[caption caption="Seorang penumpang di halte busway dan notifikasi pemberitahuan mengenai transit APTB. Sumber gambar: koleksi pribadi Iqbal Awal"][/caption]“Kok pas APTB dilarang, gak serame pas Ojek Online dilarang ya?”
Celetuk seorang pria separuh baya dengan aksen Sunda yang cukup kental. Jujur saya hanya terdiam menanggapi pertanyaannya, sambil sedikit tersenyum, agak malu, karena tak bisa menjawab apa yang menjadi kegelisahannya.
Tiba-tiba seorang pria muda, dari penampilannya saya mengira dia adalah seorang mahasiswa atau freelancer: rambut a la rockabilly, menggunakan t-Shirt musik Homicide, celana pendek lengkap dengan tas yang terlihat penuh dan berat, menimpali, “Karena APTB tak mewakili kepentingan kelas menengah urban yang mengaku dirinya high tech, meski mereka ini baru mengenal menggunakan aplikasi dan membeli smartphone terbaru dengan cara kredit. Harap maklum Pak, APTB itu tak mencerminkan sesuatu yang “kekinian”, seperti halnya Ojek Aplikasi yang bisa membuat pembelanya (seakan) menjadi orang yang peduli terhadap kemajuan dan kemudahan.”
“Padahal, heuuuuhhhhh,” ia terus berbicara dengan nada sinis, “Mereka, kelas menengah ngehek itu hanya takut kepentingannya terganggu”
Wuidiiiihhhh dahsyat! Tapi saya tetap tak mengerti.
Begitu juga pria separuh baya yang nyeletuk tadi pun seakan tak peduli. Menganggap omongannya sebagai angin lalu, kemudian tanpa ekspresi tanpa apresiasi, ia pun langsung saja masuk Bus Transjakarta yang datang menghampiri dan membuka pintu secara otomatis, menghembuskan hawa mesin, panas tubuh, aneka bau campuran antara keringat, parfum, hingga deodorant yang sudah kadaluarsa.
Sementara saya dan si pria muda, tetap setia menunggu APTB, mungkin masih ada yang nekat masuk Jakarta setelah Dishubtrans menetapkan APTB tidak boleh masuk Jakarta (5/3/2016).
Curhat sebagai Pengguna Setia
Saya tidak akan bersusah payah membela para sopir dan kernet APTB dengan nada-nada melakoli dan dramatis, “Bagaimana nasib pekerjaan mereka, makan apa nanti istri dan anaknya kalau bla.. bla.. bla....” Mereka masih segar bugar kok, bapak-bapak dan anak muda yang kesempatan kerjanya masih panjang.
Saya juga tak akan membela para penumpang APTB, yang dari Bogor, Bekasi, Cileungsi, Cibinong, dan Ciawi, yang selalu setia menunggu di setiap halte dan terminal bayangan bahkan di pinggir jalan. Maaf bukan tidak peduli atas kesulitan Anda semua, tapi jumlah Anda terlampau banyak, karena itu, saya tak mungkin menampung semua aspirasi dan perasaan Anda-anda ini terkait APTB dilarang masuk Jakarta. Maaf, maaf, maaf sekali lagi.... Jadi, saya akan curhat saja, meminjam istilah yang selalu digunakan para “digital savvy”, sebagai seorang user setia.
Sebagai orang perbatasan, yang siang berada di bawah kekuasaan Ahok dan malem berada di bawah teritori Aher, APTB sangat membantu sih, itu faktanya. Maklum, kenyamanan dan keamanan yang ditawarkan APTB tak saya temukan saat naik KRL, apalagi bis-bis menuju Terminal Rambutan yang selalu dijejali pedagang asongan dan pengamen. Di APTB, semua itu tak ada, belum lagi tempat duduk yang empuk, full AC, dan pelayanan yang ramah, menjadi nilai tambah meski saya harus membayar lebih mahal.
(Deskripsi ini benar-benar mewakili kelas menengah ngehek ya, yang selalu ingin hidup di comfort zone, mudah-mudahan saya segera diinsyafkan)
Selain itu, menurut saya, APTB juga lebih cepat dibandingkan Bus Transjakarta, baik itu Bus Transjakarta warna orange yang panjang kayak ulat melenggak-lenggok berat sebelah seperti mau jatuh, maupun Bus Transjakarta abu-abu yang pendek, kotor, ngebul gosong, dan tak jarang mogok di tengah jalan. Pasalnya, APTB sering kali keluar jalur busway, salip kanan-kiri, dan satu lagi, ini yang paling saya suka: mengambil penumpang di pinggir jalan.
Buat saya orang perbatasan, dan tak menutup kemungkinan Anda semua user setia APTB, jelas ini merupakan berkah tersendiri. Karena tentu tak semua dari Anda memiliki e-Ticket untuk masuk halte yang sebenarnya merupakan perpanjangan tangan dari promosi perbankan itu, dan yaaaa ... lumayan juga ‘kan ngirit Rp3.500,00.
(Tipikal kelas menengah banget ya, pengen instan dan cenderung itungan, mudah-mudahan saya dan kita semua segera diinsyafkan)
Tapi mungkin karena itulah APTB menjadi cukup meresahkan bagi jalanan Ibu Kota yang sudah dari sananya semrawut. Apalagi, APTB pun menarik ongkos bagi setiap penumpang antarhalte sebesar Rp5.000,00, mungkin hal ini pun meresahkan karena sudah membayar Rp3.500,00 eh ditarik lagi goceng. Atau mungkin ada kecemburuan yang muncul dari para kernet Bus Transjakarta “beneran” atas hak istimewa para kernet APTB tersebut.
Karena faktanya, APTB tak pernah sepi penumpang lho. Coba bayangkan berapa yang mereka dapatkan setiap hari dari setiap penumpang yang rela membayar goceng asal nyampe kantor atau mall lebih cepat! Kernet Bus Transjakarta “beneran”? Mana ada, mereka hanya bisa gigit jari.
Dan satu lagi, off the record saja ya, saya tak jarang melihat para pegawai Busway di halte-halte menerima sisipan duit dari para kernet APTB. Nah, ada simbiosis mutualisme dalam praktik korupsi kecil-kecilan ternyata sodara-sodara.....
So, jika Pemerintah DKI dan Dishubtrans melarang APTB masuk Jakarta, saya mendukung sepenuhnya, asal memang didasari niat untuk membenahi dan meneraturkan transportasi publik Jakarta. Sampai di sini, OK! Tapi bapak/ibu pengambil kebijakan juga harus ingat, Jakarta itu milik semua, termasuk orang-orang perbatasan yang mencari nafkah di sana: ibu-ibu dan bapak-bapak yang setiap hari naik APTB dengan bungkusan besar ke Tanah Abang, Grogol, Senen dan Priuk atau para pekerja kantoran yang rela bolak-balik setiap hari karena tak mampu membeli rumah di Jakarta yang terlampau mahal. Pikirkan juga mereka Pak/Bu, karena mereka adalah bagian dari denyut nadi ekonomi Jakarta yang layak menikmati layanan transportasi publik.
[caption caption="Ironi transportasi Jakarta: Dianjurkan naik bis untuk mengurangi kemacetan, tapi harus rela berdesak-desakan dan macet tetap saja terjadi. (sumber gambar: republika.co.id"]
Salam Kompasiana, Semua Pengguna Bus Transjakarta, dan Tentu Saja APTB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H