Mohon tunggu...
Mira Arlisa
Mira Arlisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/ Universitas Brawijaya

Mahasiswa Semester 5 dari prodi Teknik Geofisika Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Pemenuhan Hak Pendidikan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas (Refleksi Dari Undang-Undang No. 39 Tahun 1999)

2 Desember 2024   09:33 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:17 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. PENDAHULUAN 

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, baik dari segi budaya, bahasa, suku, hingga kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya. Keberagaman ini mencerminkan kesatuan dalam perbedaan yang menjadi ciri khas Indonesia. Di dalam keberagaman ini, terdapat kelompok penyandang disabilitas yang juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia dan memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan.

Menurut pandangan John C. Maxwell, penyandang disabilitas adalah individu yang memiliki gangguan atau kelainan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori dalam jangka waktu lama yang dapat menyebabkan hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan serta mengakibatkan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif bersama warga negara lainnya dengan hak yang setara. Sementara itu, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), disabilitas didefinisikan sebagai suatu kondisi yang membatasi kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal (Purnomosidi, 2017).

Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak untuk tetap berada di lingkungan komunitas lokal. Mereka perlu mendapatkan dukungan yang memadai dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan layanan sosial. Oleh karena itu, hak-hak penyandang disabilitas dalam perspektif hak asasi manusia dipandang sebagai hak khusus bagi kelompok masyarakat tertentu. Akses pendidikan yang sesuai sangat diperlukan, disesuaikan dengan kebutuhan spesifik mereka yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan berkualitas di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, baik dalam sistem inklusif maupun khusus. Pendidikan yang layak bagi anak dengan disabilitas mencakup ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kesesuaian di berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, baik inklusif maupun khusus, sebagaimana yang seharusnya diperoleh dalam rangka pemenuhan hak atas pendidikan mereka (Bartholomeus, 2021).

Namun, sistem pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Implementasinya belum merata dan terbatas pada kota-kota besar, sementara di daerah pedesaan atau wilayah terpencil fasilitas dan dukungan untuk pendidikan inklusif sering kali tidak tersedia. Situasi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam akses pendidikan bagi penyandang disabilitas yang pada akhirnya menghambat mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Dengan demikian tujuan dari penulisan artikel non-penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang efektivitas kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia serta memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas. Artikel ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk evaluasi kebijakan yang lebih berfokus pada pemenuhan hak pendidikan inklusif sesuai dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.

2. PEMBAHASAN

2.1 Pemenuhan Hak Pendidikan Inklusif

2.1.1 Prinsip Hak Asasi Manusia

Penyandang disabilitas dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki keterbatasan, baik dari segi fisik, mental, intelektual maupun sensorik dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sehingga, tidak heran jika sering ditemukan hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat. Kata "disabilitas" sendiri memiliki asal usul kata dari different ability yang dapat diartikan sebagai individu dengan kemampuan yang berbeda. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, penyandang disabilitas dapat dibagi berdasarkan 3 jenis yang meliputi (Sismono, 2021):

a. Cacat Fisik

Perlu diketahui, kategori dari cacat fisik ini dapat disebabkan oleh beberapa gangguan seperti pada fungsi tubuh, gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Pada cacat fisik ini umumnya didapatkan istilah terkait "tuna" yang berarti rugi atau kurang (Sismono, 2021). Dalam hal ini, tidak heran apabila penyebutan cacat fisik ini biasa disebut sebagai tuna daksa.

b. Cacat Mental

Kelainan mental atau tingkah laku suatu individu ini dapat dikategorikan sebagai cacat mental. Cacat mental sendiri dapat disebabkan oleh beberapa hal, baik bawaan maupun penyakit seperti alkoholisme dan lain sebagainya (Sismono, 2021). Dalam kehidupan bermasyarakat, cacat mental tidak hanya dikategorikan pada anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah. Melainkan, cacat mental sendiri ini juga dapat direpresentasikan dengan adanya kemampuan intelektual di atas rata-rata. Sehingga, tidak heran jika terkadang ditemukan individu yang cukup kreatif dan jenius seperti halnya pada jenis anak autis dengan kapasitas intelektual tinggi. Meskipun, terkadang juga didapatkan beberapa individu cacat mental yang sulit berinteraksi dengan sesama individu lain.

c. Cacat Ganda

Dalam konsep disabilitas, tentunya sering ditemukan istilah terkait cacat ganda. Secara definisi sendiri, cacat jenis ini mengacu pada individu yang memiliki lebih dari satu kekurangan sekaligus. Sehingga, tidak heran apabila hal tersebut mampu mengganggu kinerja dari penyandang disabilitas (Sismono, 2021). Namun perlu ditekankan bahwasanya penyandang disabilitas baik cacat fisik, mental, maupun cacat ganda ini juga memiliki kesetaraan hak sebagai  manusia pada umumnya yang sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009.

