Contoh lainnya, perasaan inferior kita juga berpengaruh terhadap kecenderungan kita dalam memilih produk. Lihat saja, tentu banyak dari kita lebih memilih produk dengan cita rasa luar negeri daripada memilih produk dalam negeri: akan lebih banyak yang merasa bangga dan tertarik menikmati fried chicken dan pizza, daripada menyantap tempe dan rendang. Benar ‘kan? Belum lagi, contoh-contoh lain yang jika diutarakan semua di sini, niscaya begitu panjang daftarnya.
Padahal, kitapun sudah tahu, banyak hasil kreatitivas masayarakat Indonesia memiliki reputasi internasional. Sebut saja Batik dan Tenun Sasak, lalu ada juga juga tempe, rendang, nasi goreng, dan sate yang sangat membanggakan karena dianggap sebagai kulier-kuliner terlezat di dunia. Belum cukup sampai di situ, Indonesian pun ternyata memiliki produk dalam negeri yang berhasil menembus pasar dunia karena berkualitas tinggi
[Saya tak akan menguraikan apa saja produknya di sini, karena ini bukan content marketing ataupun advertorial produk apapun]
Setelah menyimak ulasan di atas, masih relevankah kita merasa inferior dan mengenyampingkan produk dalam negeri?
******
Saya mohon maaf sebelumnya, tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca sekalian untuk anti-brand luar. Karena kenyataannya, saya juga mengakui banyak menggunakan produk-produk dari luar dan memimpikan liburan ke luar negeri.
Tapi tujuan tulisan yang sederhana ini, lebih kepada mengajak kita agar lebih proporsional dalam mamandang Indonesia, termasuk mengurangi rasa “wah” terhadap segala sesuatu yang berasal dari luar juga menetralisisr sikap kita dalam memilih produk. Karena dari aspek kualitas, ternyata banyak produk lokal berkualitas internasional, dan hal itu sudah semestinya membuat kita bangga dan (memang) setara dengan bangsa lain.
Sekali lagi, saya mohon maaf jika ada beberapa pernyataan saya yang menyinggung pembaca sekalian. Sedikitpun saya tak bermaksud demikian sebab tulisan ini, saya tegaskan sekali lagi, merupakan autokritik terhadap diri saya sendiri sebagai bagian dari Indonesia. Itu berarti saya memberanikan diri mengkritik diri saya sendiri dengan berusaha mengahadirkan tulisan kritis, yang semata-mata demi kemajuan bangsa yang kita cintai ini.
Seperti kata Ernest Renan, bukankah kebesaran sebuah bangsa ditentukan oleh seberapa berani mereka mengakui kesalahan dan kekurangannya, lantas memberbaiki kedua hal tersebut untuk sesuatu (masa depan) yang lebih maju serta baik?
Nah, 'kan ngutip pernyataan pun dari tokoh luar?