Menyaksikan event Aksi 112 yang berlangsung di Masjid Istiqlal terasa jauh berbeda dengan event sejenis lainnya. Dibanding aksi 411 dan 212 terasa jauh baik dari naunsa semangat maupun dari jumlah massa yang hadir. Pemberitaanpun di media massa termasuk media sosial tergolong “terjun bebas” dibanding aksi massa sebelumnya.
Paling tidak ada dua hal menarik yang berubah drastis. Pertama, penampilan Rizieq Shihab yang sangat berbeda. Gaya orasi dia yang biasanya sangat garang berubah sangat kalem. Ini antara lain terlihat saat press conference bersama Menko Polkam Wiranto, lalu ketika tampil hadir di Istiqlal.
Banyak kalangan bertanya, kemana gaya “garang” Rizieq Shihab yang kadang mampu menghipnotis anggota FPI itu. Ada apa kok tiba-tiba Rizieq seperti mendekati gaya Aa Gym, yang terkenal sangat kalem dan santai itu? Reaksi massapun seperti mengikuti gaya Rizieq juga tampak tertib kalem, jauh dari teriak-teriakan penuh semangat.
Di berbagai media sosial menyebut perubahan gaya Rizieq terkait kasus yang membelitnya. Bagaimanapun setegar apapun tekanan bertubi-tubi kasus hukum pasti mempengaruhi mentalitas seseorang. Jangan lupa Rizieq Shihab juga manusia, yang tentu saja akan terpengaruh terkait kasus hukum yang membelitnya sekalipun katakanlah ada cela kemungkinan bebas.
Dugaan kasus cyber sex yang tersebar di media sosial bersama Firza Husein, sekalipun sejauh ini belum terbukti tampaknya ikut mempengaruhi kondisi mental Rizieq Shibab. Foto-foto syur yang diduga Firza Husein yang beredar di tengah masyarakat sekalipun belum terbukti terkait Rizieq Shihab sudah pasti membuat suasana batin tak nyaman. Ini manusiawi. Siapapun akan terpengaruh baik sedikit maupun banyak.
Inilah yang disebut sebuah resiko perjuangan ketika memasuki wilayah politik baik langsung maupun tidak langsung. Baik politik praktis maupun high politic, yang sekedar pressure moral. Masih ingat ketika tokoh reformasi M. Amien Rais diisukan secara “biadab” memiliki hubungan asmara dengan seorang presenter cantik tv swasta. Itu adalah contoh riil tentang belantara kejam dunia politik.
Karena itu penting bagi siapapun yang berniat terjun di pentas politik, bersiap-siap menghadapi terjangan badai. Siap dari segi basis moral dan kasus hukum, masalah perdata dan lainnya dalam arti bersih berbagai masalah sehingga tak mudah dipreteli oleh lawan politik. Jika tidak, siap-siap berbagai “jejak-jejak” kelam masa lalu itu dijadikan amunisi oleh lawan politik. Dan siapapun jika benar mudah sekali terguling serbuan itu.
Di era Orde Baru ada tokoh-tokoh berani yang sangat luar biasa dalam mengkritisi pemerintahan. Ada Abdul Qodir Djaelani, Abdullah Hehamahua, Mawardi Noor ; lalu dari kalangan mantan militer seperti Ali Sadikin, HR Dharsono dan lainnya. Mereka sekalipun dipreteli seperti Bang Ali Sadikin yang ditutup hak perdatanya, tetap tegar dan konsisten. Demikian pula lainnya, tetap tegar dan berani menghadapi kekuasaan; diintrogasi, diadili bahkan dipenjara. Tak sedikitpun sikap mereka berubah.
Mengapa mereka para pejuang di era Orba tegar? Praktis mereka tak memiliki jejak-jejak buram. Apalagi di era itu media sangat terbatas; termasuk tak ada media sosial yang ikut menyebarkan merusak karakter seseorang.
Kedua, tentang massa yang memperlihatkan penurunan. Ini bisa jadi memperlihatkan rasionalitas masyarakat. Bahwa kasus penistaan agama sudah diproses hukum sehingga tak perlu lagi energi dihamburkan pada hal yang kurang dianggap produktif. Masyarakat merasa bahwa saat ini yang terpenting adalah mengawal proses hukum.
Jadi siapapun yang mencoba menggalang massa dengan menggunakan isu agama, ketika persoalan itu sudah diproses hukum akan dianggap sebagai kurang tepat, seperti ditegaskan oleh Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasir. Ini sebuah kesadaran dan kecerdasan menggembirakan dari masyarakat negeri ini bahwa mereka memiliki kedewasaan dalam berpikir.