Penyandang disabilitas memang menjadi bagian dalam masyarakat. Namun, kata disabilitas terkadang kurang diperhatikan oleh masyarakat setempat. Mengingat penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dengan individu lain yang juga tertuang pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2009. Di mana UU tersebut berisi tentang kesejahteraan sosial sebagai suatu dasar hukum Pemerintah Indonesia dalam memberikan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Tidak hanya itu, setiap manusia juga memiliki hak asasi yang termaktub pada Undang-Undang 39 Tahun 1999. Lebih tepatnya pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 3 Ayat 1-3 yang menyatakan bahwasanya (1) ) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan; (2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum; (3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, UU No. 39 Tahun 1999 pada pasal 3 ayat 1-3 ini cukup relevan terhadap konsep dari penyandang disabilitas. Di mana penyandang disabilitas juga memiliki harkat dan martabat yang sama, berhak atas perlindungan dan kebebasan dasar manusia, serta berhak atas pengakuan, jaminan, dan lain sebagainya. Dengan acuan dasar undang-undang tersebut, tentunya penyandang disabilitas juga memiliki jaminan yang sama dengan individu plain terkait jaminan pendidikan. Jaminan tersebut juga didukung dengan UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 12 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia." Namun, dalam kondisi nyatanya, jaminan pendidikan untuk penyandang disabilitas ini dapat dibilang sangat kurang dan tidak merata, khususnya di daerah pedesaan.

2.1.2 Ketersediaan Pendidikan Inklusif

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, bahwasanya penyandang disabilitas memiliki hak asasi manusia yang sama dengan individu lain dan telah disahkan berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dengan keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia ini, tidak menutup kemungkinan apabila didapatkan keterbatasan akses akan akses pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, dan lain sebagainya. Terlebih, Indonesia menduduki angka 22,97 Juta Jiwa jumlah penyandang disabilitas. Dengan angka tersebut, dapat diketahui bahwasanya setiap tahun mengalami kenaikan individu dengan penyandang disabilitas. Hal tersebut juga dibuktikan dengan persentase penyandang disabilitas pada tahun 2023 sebanyak 8,5% (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, 2023). Didapatkan salah satu rekapan penyandang disabilitas di Kabupaten Malang pada tahun 2018-2019. Berdasarkan dari data tersebut, dapat diketahui bahwasanya terjadi kenaikan sebanyak 1616 orang selama berjalannya waktu (Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2020). Dengan demikian, tidak heran apabila pada tahun 2023 terjadi kenaikan yang cukup signifikan untuk total penyandang disabilitas di Indonesia.

Beriringan dengan meningkatnya penyandang disabilitas di Indonesia, tentunya juga harus dilengkapi dengan kebutuhan masing-masing individu tersebut. Salah-satunya yaitu terkait pendidikan inklusif. Akan tetapi, fasilitas pendidikan untuk penyandang disabilitas ini relatif cukup sedikit, khususnya di wilayah pedesaan. Kata "inklusif" pada pendidikan merujuk pada suatu kebijakan yang mengusung bahwa dalam satuan pendidikan ini terdapat semua jenis anak dan juga tidak terlepas dari anak-anak dengan kemampuan yang berbeda dengan individu lainnya (Mukti, dkk., 2023). Pada Desember 2022, terdapat pelaporan jumlah sekolah dengan konsep inklusi dari data pokok pendidikan sebanyak 40.928 sekolah, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Peningkatan sekolah tersebut juga didukung karena adanya peningkatan anak berkebutuhan khusus yang lahir (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2023). Meskipun, pendidikan inklusif tersebut telah mengalami kemajuan, lain halnya dengan wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Pada wilayah ini, keterbatasan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini dapat dikatakan sangat kurang (Rahmah, 2023). Tentunya, keterbatasan pendidikan di wilayah 3T ini juga dapat didasarkan atas kurangnya fasilitas yang memadai, baik dari segi pengajar, kurikulum, pembelajaran, maupun dari peserta didik itu sendiri. Dengan demikian, tidak heran apabila 36% dari anak disabilitas ini tidak menyelesaikan pendidikannya, meskipun dalam sektor pendidikan terjadi peningkatan pendidikan inklusif setiap tahunnya (UNICEF, 2023).

