Ketika itu, Korea Selatan adalah salah satu negara termiskin di dunia. Fakta ini tentu sangat memalukan bagi masyarakat Korea. Apalagi mereka punya tetangga yang jauh lebih maju, yakni Jepang. Karena itu, negeri ginseng mulai tancap gas dengan rencana ekonomi 5 tahunan bergaya militer yang diinisiasi oleh Park CHung-hee.
Dari tahun 1961-1987 sebagai periode pertumbuhan pesat Korea Selatan, "ppalli-ppalli" sudah menjadi nama tengah para pekerja Korea yang mengubah negara: Dari pengekspor bahan-bahan mentah menjadi produsen pabrik, wig, tekstil, barang-barang elektronik, dan semikonduktor.
Antropolog Kim Choong-soon  di Way Back Into Korea menyebut kecepatan sebagai faktor utama kesuksesan Korea Selatan sebagai eksportir.
"Praktik ppalli-ppalli bukan hanya bagian dari keseharian bagi orang Korea; kecepatan juga terpatri dalam benak mereka sebagai nilai mendasar"
Dalam konteks industri hiburan Korea, ppalli-ppalli yang sekarang dimaknai lebih positif menjadi gesit, cerkas, atau"gercep" menjadi syarat seorang idol saat menjalani proses trainee sebelum debut. Bakat saja tak cukup, karena yang paling penting mereka harus "ppalli-ppalli" agar bisa debut sesuai tenggat yang sudah ditentukan manajemen.
Setelah mendapatkan kesempatan debut, apakah mereka bisa bersantai?
Euny Hong dalam buku Korean Cool (2016) menyebutkan para trainee K-Pop idol, selain harus melewati seleksi super ketat di tahap audisi, "penderitaan" calon-calon bintang ini tak berhenti bahkan malah semakin bertambah dengan jam latihan yang panjang. Kesabaran pun harus ekstra karena umumnya yang junior tidak boleh mendahului trainee yang lebih senior. Nyaris tak ada waktu beristirahat, beberapa dokumenter tentang betapa keras latihan para calon idol ini bisa Anda saksikan di berbagai platform online. Salah satunya di bawah ini.Â
Di aspek ekonomi yang lebih makro, industri hiburan memang menjadi fokus utama Korea Selatan untuk memulihkan ekonomi setelah krisis. Menyadari bahwa pasar industri hiburan di dalam negeri Korea Selatan terbatas, pemerintah membangun KOCCA (Korea Creative Content Agency), KOFICE (Korea Foundation for International Cultural Exchange), dan KTO (Korean Tourism Organization) yang berada di bawah koordinasi Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata Korea Selatan (MCST) untuk "ppalli-ppalli" dalam menguasai pasar luar negeri.
Bagi Anda yang belum tahu, KOCCA merupakan wadah industri kreatif Korea Selatan yang memegang peranan dari mulai musik, fashion, penyiaran, gim sampai animasi. KOFICE sebagai lembaga yang bertugas memperkenalkan budaya dan Korea Selatan ke dunia internasional. Sementara KTO adalah organisasi yang berkaitan dengan potensi negara meraup devisa dari popularitas Hallyu di luar negeri.
Boleh jadi, rahasia kesuksesan Korea Selatan menggebrak industri hiburan dunia, selain karena "ppalli-ppalli", mereka jugalah satu-satunya negara yang memiliki badan-badan di kementerian, dengan fokus utama mengurusi industri kreatif dan hiburan di negeri Hallyu Wave tersebut.
Menurut Kompasianers, dapatkah tradisi "ppalli-ppalli" diterapkan di Indonesia? Begitu pula dengan memfokuskan kebijakan ekonomi pada industri kreatif?Â