Menurut Teori Konstruktivisme seseorang harus membangun sendiri pengetahuannya secara aktif. Penekanan Teori Konstruktivisme adalah proses internal yang terjadi di dalam struktur kognitif individu yang belajar. Sedangkan Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.
Dalam teori belajar konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Siswa tidak diharapkan sebagai wadah yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
a)Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individuatau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
b)Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
c)Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dalam teori ini bertujuan untuk memberikan motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya, membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap, mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri, dan lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Sedangkan teori humanistik memandang manusia sebagai ”manusia”, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya; sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai. Sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif. Sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial.
Aplikasi teori humanistik lebih menuju pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberi motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet.
Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran yang mengacu kepada Teori humanisme lebih menjanjikan,agar para siswa dapat bertahan dan mampu bersaing di era globalisasi ini berdasarkan hasil-hasil penelitian yang membandingkan keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H