2.2 Tantangan dalam Implementasi Pendidikan Inklusif di Indonesia

Pada dasarnya, semua individu memiliki hak yang sama atas kesempatan dalam menggali ilmu lebih dalam, tidak terkecuali oleh penyandang disabilitas. Kesempatan ini tentunya didukung dengan adanya konsep pendidikan inklusif di Indonesia. Namun, perlu diketahui juga bahwasanya implementasi dari sistem ini memiliki beberapa tantangan di dalamnya dan terkadang implementasi pendidikan inklusif ini hanya sebatas rancangan. Meskipun notabene-nya, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 ini menjadi dasar hukum dari Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia (HAM) ini salah-satunya meliputi pendidikan untuk anak penyandang disabilitas. Dalam praktiknya, tentunya juga didapatkan suatu tantangan di dalamnya. Di antaranya, yaitu:

2.2.1 Keterbatasan Fasilitas

Dalam implementasi pendidikan inklusif, tentunya juga sering ditemukan berbagai tantangan utama. Salah-satunya yaitu keterbatasan fasilitas bagi anak berkebutuhan khusus. Kondisi belajar yang nyaman dan efektif ini sangat dibutuhkan oleh penyandang disabilitas dan juga sesuai dengan dasar hukum Hak Asasi Manusia (HAM) pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam praktiknya, fasilitas dan infrastruktur dari pendidikan inklusi ini cukup beragam. Sehingga, tidak heran apabila perlu dilakukan penyesuaian kurikulum serta fasilitas yang memadai seperti buku pelajaran format braille, talking book, serta fasilitas lain yang memadai (Karmelia, dkk., 2024). Namun, penyediaan fasilitas yang memadai bagi pendidikan inklusif ini memiliki hambatan dalam implementasinya. Beberapa hal yang menjadi latar belakangnya fasilitas pendidikan inklusif tidak memadai ini meliputi adanya keterbatasan sumber daya keuangan, koordinasi dengan pihak terkait yang kurang, dan kesadaran masyarakat tentang inklusi. Sekolah inklusi yang fleksibel ini memang menjadi acuan utama dalam pembentukan pendidikan inklusif yang notabene-nya membutuhkan suatu galangan dana cukup besar. Hal tersebut didasarkan atas adanya beberapa bangunan yang perlu untuk di bangun kembali, diperbaiki, dan dipelihara terkait sarana prasarana sekolah serta juga menyesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Selain itu, kurangnya koordinasi dengan pihak terkait juga menjadi salah satu hambatan tidak meratanya pendidikan inklusif di Indonesia, khususnya di pedesaan. Koordinasi dengan pihak terkait ini cukup penting karena pada dasarnya sarana dan prasarana dapat berkembang apabila ada dukungan dari pihak terkait. Dan terakhir, terkait kesadaran masyarakat yang relatif kurang pada konsep inklusi. Masyarakat setempat umumnya memberikan stigma dan diskriminasi bahwasanya penyandang disabilitas akan menjadi penghalang dalam satu institusi pendidikan. Lain dari hal tersebut, juga perlu diketahui bahwa didapatkan keterbatasan penggunaan teknologi dalam pendidikan inklusif. Meskipun, peran besar dalam pembelajaran ini dimainkan dengan teknologi yang sedang berkembang (Taufiqurrahman, 2022). Dengan demikian, tidak heran apabila di beberapa wilayah memiliki keterbatasan terkait penyediaan pendidikan inklusif.

2.2.2 Keterbatasan Tenaga Pendidik

Dalam implementasi inklusif, tentunya juga didapatkan tantangan selain dari keterbatasan suatu fasilitas. Melainkan, tantangan dalam implementasi dapat berupa keterbatasan tenaga pendidik. Menurut penelitian dari Sastra Wijaya, Asep Supena, dan Yufiar (2023), dapat diketahui bahwasanya 30% tenaga pendidik mengalami kesulitan dalam membagi waktu selama pembelajaran inklusif. Dalam hal ini, tidak heran apabila keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki tenaga pendidik ini tidak selalu mumpuni dengan keragaman dari anak berkebutuhan  khusus (ABK). Dengan demikian, Indonesia memerlukan suatu agenda terkait pelatihan tenaga pendidik untuk konsep inklusif di dunia pendidikan. Karena pada dasarnya, pelatihan terkait inklusi ini hanya ditemukan di berbagai wilayah seperti kota besar. Sedangkan, wilayah 3T ini jarang ditemukan suatu pelatihan tenaga pendidik di bidang pendidikan inklusif. Dalam hal ini, kualitas pendidikan dapat diperburuk jika dari tenaga pendidik tidak memiliki keahlian terhadap penanganan anak berkebutuhan khusus.


2.3 Evaluasi dari Kebijakan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Menurut Stufflebeam dan Shinkfield dalam Eko Putro Widoyoko (2017), evaluasi adalah suatu proses yang menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk menilai nilai dan manfaat (the worth and merit) dari tujuan yang dicapai, desain, pelaksanaan, serta dampaknya. Informasi tersebut bertujuan untuk membantu pengambilan keputusan, mendukung pertanggungjawaban, dan meningkatkan pemahaman terhadap fenomena yang ada. Berdasarkan rumusan tersebut, inti dari evaluasi adalah penyediaan informasi yang berguna sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang sesuai dengan standar yang berlaku.

Pendidikan inklusif di Indonesia telah menjadi perhatian besar, terutama dengan adanya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan hak pendidikan bagi setiap individu, termasuk penyandang disabilitas. Namun, meskipun landasan hukum telah ada, implementasi kebijakan pendidikan inklusif masih menemui berbagai hambatan. Evaluasi dari kebijakan ini menunjukkan bahwa meskipun sejumlah kebijakan telah diterapkan untuk mendukung pendidikan inklusif, seperti peningkatan jumlah sekolah inklusi dan pengadaan fasilitas tertentu, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar. Evaluasi kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia dapat dilihat dari dua aspek utama: efektivitas kebijakan berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dan tantangan sosial yang dihadapi.

2.3.1 Efektivitas Kebijakan Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 memberikan dasar hukum yang kuat terkait hak asasi manusia, termasuk hak atas pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak tanpa diskriminasi. Namun, meskipun ada landasan hukum yang jelas, implementasi pendidikan inklusif di Indonesia masih terbentur pada masalah fasilitas, keterbatasan tenaga pendidik, dan kurangnya dukungan di daerah-daerah terpencil. Dalam banyak kasus, kebijakan yang ada belum sepenuhnya terealisasi dengan baik, mengingat ketidakseimbangan antara regulasi yang sudah ada dengan kenyataan di lapangan.

2.3.2 Tantangan Sosial 

Tantangan sosial yang dihadapi dalam penerapan pendidikan inklusif sangat signifikan. Stigma sosial terhadap penyandang disabilitas seringkali menghalangi mereka untuk mendapat akses pendidikan yang setara. Masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya inklusi dalam pendidikan menganggap anak-anak disabilitas sebagai hambatan dalam proses belajar mengajar. Ditambah dengan rendahnya kesadaran akan pentingnya kesetaraan pendidikan, ini memperburuk implementasi kebijakan yang ada. Stigma negatif dan diskriminasi sosial masih menjadi tantangan besar dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan menerima keberagaman dalam pendidikan.

Selain stigma sosial, ada juga tantangan dalam hal penerimaan keluarga terhadap pendidikan inklusif. Banyak keluarga penyandang disabilitas yang merasa ragu atau tidak yakin dengan kualitas pendidikan yang dapat diberikan oleh sekolah inklusif, sehingga mereka memilih untuk tidak mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah reguler. Hal ini semakin diperburuk oleh keterbatasan fasilitas dan tenaga pendidik yang terlatih untuk menangani kebutuhan spesifik anak berkebutuhan khusus. Semua faktor sosial ini, termasuk stigma, kurangnya kesadaran, dan tantangan dalam penerimaan masyarakat, menjadi hambatan besar dalam upaya Indonesia untuk mencapai pendidikan inklusif yang sesungguhnya.

2.4 Kesenjangan antara Kebijakan Inklusif dengan Eksekusi di Lapangan

Meskipun pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mendukung pendidikan inklusif, eksekusinya di lapangan seringkali tidak sejalan dengan harapan yang tertuang dalam regulasi. Salah satu faktor utama penyebab kesenjangan ini adalah keterbatasan sumber daya, baik dari segi fasilitas maupun tenaga pendidik yang terlatih. Di banyak daerah, khususnya di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), akses pendidikan inklusif sangat terbatas, dan fasilitas yang ada tidak selalu memenuhi kebutuhan anak-anak dengan disabilitas.

Selain itu, banyak sekolah yang masih kekurangan pendidik yang memiliki keterampilan dan pemahaman yang cukup mengenai metode pengajaran inklusif. Selain itu, ada juga masalah dalam koordinasi antara berbagai pihak terkait, seperti pemerintah, sekolah, dan masyarakat, yang menyebabkan kebijakan inklusif sulit dilaksanakan secara merata. Di beberapa daerah, stigma sosial dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan inklusif memperburuk situasi, karena penyandang disabilitas seringkali dipandang sebagai kelompok yang tidak mampu belajar dalam sistem pendidikan umum. Semua faktor ini memperlebar kesenjangan antara kebijakan yang ada dengan realitas di lapangan, yang membutuhkan perhatian lebih untuk dapat mewujudkan pendidikan inklusif yang sesungguhnya.

2.5 Refleksi UU No. 39 Tahun 1999

Pada hakikatnya, setiap individu memiliki hak universal, dimana prinsip terkait penghormatan terhadap hak universal ini telah termaktub pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 memang menyatakan terkait hak asasi manusia. Dalam hal ini, tidak heran jika penyandang disabilitas juga mendapatkan jaminan dari adanya undang-undang tersebut. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 3 Ayat 1-3 ini menyatakan bahwasanya sifat dari hak asasi manusi ini universal dan dapat dijadikan dasar atas adanya kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia. Jika ditinjau dari segi pendidikan inklusif, prinsip tersebut mampu menggarisbawahi terkait adanya non diskriminasi dan keadilan sosial terhadap penyandang disabilitas. Sehingga, kesempatan yang setara dengan individu pada umumnya juga harus dimiliki oleh penyandang disabilitas. Lain dari hal tersebut, mengacu pada Pasal 12 yang menyatakan bahwasanya tidak adanya diskriminasi dalam pemerolehan hak untuk pendidikan, tidak terkecuali pada penyandang disabilitas. Dalam artian, pendidikan yang berkualitas dan bermutu juga berhak dimiliki oleh penyandang disabilitas. Akan tetapi, jika direfleksikan dengan implementasi undang-undang, dapat diketahui bahwa kesenjangan yang cukup besar sering ditemukan, baik dari prinsip ideal yang tertulis maupun realitas di lapangan.

Berdasarkan dari kajian Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 3 Ayat 1-3 dan Pasal 12 ini dapat dilakukan analisis kesenjangan di dalamnya. Pasal 3 Ayat 1-3 memang menyatakan bahwasanya didapatkan prinsip hak universal dan keadilan sosial bagi sesama individu. Mengacu pada pasal tersebut, sistem pendidikan di Indonesia harus mengusung pada prinsip keadilan sosial. Dalam realitasnya sendiri, pendidikan inklusif di Indonesia memiliki fasilitas dan infrastruktur yang masih jauh dari kata memadai. Bahkan, di wilayah terpencil seperti pedesaan memiliki aksesibilitas untuk penyandang disabilitas yang sangat rendah. Sehingga, tidak heran apabila mandat undang-undang terkait implementasi keadilan sosial ini sepenuhnya tidak tercapai. Berbeda halnya dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 12 tentang hak untuk pendidikan tanpa adanya diskriminasi, baik secara fisik maupun kurikulum yang inklusif.

Dalam implementasinya, refleksi dari prinsip tersebut masih memiliki tantangan cukup signifikan di Indonesia. Di mana tantangan tersebut dapat berupa fasilitas yang kurang mumpuni untuk penyandang disabilitas, sumber daya manusia yang kurang kompatibel, serta alokasi anggaran pemerintah yang terbatas.  Sedangkan, kerangka hukum yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 ini yaitu memberikan dasar dalam jaminan hak penyandang disabilitas yang sama dengan individu lainnya. Dengan demikian, diperlukan suatu perhatian serius dalam proses eksekusi. Perhatian tersebut dapat direpresentasikan dengan peningkatan pengawasan terhadap implementasi undang-undang. Selain itu, pengawasan tersebut juga diiringi dengan adanya sumber daya yang mumpuni dalam mewujudkan pendidikan inklusif di Indonesia. Maka dari itu, Indonesia akan bebas tentang diskriminasi dalam dunia pendidikan jika konsep pendidikan inklusif diterapkan secara merata. Pemerataan ini mencakup pada penambahan anggaran pendidikan inklusif, kerja sama dengan swasta atau organisasi masyarakat lainnya, serta juga meningkatkan regulasi teknis.

