Sekarang, seniman mural ditempatkan sebagai pelaku kejahatan. Seolah-olah pembuatan gambar mural adalah perbuatan melawan hukum secara extra ordinary.
Lebih mungkin, arahnya kurang disiplin dalam berkarya. Belum punya izin ke pemerintah setempat. Mungkin. Ada izin mural, akan membuat lebih baik dimana seni mural tidak dipersepsikan adalah suatu kejahatan.
Kalau ditelaah, kayaknya “kurang pas” juga, mengingat pernyataan terkait mural. Gambar mural itu melanggar ketertiban, karena melakukan pelecehan dan penghinaan lambang negara. Lihat saja mural itu, kira-kira itu menggambarkan siapa yang dihina. Kalau misalnya mirip bukanlah berarti sama. Sebaliknya. Sebagai pemerintah, pemahaman lambang negara saja “kurang pas” atau mungkin akibat gejala agorafobia di masa sekarang ini.
Pemahaman akan seni jalanan belum dipahami pemerintah. Hanya melihat secara destruktif saja. Seni jalanan dirancang dengan sengaja dapat mendorong interaksi antara manusia, seni, dan ruang publik. Perlunya pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan yang diambil dengan memberi toleransi seni jalanan. Bila melihat seni mural sebagai konstruksi sosial.
Dari mural, ada baiknya pemerintah dapat memahami dan menyesuaikan perkembangan akan street art. Setidaknya, memberikan perhatian dan pertimbangan, secara bijak dan tetap menghargai hak-hak asasi. “Kurang pas” mural disebut menyerang, membuat kepanikan, dilarang, hingga diciduk, mungkin bisa dipidanakan pula. Justru masyarakat panik akibat kebingungan dari aparat yang mengartikan berbeda atas mural-mural itu. Berlebihan. Memang, seni mural tempatnya di area publik agar bisa dilihat siapapun. Ruang publik sebagian bisa membentuk apa yang bisa tampak, bukan seluruhnya bisa tampak. Yang tak bisa tampak, bisa diperhatikan pemerintah dengan bijaksana. Bukan sebaliknya.
Trump mural, Downtown LA, Los Angeles, California, USA (27110831351).jpg
Selain itu, pemerintah perlu menyadari dan mengikuti adanya pergeseran seni visual ini ke arah kondisi sosial yang terjadi—wacana dari seni mural ini untuk dilihat dan didengarkan.
Menurut saya, kalau mau buat mural lagi, jangan lupa untuk meminta izin ke pemerintah setempat atau pemilik dinding (pribadi). Supaya disediakan ruang publik yang nyaman, luas. Bebas akses buat publik untuk melihat goresan atau coretan dari seniman mural berekspresi dan berkarya. Tujuannya, agar jelas alasan boleh atau ngga. Buat penjelasan lebih lanjut bila diasumsikan lain.
Bisa jadi, keadaan ini gejala agorafobia atau sosial fobia. Berakar dari masalah wabah Covid-19 dan dampaknya yang serius untuk, masih, dan terus ditangani oleh pemerintah. Gejalanya merasa ada serangan. Beranggapan atau merasa seakan masyarakat menyerang dengan mural-mural yang bertaburan itu, sehingga dilanda kepanikan. Mirip gejala agorafobia.