Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai "The Unsung Hero" dalam Kehidupan

29 Juni 2022   11:33 Diperbarui: 29 Juni 2022   11:41 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dream.co.id

"Mereka tidak punya plakat, tidak bertabur piala, sangat jarang pula dielu-elukan. Tapi mungkin mereka pahlawan yang sangat berjasa dalam hidup kita."

Di Indonesia, guru adalah salah satu contoh the unsung hero atau pahlawan tanpa tanda jasa. Sudah bukan rahasia bahwa, berbeda dengan para pahlawan yang diberikan tempat pemakaman khusus dan predikat lewat peraturan Kementerian Sosial atau tap MPR, guru nyaris senyap dari seremoni.

Betapa miris jika mengingat kejadian tragis atas guru yang dibunuh mantan muridnya. Atau guru yang dijadikan guyonan anak-anak didiknya di depan kelas. Padahal, guru, sangat layak dihargai karena bisa jadi posisinya tak kalah penting dibanding "pahlawan-pahlawan ketetapan".

Karena gurulah sebenarnya yang melahirkan pahlawan-pahlawan itu sendiri. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tjiptomangunkusumo, Cokroaminoto, Agus Salim, untuk menyebut segelintir nama pahlawan yang merupakan golongan terpelajar generasi awal Indonesia, tidak mungkin mencapai status demikian itu tanpa jasa guru.

Begitu pun kini, guru tetap tak tergantikan sebagai pencetak generasi bangsa yang cerdas. Guru, "digugu dan ditiru". Begitu pepatah Jawa bertamsil.

Pertanyaannya, apakah the unsung hero itu hanya ada dalam diri guru? Tentu saja tidak! Di berbagai aspek hidup, dalam detail keseharian, tentu ada banyak hero, yang ironisnya seringkali luput dari perhatian kita.

Petugas kebersihan misalnya. Tidak adanya mereka bisa berarti kiamat buat kita. Sebab jangankan jalan-jalan, mungkin untuk keluar rumah pun pastinya kita malas akibat sampah berserakan di mana-mana. Pernah kita memikirkan kesejahteraan mereka sampai tergerak untuk mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan?

petugas-kebersihan-kompasiana-62bbd1e70d8230197070a6a7.jpg
petugas-kebersihan-kompasiana-62bbd1e70d8230197070a6a7.jpg

Sumber gambar: Kompas.com 

Atau tukang tambal ban. Lenyapnya mereka adalah bencana besar. Lho saya kan pakai mobil dan punya ban serep? Bukan di tukang tambal ban pula benerinnya kalau kempis! Di antara Anda mungkin ada yang bergumam seperti ini.

Oke, itu artinya bukan untuk Anda. Tapi ini tentang moda transportasi masyarakat kebanyakan yang menurut Badan Pusat Statistik berjumlah 115.023.039 unit pada 2020 di Indonesia. Pada 2022? Wallahualam. Tapi secara historis merujuk ke data BPS tersebut, sejak 1949 jumlah sepeda motor tidak pernah mengalami penurunan di Indonesia.

Siapa lagi? Anak muda yang tanpa pamrih membantu lansia menyebrang di jalan raya. Orang tak dikenal yang bukan sanak saudara tapi dengan senang hati menunjukkan arah bahkan mengantar ke tujuan di kala tersesat. Atau pedagang makanan kaki lima yang menyisihkan jatah khusus untuk para tuna wisma dan tetangga yang membantu saat rumah kebanjiran.

Masih kurang? Silakan Anda tambah sendiri ya daftarnya.

Buat saya pribadi, terlepas dari apa pun profesi dan latar belakangnya, the unsung hero memang selalu ada di sekitar kita. Seperti dulu, waktu pertama saya datang ke Jakarta. Sebagai anak daerah yang norak, mau tak mau, saya dipaksa terpana melihat gedung-gedung tinggi dan manusia Jakarta --  yang saya dapat dari televisi supercuek dan kejam.

jakarta-kompasiana-62bbd408d69ab31b57602052.jpg
jakarta-kompasiana-62bbd408d69ab31b57602052.jpg

Sumber gambar: Kompas.com 

Saya yang baru saja diterima kerja tentu saja harus mencari hunian alias kost untuk tinggal, yang ternyata susahnya minta ampun. Bukan karena tak ada, melainkan kurang cocok. Ya, kurang cocok! Ada yang harganya pas, kondisinya buluk. Ada yang oke punya, tapi harganya membuat saya terpaksa menelan ludah. Ya, kerja aja baru mulai, dapat uang dari mana buat bayar kost yang mahal?

Alhasil, saya memutuskan tidur di masjid untuk melepas lelah ditambah harapan bisa bertanya kepada beberapa jamaah terkait informasi kontrakan murah. Saya tidak ingat nama masjid yang saya tiduri tersebut, tapi saya yakin itu di daerah Slipi. Dan hanya tersisa ingatan samar tentangnya; letaknya tepat di pinggir jalan sebuah kompleks pemukiman padat, berwarna pisang matang, berpagar tinggi dengan lantai agak retak-retak.

Namun, baru saja mata hendak menutup, tetiba sebuah gagang sapu memukul-mukul ringan di pantat. Empunya, seorang lelaki kira-kira berusia lima dasawarsa, berjenggot tipis, sebagian besar memutih. Tatapannya yang awas membuat hati saya ciut dan refleks bangun untuk kemudian tergesa duduk.

"Bangun," Ia berujar dengan tegas. 

"Udah mau magrib, orang-orang bakal datang, siap-siap sholat" tambahnya. 

Dengan perasaan terpaksa, juga campuran tak enak dan kepala pening, saya mengambil wudhu.

Singkat cerita, selesai salat saya beranikan diri mendatanginya dan meminta maaf lantas menceritakan tentang kondisi yang sedang saya hadapi. Ia mengangguk-angguk, mendengarkan dengan khidmat, layaknya seorang murid yang mendengarkan petuah gurunya.

Tanpa dinyana, ia berkata: 

"Tinggal aja di sini, nak, sampai dapat kontrakannya. Sekalian bantu-bantu, ya"  

Saya berkaca-kaca dan nyaris merangkulnya. Tiga hari saya tinggal di masjid bersamanya, sesekali membantunya mengepel, menyapu, dan menyikat toilet kamar mandi.  Yang membuat saya paling terenyuh, ia selalu menyediakan nasi bungkus untuk saya setelah pulang kerja.

Hingga akhirnya saya mendapat kost-an murah dekat kantor. Tidak bisa tidak saya mesti mengabarinya dan mengucapkan selamat tinggal serta menghaturkan terima kasih yang tak terhingga. Ia, ketika itu, saya ingat betul, tersenyum dan melambaikan tangan.

Tujuh tahun sudah kejadian itu berlalu. Saya tidak pernah lagi ke masjid tersebut, pun sekadar untuk bersilaturahmi dengan pak Marbot [namanya saya rahasiakan], salah satu the unsung hero dalam hidup saya. Apa yang menahan saya? Mungkinkah saya begitu bebal karena menganggap kebaikan orang cukup diingat sambil lalu? Boleh jadi.

Ataukah empati saya sudah terkuras akibat terlalu banyak pertimbangan bahwa kenal sama orang itu harus ada untung-ruginya? Dan kenapa juga saya harus mengucapkan "SELAMAT TINGGAL" ketika itu? Padahal jumlah orang baik di lingkaran pergaulan saya tidak pernah terbilang banyak? Entahlah. Dada saya tiba-tiba sesak.

Anda pernah punya pengalaman bertemu the unsung hero dalam tempat dan waktu berbeda seperti saya? Semoga Anda jauh lebih baik dalam menghargai mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun