Ada perkembangan menarik. Partai Demokrat hampir dipastikan akan mendukung Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden. Tinggal menunggu pengesahan formal. PKS secara resmi memastikan mendukung pasangan Anies-Muhaimin Iskandar. Dengan demikian PDI Perjuangan praktis hanya berkoalisi dengan satu partai yang ada di DPR yaitu PPP. Sementara partai pendukung lainnya seperti Perindo dan Hanura, masih berjuang untuk berada di DPR.
Mungkin menarik menghitung peluang para kandidat presiden pada konstestasi 2024. Jika mengacu pada jumlah koalisi dan perimbangan jumlah suara Pemilu 2019, sudah jelas Prabowo mendapat dukungan terbanyak. Gabungan Gerindra, Demokrat, Golkar dan PAN yang mendukung Prabowo secara keseluruhan memperoleh suara sekitar 39,49 persen. Sementara koalisi pendukung Anies-Muhaimin memperoleh suara hampir 27 persen. Paling buncit gabungan PDI Perjuangan dan PPP hanya sekitar 23 persen.
Untuk jumlah kursi di DPR, Â gabungan pendukung Prabowo sebanyak 261 kursi, yang mendukung Anies-Muhaimin 167 kursi, kemudian yang mendukung Ganjar hanya 147 kursi. Gabungan kursi partai pendukung Ganjar juga paling kecil.
Jika melihat angka-angka gabungan suara partai dan jumlah kursi DPR, calon yang diajukan PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo berada pada posisi paling kecil. Jauh dibanding dengan gabungan partai pendukung Prabowo. Sebuah kalkulasi matematis sederhana.
Namun ternyata politik bukanlah matematika. Sekalipun Ganjar Pranowo didukung partai yang perolehan suaranya hanya sekitar 23 persen dalam berbagai survey obyektif justru selalu menempati posisi sebaliknya. Yang tertinggi. Belakangan elektabilitas Ganjar terus meningkat meninggalkan dua kandidat lainnya.
Adakah yang aneh? Tidak. Inilah proses politik Pilpres, yang memang berbeda dengan Pileg. Perolehan suara seseorang kadang bertolak belakang dengan perolehan suara gabungan partai pengusung.
Bukan hal aneh jika partai pengusung jumlahnya kecil, calon Presidennya yang menang. Sementara Capres yang didukung gabungan partai dalam jumlah besar gigit jari.
Seorang mantan Redaktur Majalah Tempo, pernah memberikan analisa menarik. Menurutnya, dalam Pilpres maupun Pilkada, jaringan partai seperti kehilangan fungsi. Mesin partai kadang tidak berjalan semestinya. Terutama ketika Pileg dan Pilpres terpisah. Jika digabungpun kejadian serupa sering terjadi.
Para calon anggota legislatif -terutama yang jauh dari sikap loyal- lebih mengedepankan menyelamatkan diri. Tidak peduli Capres yang didukung partainya. "Yang penting saya selamat," kata seorang anggota DPRD.
Ada anekdot kecil, ketika seorang Caleg DPRD menceritakan pengalaman kawannya. Si kawan katanya, setiap sosialisasi melihat kondisi ke mana arah dukungan Capresnya. Ia tak peduli dengan Capres yang didukung partainya. Inilah mungkin mengapa jaringan partai dalam Pilpres seperti agak kehilangan fungsi.
Sebaliknya, ada fenomena menarik lainnya. Ketika Caleg tak peduli Capresnya, dalam Pilpres yang digabung Pileg, hiruk pikuk justru hanya mengarah konstestasi Pilpres. Keramaian Pileg seperti tenggelam. Ini makin membuat para Caleg makin bergairah memainkan peran atau menyelamatkan dirinya.