Mohon tunggu...
Mirah Delima
Mirah Delima Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar dan Mendengarkan

Belajar dan Mendengarkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkin Ngga Agorafobia Mural?

29 Agustus 2021   05:05 Diperbarui: 29 Agustus 2021   15:04 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space

Sekarang, seniman mural ditempatkan sebagai pelaku kejahatan. Seolah-olah pembuatan gambar mural adalah perbuatan melawan hukum secara extra ordinary

Lebih mungkin, arahnya kurang disiplin dalam berkarya. Belum punya izin ke pemerintah setempat. Mungkin. Ada izin mural, akan membuat lebih baik dimana seni mural tidak dipersepsikan adalah suatu kejahatan.

Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space.
Conklin, T R (2012). Street Art, Ideology, and Public Space.

Kalau ditelaah, kayaknya “kurang pas” juga, mengingat pernyataan terkait mural. Gambar  mural itu melanggar ketertiban, karena melakukan pelecehan dan penghinaan lambang negara. Lihat saja mural itu, kira-kira itu menggambarkan siapa yang dihina. Kalau misalnya mirip bukanlah berarti sama. Sebaliknya. Sebagai pemerintah, pemahaman lambang negara saja “kurang pas” atau mungkin akibat gejala agorafobia di masa sekarang ini.

Pemahaman akan seni jalanan belum dipahami pemerintah. Hanya melihat secara destruktif saja. Seni jalanan dirancang dengan sengaja dapat mendorong interaksi antara manusia, seni, dan ruang publik. Perlunya pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan yang diambil dengan memberi toleransi seni jalanan. Bila melihat seni mural sebagai konstruksi sosial.

Dari mural,  ada baiknya pemerintah dapat memahami dan menyesuaikan perkembangan akan street art. Setidaknya, memberikan perhatian dan pertimbangan, secara bijak dan tetap menghargai hak-hak asasi. “Kurang pas” mural disebut menyerang, membuat kepanikan, dilarang, hingga diciduk, mungkin bisa dipidanakan pula. Justru masyarakat panik akibat kebingungan dari aparat yang mengartikan berbeda atas mural-mural itu. Berlebihan. Memang, seni mural tempatnya di area publik agar bisa dilihat siapapun. Ruang publik sebagian bisa membentuk apa yang  bisa tampak, bukan seluruhnya bisa tampak. Yang tak bisa tampak, bisa diperhatikan pemerintah dengan bijaksana. Bukan sebaliknya.

trump-612a622631a2874efc3c5682.jpg
trump-612a622631a2874efc3c5682.jpg

 Trump mural, Downtown LA, Los Angeles, California, USA (27110831351).jpg

Selain itu, pemerintah perlu menyadari dan mengikuti adanya pergeseran seni visual ini ke arah kondisi sosial yang terjadi—wacana dari seni mural ini untuk dilihat dan didengarkan.

Menurut saya, kalau mau buat mural lagi, jangan lupa untuk meminta izin ke pemerintah setempat atau pemilik dinding (pribadi). Supaya disediakan ruang publik yang nyaman, luas. Bebas akses buat publik untuk melihat goresan atau coretan dari seniman mural berekspresi dan berkarya. Tujuannya, agar jelas alasan boleh atau ngga. Buat penjelasan lebih lanjut bila diasumsikan lain.

Bisa jadi, keadaan ini gejala agorafobia atau sosial fobia. Berakar dari masalah wabah Covid-19 dan dampaknya yang serius untuk, masih, dan terus ditangani oleh pemerintah. Gejalanya merasa ada serangan. Beranggapan atau merasa seakan masyarakat menyerang dengan mural-mural yang bertaburan itu, sehingga dilanda kepanikan. Mirip gejala agorafobia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun