Hari ini tanpa sengaja ketika lewat daerah Citalang Purwakarta, saya terpikir untuk kembali ke Rumah Adat Citalang. Terakhir mengunjungi rumah sejarah tersebut ketika akan membuat tulisan di tahun 2015 dan tulisannya telah di muat di harian umum daerah Jawa Barat.
Saya kembali kesana karena ingin tahu bagaimana kondisi rumah tersebut. Ingin tahu apa sudah mengalami perombakan ataupun ada perbaikan yang dilakukan. Dan ternyata belum ada.
Rumah adat Citalang dibuat tahun 1905 Masehi oleh Rd. Mas Sumadireja yang merupakan Kepala Desa Citalang III atau Patinggi III. Rd. Mas Sumadireja adalah putra dari Bupati Brebes yang ditugaskan oleh Bupati Brebes untuk mengusir Belanda di Batavia. Akibat ketidakseimbangan pasukan, Rd. Mas Sumadireja bersama pasukannya munduru dan berpindah daerah demi menghindari desakan pasukan Belanda hingga akhirnya membuat rumah dan tinggal sampai akhir hayatnya di Desa Citalang pada tahun 1921.
Rumah ini bentuknya mencerminkan rumah adat tradisional khas masyarakat Sunda. Bangunan rumah ini bentuk nya panggung terdiri dari kolong rumah, badan rumah dan atapnya. Dikutip dari www.purwakarta.go.id , kolong itu artinya simbol bumi yang harus kering dan tidak boleh basah, badan rumah adalah dunia tempat manusia dan atap adalah langit. Rumah menjadi gambaran alam semesta.
Rumah Adat Citalang luasnya mencapai 1.350 meter persegi. Bagian depannya terdapat pekarangan luas dan sudah dipagari besi. Di sekeliling rumah terdapat kebun dengan berbagai tanaman. Struktur bangunan ini terbuat dari kayu dan bambu begitu juga dengan lantainya dibuat dari anyaman bambu, hebatnya baik bilik, kayu dan anyaman itu masih awet sampai sekarang. Hanya bangunan depan saja yang mengalami perombakan dan itupun tak banyak. Di depan rumah terdapat papan yang bertuliskan nama rumah tersebut.Â
Dalam bangunan ini masih terdapat benda-benda kuno yang menjadi koleksi dari pemilik rumah itu baik dari eranya Rd. Mas Sumadireja hingga keturunan ke-7 Pak Endang (alm). Menurut pemilik rumah adat yang sekarang, Pak Amir yang merupakan keturunan ke-8, banyak sekali kolektor benda kuno yang berniat membeli benda-benda tersebut bahkan ada yang menawar sampai milyaran rupiah. Namun orang tua Pak Amir bahkan Pak Amir nya sendiri sudah berkomitmen untuk tetap menjaga dan merawat benda-benda kuno tersebut.
"Amanat alm. Bapak untuk tetap dan menjaga benda-benda kuno itu. Tidak boleh dijual" kata Pak Amir.
Selain itu sering kali pengunjung atau murid yang berkunjung ke Cagar Budaya ini memberikan sumbangan meski tak banyak. Pemilik pun pernah meminta bantuan kepada pemerintah desa setempat untuk memperbaiki pagar ataupun mengecat pagar depannya namun belum ada respon sama sekali.
Rumah ini sering mendapat kunjungan dari masyarakat khususnya murid sekolah yang kebetulan mendapat tugas tentang rumah tersebut. Selain itu sering ada kunjungan dari masyarakat di luar daerah Purwakarta yang sangat antusias ingin tahu tentang rumah tersebut. Mereka umumnya tahu dari internet ataupun media sosial.
Rumah adat ini dari luar memang terkesan rumah biasa namun cerita berdirinya rumah itu sungguh luar biasa begitu juga dengan pemilik-pemiliknya yang secara turun temurun tetap menjaga dan merawat rumah itu meski benda-bendanya menjadi incaran para kolektor benda kuno. Saya salut dengan Pak Amir maupun ayahnya yang pernah saya temui di tahun 2015. Tetap dijaga keaslian rumahnya dan menjaga benda-benda peninggalan nenek moyang mereka. Meski rumah ini tidak pernah ditempati lagi semenjak ayahnya Pak Amir wafat, tapi rumah ini tetap terjaga dan selalu dirawat oleh Pak Amir dan keluarganya.