Sabtu pagi ini rasanya tidak ingin menikmati cemilan berat untuk sarapan pagi. Pilihan makanan tradisional menjadi hal yang terngiang dipikiran ditambah lagi udara sejuk selepas hujan kemarin sore hingga malam hari.
Tak berapa lama tetiba seorang kawan menelepon bahwa dia sedang menikmati Surabi yang tidak jauh dari rumahnya dan kemudian malah membuat saya tergiur hingga akhirnya menelepon tukang ojek langganan untuk mengantarkan ke tempat surabi tersebut.
Surabi adalah makanan khas dari tanah Sunda. Surabi berasal dari kata "Sura" yang artinya besar namun ada juga yang menyebutkan bahwa kata Surabi berasal dari Bahasa Jawa yaitu dari kata "rabi" yang berarti kawin. Yang jika digabungkan Surabi adalah makanan yang berasal dari campuran berbagai bahan dan bentuknya besar. Surabi terbuat dari tepung beras dan santan kelapa. Untuk memasaknya menggunakan tungku dari tanah liat dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.
Penjual Surabi bisa kita temui di hampir semua wilayah Jawa Barat termasuk di Purwakarta kota tempat saya tinggal yang begitu banyak penjual surabi yang bisa kita temui baik itu yang dipinggir jalan ataupun yang dipinggir kios.
Penjual Surabi yang di rekomendasikan seorang teman kantor menarik perhatian saya. Menarik karena harganya sangat murah yaitu seharga seribu rupiah. Di jaman sekarang sangatlah jarang menemukan surabi dengan harga seribuan.
Namanya Surabi Ceu Entin, lokasinya terletak tidak jauh dari objek wisata Kampung Sadang Purwakarta tepatnya di Jalan Buana Indah Sadang atau sekitar 2 km-an dari Gerbang Tol Sadang Purwakarta.
Ketika berkunjung ke surabi tersebut terlihat beberapa pembeli yang rupanya sedang bersepeda namun berhenti sejenak untuk membeli surabi sebagai oleh-oleh makanan untuk keluarganya.
Ceu Entin seorang Ibu empat anak dan nenek satu cucu dan berusia 43 tahun ini memilih berjualan surabi untuk membantu ekonomi keluarganya. Suaminya seorang buruh bangunan yang pekerjaannya tidak tentu kadang ada kadang tidak.Â
Ceu Entin berjualan surabi sejak tahun 2015 yang resepnya berasal dari almarhumah ibunya yang juga pernah berjualan surabi. Beliau berjualan di depan rumah saudaranya setiap hari dari jam lima pagi hingga jam 8 pagi dengan lokasi jualan yang sederhana dan hanya menggunakan empat tungku.Â
Menurut Ceu Entin, beliau tidak menggunakan tepung beras yang selama ini dijual di pasaran namun dia membuat tepung beras sendiri dengan cara menggiling berasnya sampai halus seperti tepung. Setiap jualan, Ceu Entin memerlukan lima kilogram beras sebagai bahan utama selain santan dan parutan kelapanya.
Harga jual surabinya untuk surabi polos, Ceu Entin memberi harga seribu rupiah sedangkan untuk surabi oncom dijual dengan harga dua ribu rupiah dan surabi telur dijual seharga lima ribu rupiah. Meskipun ukurannya kecil namun tetap bisa membuat perut kenyang dan rasanya enak apalagi surabi telurnya yang jika dicocol ke dalam gula cairnya bikin makin mantul rasanya.
Yang saya suka dari Surabi Ceu Entin juga dalah lokasi tempat jualannya yang terletak di jalan kampung yang jauh dari jalan kota sehingga jalanan tersebut sering kali lengang. Selain itu kita juga bisa melihat pemandangan hamparan sawah yang luas ketika kita makan surabi di tempatnya. Selain mengenyangkan perut juga membuat segar mata.
Masih menurut Ceu Entin, dengan beliau berjualan surabi penghasilan yang didapat walaupun tidak banyak cukuplah membantu perekonomian keluarganya dan bisa membantu membiayai dua anaknya yang masih sekolah di pesantren atapun di sekolah dasar apalagi selain berjualan surabi beliau dan suaminya bekerja di area sawah milik orang lain yang penghasilannya tentu tidak terlalu besar.
Ceu Entin juga berharap agar masyarakat yang membeli surabinya menyukai surabi buatannya dan kemudian kembali lagi membeli surabi buatannya. Tentunya harapan beliau adalah memiliki tempat berjualan yang lebih layak lagi tempatnya.Â
Perempuan sejatinya adalah tulang rusuk dari pasangannya namun seiring berjalannya waktu dan karena berbagai faktor terutama faktor ekonomi, perempuan pun kini setara dengan laki-laki sebagai tulang punggung bagi keluarganya.
Kita masyarakat haruslah mengapresiasi kepada mereka perempuan-perempuan tangguh dan luar biasa seperti Ceu Entin ini yang tidak henti berjuang untuk keluarganya, untuk membantu suaminya agar anak-anaknya tidak hanya terpenuh pangan namun sandangannya.
Sudah saatnya juga kita yang mampu secara materi membeli dagangan mereka para pedagang kecil yang berjualan di pinggir jalan dengan roda atau kios-kios kecil. Â Apalagi di saat kondisi saat ini yang harga sembako dan kebutuhan hidup yang sering kali mengalami kenaikan harga. Harga jualan mereka memang tidak seberapa untuk kita yang mampu namun besar artinya buat mereka para pedagang kecil.
Jangan lelah untuk berbuat baik. Jangan lelah membantu pedagang kecil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H