2.6 Rekomendasi dalam Implementasi

Berdasarkan evaluasi terhadap kebijakan pendidikan inklusif dan tantangan yang ada, beberapa rekomendasi perlu diterapkan untuk memperbaiki implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Pertama, perlu adanya peningkatan infrastruktur pendidikan yang ramah disabilitas, seperti ruang kelas yang aksesibel, serta alat bantu belajar seperti buku braille dan teknologi asistif lainnya. Kedua, pelatihan dan peningkatan kapasitas tenaga pendidik harus dilakukan secara merata, terutama di wilayah 3T, untuk memastikan bahwa guru memiliki keterampilan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Ketiga, alokasi anggaran untuk pendidikan inklusif perlu diperbesar, disertai dengan kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta untuk mendukung pengembangan pendidikan yang lebih inklusif. Terakhir, kampanye kesadaran masyarakat perlu digalakkan untuk mengurangi stigma sosial terhadap penyandang disabilitas dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.

3. PENUTUP

Pendidikan inklusif di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam penerapannya, meskipun memiliki dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Meskipun ada perkembangan, seperti peningkatan jumlah sekolah inklusif, berbagai masalah seperti keterbatasan fasilitas, tenaga pendidik yang tidak terlatih, dan stigma sosial masih menghambat proses pendidikan yang setara bagi penyandang disabilitas. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap pendidikan inklusif, baik dari sisi kebijakan, pelatihan sumber daya manusia, hingga kesadaran masyarakat. Implementasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil, serta adanya kerja sama dengan berbagai pihak terkait, akan mempercepat tercapainya pendidikan yang inklusif dan setara untuk semua.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Anwar Hidayat, M.H. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Kewarganegaraan sekaligus memberikan bimbingan dan arahan dari pembuatan artikel non penelitian ini. Selain itu, tim penulis juga memberikan penghargaan kepada Program Studi Teknik Geofisika, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya yang telah menyediakan fasilitas dalam proses pembuatan artikel non penelitian tersebut. Tim penulis berharap agar karya ini mampu memberikan sumbangsih positif terhadap pemahaman terkait stigma pendidikan inklusif di Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2020. Penyandang Cacat Menurut Jenis Kecacatan, 2018-2019. Diakses pada 15 November 2024, dari:https://malangkab.bps.go.id/id/statistics-table/1/NzUwIzE=/penyandang-cacat-menurut-jenis-kecacatan-2018-2019.html

[2] Bartholomeus, R. R. G. 2021. Governing Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Pemajuan, Perlindungan, Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Pada Fasilitas Pelayanan Pendidikan Di Kota Yogyakarta.

[3] Karmelia, B., Khoiriyah, A., Anggarini, A., & Marhadi, H., 2024. Pemanfaatan Sarana dan Prasarana untuk Mendukung Diversitas Siswa Pada Sekolah Inklusi. Jurnal Sadewa : Publikasi Ilmu Pendidikan, Pembelajaran dan Ilmu Sosial, 2(2), 188-198.

[4] Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 2023. Pemenuhan Penuhi Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia. Diakses pada 15 November 2024, dari:https://www.kemenkopmk.go.id/pemerintah-penuhi-hak-penyandang-disabilitas-di-indonesia

[5] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2023. Kemendikbud Ristek Ajak Pendidikan Inklusi yang Merata. Diakses pada 15 November 2024, dari: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2023/03/kemendikbudristek-ajak-wujudkan-pendidikan-inklusi-yang-adil-dan-merata

[6] Mukti, H., Arnyana, I. B. P., & Dantes, N. 2023. Analisis Pendidikan Inklusif: Kendala dan Solusi dalam Implementasinya. Kaganga: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora, 6(2), 761-777.

[7] Purnomosidi, A. 2017. Konsep Perlindungan Hak Konstitusional Penyandang Disabilitas di Indonesia. Refleksi Hukum, 1(2), 161 - 173.

[8] Rahmah, H. H. 2023. Keterbatasan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Wilayah Terdepan, Terluar, Tertinggal (3T): Tantangan dan Solusi. Diakses pada 15 November 2024, dari: https://www.kompasiana.com/hafshah25823/647ac9dd822199057d2159a2/keterbatasan-pendidikan-bagi-anak-berkebutuhan-khusus-abk-di-wilayah-terdepan-terluar-tertinggal-3t-tantangan-dan-solusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun