Mengenai aturan kewarganegaraan yang berbeda-beda di tiap negara juga memudahkan terjadinya naturalisasi, beberapa negara yang mengakui kewarganegaraan ganda memungkinkan individu yang mereka naturalisasi untuk tetap memiliki kewarganegaraan aslinya. Bahkan beberapa ahli menganggap dengan semakin terbukanya dunia kita saat ini, di masa depan seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda ataupun lebih akan menjadi sebuah kenormalan (Rubenstein & Adler, 2000). Selain itu menurut Steinhardt (2008) Dengan keputusan seseorang  untuk melakukan naturalisasi, individu tersebut mengungkapkan keinginannya untuk tinggal secara permanen di negara tersebut, menunjukkan keterampilan bahasa yang memadai, membuktikan bahwa ia telah tinggal selama beberapa tahun di dalam negara tersebut dan berkomitmen pada hukum yang berlaku.
Naturalisasi Dalam Sepakbola
Seperti yang saya tuliskan di atas, saya akan berfokus pada masalah naturalisasi di dalam olahraga sepakbola, dalam sejarah sepakbola sudah sangat banyak terjadi naturalisasi pemain oleh sebuah negara yang saya anggap paling sukses adalah Luis Monti dan Raimundo Orsi yang menjadi runner-up piala dunia 1930 bersama Argentina dan kemudian menjadi juara dunia di Piala Dunia 1934 bersama Italia, setelahnya semakin banyak negara -- negara yang melakukan naturalisasi untuk meraih prestasi di sepakbola, yang cukup mencengangkan adalah bagaimana di Piala Dunia 2018 Brasil mampu mengirimkan 28 orang pemainnya, dengan 23 orang berada di Timnas Brasil dan 5 orang lainnya tersebar di negara negara lain (Glenniza, 2018). Â Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa Brasil merupakan sebuah jaminan mutu untuk mengangkat prestasi sepakbola, selain itu Brasil juga mengakui kewarganegaraan ganda, sehingga para pemain Brasil tidak perlu takut untuk kehilangan kewarganegaraannya ketika membela negara asing.Â
Di Asia, sangat banyak kasus naturalisasi yang dilakukan atas nama prestasi. Jepang, China, Qatar, Singapura, Filipina bahkan Indonesia melakukan naturalisasi untuk mendapatkan prestasi di sepakbola. Bahkan Singapura memiliki program yang bernama Foreign Sports Talent Scheme (FST) sebuah program untuk mencari atlet asing yang dianggap mampu membawa prestasi bagi olahraga Singapura. Hasilnya? Dalam gelaran Piala AFF Singapura sudah mampu 4 kali juara.
Lantas Bagaimana dengan Indonesia? Sejak pertama kali menyertakan pemain naturalisasi di Piala AFF 2010, prestasi tertinggi yang pernah dicapai oleh Indonesia adalah menjadi Runner-up di tahun 2010 dan 2016. Sampai saat ini tercatat puluhan nama pemain asing yang sudah menjadi warga negara Indonesia dari nama yang terkenal seperti Cristian Gonzales dan Stefano Lilipaly bahkan nama yang belum pernah anda dengar seperti Godstime Ouseloka dan Mufilutau Opeyemi Ogunsola, bahkan dalam kasus di Indonesia seringkali naturalisasi digunakan untuk mengakali regulasi liga yang mengatur banyaknya jumlah pemain asing dalam satu klub.Â
Sebagaimana yang disebutkan oleh Glenniza (2018) tidak semua, tapi mayoritas dari pesepakbola yang dinaturalisasi adalah pesepakbola yang "terbuang" dari negara asalnya, artinya jika mereka tidak pindah kewarganegaraan, mereka mungkin tak akan pernah sama sekali merasakan pertandingan level internasional. Bermain di level internasional adalah portofolio yang bagus untuk seorang atlet.
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa alasan mereka untuk mau dinaturalisasi adalah ketika mereka menganggap bahwa diri mereka tidak cukup bagus dan merasa tidak mampu bersaing untuk bermain di tim nasional negaranya sebagai contoh adalah Elkesson yang mau berpindah kewarganegaraan menjadi China dan Mario Fernandes yang berpindah kewarganegaraan menjadi Russia. Di sisi lain negara negara yang inferior dibidang sepakbola menganggap bahwa pemain buangan dari negara yang lebih superior ini adalah pemain yang baik. Dalam podcast yang dirilis oleh Footballeur (2020) dikatakan bahwa pemain yang tidak terpakai di negara yang lebih superior ini mungkin adalah pemain kelas C atau bahkan D di negaranya, namun ketika dia berpindah ke negara yang lebih inferior maka kelasnya meningkat menjadi kelas A di negara tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika Timnas Sepakbola Indonesia di Asian Games 2018 dimana pada saat itu Alberto Goncalves yang sudah berumur 37 tahun menjadi motor utama Tim.Â
Lantas Adakah Rasa Nasionalisme Di Dalam Pemain Naturalisasi?
Menjadi pertanyaan besar ketika kita membahas nasionalisme pemain naturalisasi, banyak yang menganggap bahwa pemain yang bermain di tim nasional dengan status naturalisasi sama halnya dengan pemain yang bermain di klub mereka dapat berpindah--pindah sesuka hatinya. Hal ini terjadi di masa lampau seperti yang terjadi pada Alberto di Stefano yang pernah membela tiga tim nasional (Argentina-Kolombia-Spanyol). Bahkan yang luar biasa, di Stefano mengantongi 4 penampilan di Kolombia tanpa pernah memegang paspor Kolombia walaupun Kolombia saat itu mengalami pembekuan oleh FIFA. Untuk mengatasi masalah ini FIFA sebagai induk Sepakbola dunia mengeluarkan regulasi yang mengatur bahwa seorang pemain hanya boleh berpindah kewarganegaraan jika mereka belum pernah membela negara asalnya sama sekali dalam sebuah agenda resmi FIFA di kelompok senior.Â
Masalah "orang asing" yang membela sebuah negara ini memang banyak menjadi sorotan, bahkan pada kasus Mesut Ozil yang sudah menjadi warga negara Jerman sejak lahir sering disoroti ketika Ozil tidak terlihat menyanyikan lagu kebangsaan Jerman. Hal ini lantas menjadi pertanyaan, jika seorang yang sudah menjadi warga negara tersebut selama beberapa generasi saja masih dianggap berperilaku yang kurang etis bagaimana lagi dengan orang yang tidak punya ikatan apapun dengan sebuah negara namun dengan cara yang "luar biasa" mampu menjadi representatif sebuah negara.
Jika kita membahas pemain yang sudah lama bermain di sebuah negara seperti Cristian Gonzales dan Osas Saha atau mereka yang mendapatkan naturalisasi berdasarkan jalur keturunan (ius sanguinis) seperti Irfan Bachdim dan Stefano Lilipaly hal ini dapat mereka jelaskan bahwa mereka memiliki rasa terikat dengan sebuah negara, baik karena sudah lama menetap, memiliki rasa terikat dengan asal nenek moyangya ataupun sudah memiliki pasangan di tempat tersebut. Namun bagaimana jika kasusnya adalah orang yang memang sengaja dipanggil untuk membela sebuah negara? Apakah dia memiliki rasa bangga akan nasionalismenya atau hanya bermain bagaikan tentara bayaran? Â