Kehadiran Inayah Wahid sebagai narator dari setiap monolog semakin memperkuat cerita demi cerita dari setiap monolog. Belum lagi tata panggung yang sederhana namun disesuaikan dengan era tahun 1900-an awal menambah kesan heritage di pementasan ini.
Selain pementasan monolog, ditampilkan pula dua sosok perempuan muda masa kini yaitu Risa Noorisa, seorang penempa logam dan Edrike Joosencia seorang pelukis media arang. Sebagai pelengkap, karya ini didukung oleh Deden Siswanto (Art Director), Heti Sunaryo (Kolektor Batik tradisional) dengan penulis naskah Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrullloh dan Faisal Syahreza.
Yang bikin saya salut adalah hebatnya para aktris yang memainkan peran para pahlawan wanita tersebut. Selama 30 menit lebih mereka bercerita tentang tokoh yang mereka perankan dan itu tanpa naskah. Meski ada cerita yang mereka lupa namun mampu ditutupi dengan improvisasi dadakan yang mereka ciptakan saat itu.Â
Tak salah sutradara memilih mereka yang sudah malang melintang serta professional di bidangnya untuk pementasan ini. Â Maudy Koesnaedi pemeran Lasminingrat mengatakan bahwa dia hanya punya waktu beberapa hari untuk menghafal naskah tersebut hal itu dikarenakan kesibukannya yang lain yaitu promo film terbarunya "Akhir Kisah Cinta Si Doel" .Â
Sita Nursanti yang mengatakan bahwa monolog ini adalah bagian dari mimpinya yang ingin berperan sebagai Raden Dewi Sartika. Sedangkan Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa monolog ini ajang kembalinya Rieke manggung setelah beberapa tahun vakum dari dunia seni karena kesibukannya sebagai anggota DPR-MPR RI.
Menurut Henni Smith, Direktur The Lodge Group sekaligus Pendiri The Lodge Foundation, Monolog wanita sunda mengangkat tentang semangat dari perlawanan wanita sunda yang berkiprah di bidang politik, seni budaya dan pendidikan dengan berlatar belakang di era tahun 1930-an. Bukan hanya tentang monolog yang disampaikan tapi pementasan ini adalah seni budaya heritage yang harus kita junjung dan kita wariskan ke generasi selanjutnya.
Ridwal Kamil, Gubernur Jawa Barat turut mendukung pementasan ini dan diharapkan di tahun 2020 banyak lagi pementasan monolog-monolog untuk menyeimbangkan terhadap pola-pola yang menghibur yang hadir terlihat kemudian hilang dalam hitungan detik sementara yang fundamental, yang pesannya jadi pondasi bekal kita dan keteladan sebagai penggerak. Dan hal ini perlu disuntikkan ke generasi muda sekarang.