"Perjuanganku hari ini bukanlah untuk hari esok, melainkan untuk ratusan tahun setelah hari esok"
~Monolog Wanodja Soenda"
Melihat postingan dari Maudy Koesnaedi tentang pementasan ini, jiwa seni saya langsung berontak. Tertarik banget lebih tepatnya apalagi mengangkat cerita dari pahlawan-pahlawan wanita Sunda yang belum banyak orang tahu termasuk saya sendiri selaku orang Sunda.Â
Dan ketika saya mendapat undangan pada pementasan untuk kalangan media tanggal 28 Januari 2020, tentunya tidak saya sia-siakan kesempatan besar itu. Pementasan untuk umum sendiri berlangsung hari ini tanggal 29 Januari 2020 masih di lokasi yang sama, Grand Ballroom Hotel Savoy Homan Bandung.
Pementasan ini  berawal dari pertemuan Kang Wawan Sofwan seorang sutradara teater terkenal negeri ini dengan Heni Smith, Direktur dari The Lodge Group pada bulan Oktober 2019 di Bali. Kedua sosok hebat ini ingin berbuat sesuatu untuk perempuan-perempuan Sunda saat ini. Sampai akhirnya dibuatlah pementasan monolog tentang pahlawan-pahlawan wanita Sunda yang pementasan tersebut adalah "Monolog Wanodja Soenda"
Tiga tokoh Wanoja Sunda (Wanoja = perempuan yang sudah bersuami) dalam pergulatannya di bidangnya masing-masing yaitu bidang pendidikan dan politik. Mereka bukan hanya menginspirasi tapi juga lebih berani bertindak dan mengambil peran besar.Â
Mereka membuktikan meski mengalami banyak penolakan dan penindasan tapi semangat mereka untuk menyalakan "api perlawanan" bisa dilakukan dengan khas dan cerdas. Tidak sedikit mreka mengorbankan apa yang mereka miliki bahkan sempt dianggap sesat, diasingkan oleh masyarakatnya sendiri. Hal ini justru membuat mereka yakin dan kuat serta berusaha memperbaiki situasi tersebut.
Ada satu titik yang menghubungkan ketiganya yaitu "keberanian menjadi". Dalam gerbang untuk mengalirkan apa yang telah diberikan oleh para pahlawan perempuan tersebut. Ini adalah semacam unggunan yang tidak pernah berhenti padam dalam cahaya perlawanan. Ini pun adalah langkah tegas yang tiada pernah terhenti dalam arus kesadaran perempuan.
Tiga Tokoh Pahlawan Perempuan Sunda
Emma Poeradirejda adalah Pahlawan Wanita Sunda yang bergerak di bidang politik yang pada tahun 1930 mendirikan Pasundan Istri (PASI) untuk menampung aspirasi kaum perempuan yang sering dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki.
Kehadiran Inayah Wahid sebagai narator dari setiap monolog semakin memperkuat cerita demi cerita dari setiap monolog. Belum lagi tata panggung yang sederhana namun disesuaikan dengan era tahun 1900-an awal menambah kesan heritage di pementasan ini.
Selain pementasan monolog, ditampilkan pula dua sosok perempuan muda masa kini yaitu Risa Noorisa, seorang penempa logam dan Edrike Joosencia seorang pelukis media arang. Sebagai pelengkap, karya ini didukung oleh Deden Siswanto (Art Director), Heti Sunaryo (Kolektor Batik tradisional) dengan penulis naskah Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrullloh dan Faisal Syahreza.
Yang bikin saya salut adalah hebatnya para aktris yang memainkan peran para pahlawan wanita tersebut. Selama 30 menit lebih mereka bercerita tentang tokoh yang mereka perankan dan itu tanpa naskah. Meski ada cerita yang mereka lupa namun mampu ditutupi dengan improvisasi dadakan yang mereka ciptakan saat itu.Â
Tak salah sutradara memilih mereka yang sudah malang melintang serta professional di bidangnya untuk pementasan ini. Â Maudy Koesnaedi pemeran Lasminingrat mengatakan bahwa dia hanya punya waktu beberapa hari untuk menghafal naskah tersebut hal itu dikarenakan kesibukannya yang lain yaitu promo film terbarunya "Akhir Kisah Cinta Si Doel" .Â
Sita Nursanti yang mengatakan bahwa monolog ini adalah bagian dari mimpinya yang ingin berperan sebagai Raden Dewi Sartika. Sedangkan Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa monolog ini ajang kembalinya Rieke manggung setelah beberapa tahun vakum dari dunia seni karena kesibukannya sebagai anggota DPR-MPR RI.
Menurut Henni Smith, Direktur The Lodge Group sekaligus Pendiri The Lodge Foundation, Monolog wanita sunda mengangkat tentang semangat dari perlawanan wanita sunda yang berkiprah di bidang politik, seni budaya dan pendidikan dengan berlatar belakang di era tahun 1930-an. Bukan hanya tentang monolog yang disampaikan tapi pementasan ini adalah seni budaya heritage yang harus kita junjung dan kita wariskan ke generasi selanjutnya.
Ridwal Kamil, Gubernur Jawa Barat turut mendukung pementasan ini dan diharapkan di tahun 2020 banyak lagi pementasan monolog-monolog untuk menyeimbangkan terhadap pola-pola yang menghibur yang hadir terlihat kemudian hilang dalam hitungan detik sementara yang fundamental, yang pesannya jadi pondasi bekal kita dan keteladan sebagai penggerak. Dan hal ini perlu disuntikkan ke generasi muda sekarang.
Salam JAS MERAH, Jangan Pernah Melupakan Sejarah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H