substansi moral. Atau alasan lain.

Institut Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Komisi III DPR RI dan Presiden Joko Widodo memanggil Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. ICJR mempertanyakan perbuatan sewenang-wenang dari aparat kepolisian. Terulang lagi, mural itu melanggar kebebasan orang berekspresi dan berpendapat.

Dosen tetap dan pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia menyatakan, ada yang membedakan penanganan urusan mural sosial yang mengkritik saat era SBY. Tak ada wajib lapor dan tindakan pencarian seorang seniman atau warga yang menggambarkan ekspresi lewat muralnya. Jelas menyebutkan nama SiBuYa di seekor kerbau? 

Kalau disandingkan, sangat berbeda cara dan respon atas mural yang hadir di tengah bangsa ini. Mural-mural malah bikin bingung, takut, dan membelenggu hak masyarakat untuk berpendapat. Setidaknya diapresisasi muralnya, karya seniman itu dengan cara yang bijaksana. Mungkin, ngga diletakkan di dinding atau tembok, tetapi di seekor kerbau, ekspresi dari seniman ini. Bukan bermaksud menyindir pula. 

Sekarang, seniman mural ditempatkan sebagai pelaku kejahatan. Seolah-olah pembuatan gambar mural adalah perbuatan melawan hukum secara extra ordinary

Lebih mungkin, arahnya kurang disiplin dalam berkarya. Belum punya izin ke pemerintah setempat. Mungkin. Ada izin mural, akan membuat lebih baik dimana seni mural tidak dipersepsikan adalah suatu kejahatan.

Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space.
Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space.

Kalau ditelaah, kayaknya “kurang pas” juga, mengingat pernyataan terkait mural. Gambar  mural itu melanggar ketertiban, karena melakukan pelecehan dan penghinaan lambang negara. Lihat saja mural itu, kira-kira itu menggambarkan siapa yang dihina. Kalau misalnya mirip bukanlah berarti sama. Sebaliknya. Sebagai pemerintah, pemahaman lambang negara saja “kurang pas” atau mungkin akibat gejala agorafobia di masa sekarang ini.

Pemahaman akan seni jalanan belum dipahami pemerintah. Hanya melihat secara destruktif saja. Seni jalanan dirancang dengan sengaja dapat mendorong interaksi antara manusia, seni, dan ruang publik. Perlunya pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan yang diambil dengan memberi toleransi seni jalanan. Bila melihat seni mural sebagai konstruksi sosial.

Dari mural,  ada baiknya pemerintah dapat memahami dan menyesuaikan perkembangan akan street art. Setidaknya, memberikan perhatian dan pertimbangan, secara bijak dan tetap menghargai hak-hak asasi. “Kurang pas” mural disebut menyerang, membuat kepanikan, dilarang, hingga diciduk, mungkin bisa dipidanakan pula. Justru masyarakat panik akibat kebingungan dari aparat yang mengartikan berbeda atas mural-mural itu. Berlebihan. Memang, seni mural tempatnya di area publik agar bisa dilihat siapapun. Ruang publik sebagian bisa membentuk apa yang  bisa tampak, bukan seluruhnya bisa tampak. Yang tak bisa tampak, bisa diperhatikan pemerintah dengan bijaksana. Bukan sebaliknya.

trump-612a622631a2874efc3c5682.jpg
trump-612a622631a2874efc3c5682.jpg

 Trump mural, Downtown LA, Los Angeles, California, USA (27110831351).jpg

Selain itu, pemerintah perlu menyadari dan mengikuti adanya pergeseran seni visual ini ke arah kondisi sosial yang terjadi—wacana dari seni mural ini untuk dilihat dan didengarkan.

Menurut saya, kalau mau buat mural lagi, jangan lupa untuk meminta izin ke pemerintah setempat atau pemilik dinding (pribadi). Supaya disediakan ruang publik yang nyaman, luas. Bebas akses buat publik untuk melihat goresan atau coretan dari seniman mural berekspresi dan berkarya. Tujuannya, agar jelas alasan boleh atau ngga. Buat penjelasan lebih lanjut bila diasumsikan lain.

Bisa jadi, keadaan ini gejala agorafobia atau sosial fobia. Berakar dari masalah wabah Covid-19 dan dampaknya yang serius untuk, masih, dan terus ditangani oleh pemerintah. Gejalanya merasa ada serangan. Beranggapan atau merasa seakan masyarakat menyerang dengan mural-mural yang bertaburan itu, sehingga dilanda kepanikan. Mirip gejala agorafobia.

Jadinya…dari aparat pun bertindak berlebihan. Muralnya di ruang publik lho, untuk bisa menjadi “wadah” ekspresi, sebagai bentuk desentralisasi menyatakan banyak hal yang tidak bisa atau bisa, terlebih mural itu bukan sesuatu yang baru di negara ini. Sebab…seni jalanan memiliki andil dalam perlindungan hak-hak: menuntut”…keadilan bagi semua

Referensi:

1. Tsilimpounidi, M & Walsh, A (2010). Painting Human Rights: Mapping Street Art in Athens. Vol.2 No.2
2. Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space. Portland State University. pp. 1-68
3. https://flickr.com/photos/37996580417@N01/27110831351 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun