Saat gagal menjadi kampiun, apalah artinya itu rekor individu? Mungkin seperti inilah pertanyaan yang berkecamuk di dada Lionel Messi. Pemain terbaik dunia sebanyak lima kali, pencetak gol sepanjang masa Barcelona, dan terbanyak di tim Tango, tak banyak berarti buatnya. Ia, sang Mesias, lebih sebagai seorang ‘yang terkutuk’ daripada ‘yang terberkati’. Kalah untuk kali ketiga di final saat mewakili negaranya, tanpa mencetak gol, bahkan gagal mengeksekusi penalti di Final Copa America 2016 Centenario.
Ya, Lionel Messi masih belum bisa menjadi “juru selamat” bagi Argentina yang sudah puasa gelar selama 23 tahun. Ia bersujud, kecewa, saat gagal mengeksekusi penalti. Ia berjalan lunglai, di antara gemuruh fans dan teriakan kemenangan para pemain Chile, yang mempecundanginya dua kali.
Tak ada yang merangkulnya. Tak ada yang menghiburnya. Tak ada yang memeluknya. Pemain Argentina lainnya, larut dalam kesedihan yang sama. Tertunduk lesu dengan mata berkaca-kaca.
Tatapan Messi saat merelakan trofi juara lepas dari tangannya. Tak kalah dramatis saat ia juga gagal Messi merengkuh trofi Piala Dunia 2014.
Sumber gambar: Dailymail
Pesepakbola Jenius yang Berada di Masa yang "Salah"?
Messi adalah pesepakbola jenius, dipuji lawan maupun kawan. Sebagai seorang pribadi ataupun seorang atlet, hampir susah mencari cela dalam dirinya. Rekor personalnya pun sulit dicari tandingannya: Baru Messi yang bisa menjadi pemain terbaik dunia sebanyak lima kali. Pencetak gol terbanyak di klubnya, Barcelona, juga di timnas Argentina. Prestasi lainnya, jika ditulis semua mungkin akan menghabiskan space tulisan ini.
Jelas tak ada yang menyangsikan kualitas itu. Tapi akibat kegagalan demi kegagalannya di final saat ia menjadi kapten, suara-suara miring mucul bak keran bocor. Ironisnya, hal itu datang dari mereka yang dibelanya, rakyat Argentina sendiri.
Tak sedikit yang menyarankannya pensiun, menuduhnya lebih berhati Catalan daripada Tango. Yang lebih menyakitkan, legenda hidup Argentina, Diego Maradona pun mengatakan kalau ia tak memiliki jiwa kepemimpinan. Padahal ia, Maradona, mungkin satu-satunya orang yang bisa dipersalahkan pada World Cup 2010, saat Argentina dibantai Jerman 4-0 di perempat final.
Untuk poin kedua, yaitu "lebih berhati Catalan daripada Tango" bisa jadi benar. Messi memang tak memiliki akar yang kuat di Argentina. Ia diangkut pada umur 13 tahun ke La Masia, dan lebih banyak menghabiskan waktu di Spanyol hingga kini. Ia mungkin kurang "Argentinos", tak seperti Maradona yang memiliki koneksi luas hingga ke semua golongan rakyat Argentina, politikus, penguasaha, bahkan ke tingkat mafia-mafia dan kartel. Ia juga bukan Carlos Tevez atau Riquelme yang sangat dicintai Barra Brava--sebutan untuk para suporter garis keras di Argentina.
Namun pantaskah jika semua kegagalan Albiceleste dibebankan ke pundaknya? Bisa iya, bisa juga tidak.