Mohon tunggu...
Mira Miew
Mira Miew Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Purwakarta yang jatuh hati dengan dunia kepenulisan dan jalan-jalan

Menulis adalah panggilan hati yang Tuhan berikan. Caraku bermanfaat untuk orang banyak adalah melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Monolog Wanodja Soenda", Kisah Inspiratif Pahlawan Wanita Sunda

29 Januari 2020   11:13 Diperbarui: 29 Januari 2020   12:25 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto : Instagram The Lodge Foundation
Foto : Instagram The Lodge Foundation
Raden Dewi Sartika adalah pendiri Sakola Kautamaan Istri. Sekolah itu terilhami dari banyaknya perempuan di daerahnya, Cicalengka yang bisa membaca cinta tapi tidak bisa membaca aksara. Dewi Sartika berharap kaum perempuan harus bisa membaca aksara agar wawasan mereka terbuka, agar mereka memahami sejarah tata laksana dunia serta pandai menempatkan dirinya bisa menjadi istri utami, perempuan utama.

Foto : Instagram The Lodge Foundation
Foto : Instagram The Lodge Foundation
R.A. Laksminingrat adalah seorang tokoh sastrawati pertama negeri ini dan penggerak budaya literasi bagi kaum perempuan pada jamannya. Keinginannya untuk memajukkan kaum perempuan di bidang pendidikan, beliau lakukan dengan cara menyadur berbagai buku dari bangsa barat kemudian beliau terjemahkan ke dalam Bahasa Sunda untuk dipelajari oleh wanita tanah pasundan saat itu. Lasminingrat bisa dikatakan sebagai tokoh emansipasi wanita pertama di Indonesia.

Foto : Instagram The Lodge Foundation
Foto : Instagram The Lodge Foundation
Pementasan Monolog Wanodja Soenda berlangsung lebih kurang 2 jam diawali dengan puisi yang dibawakan oleh Istri Gubernur Jawa Barat dan dilanjutkan dengan sambutan dari Henni Smith sebagai pengagas pementasan ini. 

Kehadiran Inayah Wahid sebagai narator dari setiap monolog semakin memperkuat cerita demi cerita dari setiap monolog. Belum lagi tata panggung yang sederhana namun disesuaikan dengan era tahun 1900-an awal menambah kesan heritage di pementasan ini.

Foto : Dokumentasi Pribadi
Foto : Dokumentasi Pribadi
Pementasan ini adalah produksi bersama The Lodge Foundation dan Main Teater yang didukung penuh oleh pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Satoe Komunika serta PT. Kereta Api Indonesia. 

Selain pementasan monolog, ditampilkan pula dua sosok perempuan muda masa kini yaitu Risa Noorisa, seorang penempa logam dan Edrike Joosencia seorang pelukis media arang. Sebagai pelengkap, karya ini didukung oleh Deden Siswanto (Art Director), Heti Sunaryo (Kolektor Batik tradisional) dengan penulis naskah Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrullloh dan Faisal Syahreza.

Yang bikin saya salut adalah hebatnya para aktris yang memainkan peran para pahlawan wanita tersebut. Selama 30 menit lebih mereka bercerita tentang tokoh yang mereka perankan dan itu tanpa naskah. Meski ada cerita yang mereka lupa namun mampu ditutupi dengan improvisasi dadakan yang mereka ciptakan saat itu. 

Tak salah sutradara memilih mereka yang sudah malang melintang serta professional di bidangnya untuk pementasan ini.  Maudy Koesnaedi pemeran Lasminingrat mengatakan bahwa dia hanya punya waktu beberapa hari untuk menghafal naskah tersebut hal itu dikarenakan kesibukannya yang lain yaitu promo film terbarunya "Akhir Kisah Cinta Si Doel" . 

Sita Nursanti yang mengatakan bahwa monolog ini adalah bagian dari mimpinya yang ingin berperan sebagai Raden Dewi Sartika. Sedangkan Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa monolog ini ajang kembalinya Rieke manggung setelah beberapa tahun vakum dari dunia seni karena kesibukannya sebagai anggota DPR-MPR RI.

Menurut Henni Smith, Direktur The Lodge Group sekaligus Pendiri The Lodge Foundation, Monolog wanita sunda mengangkat tentang semangat dari perlawanan wanita sunda yang berkiprah di bidang politik, seni budaya dan pendidikan dengan berlatar belakang di era tahun 1930-an. Bukan hanya tentang monolog yang disampaikan tapi pementasan ini adalah seni budaya heritage yang harus kita junjung dan kita wariskan ke generasi selanjutnya.

Ridwal Kamil, Gubernur Jawa Barat turut mendukung pementasan ini dan diharapkan di tahun 2020 banyak lagi pementasan monolog-monolog untuk menyeimbangkan terhadap pola-pola yang menghibur yang hadir terlihat kemudian hilang dalam hitungan detik sementara yang fundamental, yang pesannya jadi pondasi bekal kita dan keteladan sebagai penggerak. Dan hal ini perlu disuntikkan ke generasi muda sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun