Mohon tunggu...
Miqdad Husein
Miqdad Husein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aktivis Keagamaan

Sangat menyukai joke-joke segar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Epidemi Anarkisme "Kata-kata"

31 Januari 2017   08:59 Diperbarui: 31 Januari 2017   09:11 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata-kata belakangan ini penuh amarah tanpa kendali. Tak sekedar amarah. Sumpah serapah, makian binatang,  bahkan hinaan dikaitkan orang tua begitu mudah tumpah ruah tanpa sebab proporsioanal.

Sangat tragis. Sebab sebuah alasan proporsionalpun tak pernah membenarkan membiarkan kata-kata kasar meluncur. Apalagi bernuansa hinaan dan makian di ruang publik yang tanpa ada batas-batas siapa yang pantas dan layak membacanya. Tapi itulah fakta dan realitas yang marak belakangan ini.

Jelas sekali bukan hanya penyakit hoax yang kini menjadi epidemi. Kata-kata kasarpun mewabah menyelusuf memasuki ruang-ruang yang tak semestinya. Bayangkan, perbincangan terkait simbol-simbol agamapun disembur kata-kata jauh dari kepantasan.

Agaknya seperti penyakit fisik kata-kata sarkastis mudah menular. Jauh lebih berbahaya dari penyakit fisik karena kadang mereka yang tertular tak menyadarinya. Identitas keramahan sebagai bangsa yang begitu melekat tak disadari menguap tanpa bekas.

Sulit menjawab mengapa fenomena epidemi  anarkisme sintaksis ini meluas. Jika dianggap sebagai dampak pertarungan politik agak terasa aneh. Kenapa baru sekarang. Bukankah pertarungan politik sudah kerap berlangsung. Mengapa - baru sejak Pilpres kemaren kata-kata seperti kehilangan pijakan nurani. Kasar, penuh makian dan hinaan bahkan kadang  bermuatan fitnah. Sebuah pertanyaan yang belum ditemukan jawabannya.

Media sosial mungkin bisa dituding sebagai salah satu faktor. Namun medsos jelas tak lebih dari sebatas alat. Sekedar mempermudah komunikasi. Ia diam dan sepenuhnya tergantung tarian tangan apakah diisi kata-kata manis atau sebaliknya.

Tiba-tiba saya teringat pengalaman menarik dari perjalanan hidup dua keluarga dari  sahabat terdekat. Dalam keluarga pertama, ibu dan bapak tak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Bila ada lontaran kasar dari salah satu anaknya akan muncul peringatan keras. Itu berlangsung dari sejak  kecil. Dampaknya luar biasa. Hampir seluruh keluarga, abang, adik, kakak sampai dewasa praktis tak pernah melontarkan kata-kata kasar. Jangankan makin binatang, sumpah serapahpun tak pernah.

Berbeda dengan sebuah keluarga teman satunya. Seluruh keluarga itu akrab tak hanya dengan makian dan sumpah serapah. Hampir semua binatang yang dikenal manusia seperti anjing, babi, monyet, buaya termasuk setan, berseliweran seperti di pasar sehari-hari. Antar anak mudah sekali keluar nama-nama binatang.

Kebiasaan menyebut penghuni kebun binatang itu sehingga menjadi umpatan keseharian ternyata tak lepas dari pimpinan keluarga, ayah dan ibu. Dua orang tua itu begitu gampang melontarkan kata-kata kasar, sumpah serapah sehingga seluruh anaknya terbiasa dan akhirnya tertular.

Dua perbandingan kontradiktif ini bisa menjadi pisau analisa sederhana. Jika dalam rumah tangga ada ayah dan ibu yang gampang menularkan kata-kata sarkastis, di tengah masyarakat para pemimpin, tokoh agama, tokoh masyarakat, “yang menjadi orang tua”  masyarakat yang akan mudah menularkan epidemi anarkis kata-kata.

Seperti anak yang gampang meniru orang tua, masyarakat awam juga mudah meniru mereka yang berada di lapisan atas,yang dianggap pemimpin. Apalagi ketika lapisan atas yang terbiasa berkata kasar itu dianggap sebagai idola. Ini potensial segala hal yang dilakukan akan ditiru masyarakat awam termasuk kata-kata kasar, makian, umpatan dan hinaan serta fitnah-fitnah.

Sederhananya, jika dalam rumah tangga kebiasaan kasar anak muncul karena orang tuanya, di tengah masyarakat mudah merebak karena kelakuan para elitenya, yang dianggap pemimpin. Bisa pemimpin politik, pemimpin agama, tokoh masyarakat dan lainnya.

Sadar atau tidak, diakui atau tidak begitulah yang merebak belakangan ini. Epidemi anarkisme sintaksis, penyakit menular penggunaan kata-kata kasar, makian, sumpah serapah, fitnah, hoax, di tengah masyarakat tak lepas dari virus bersumber dari para elite.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun