Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menimbang Kembali Kematian (Kritik) Sastra!

11 Februari 2016   10:34 Diperbarui: 11 Februari 2016   11:31 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…….media massa tidak pernah membawa kebenaran mutlak,

karena selalu ada hal-hal yang sengaja tidak ditampilkan

dengan maksud suatu impresi yang diinginkan satu kelas politik (ruling class)”

–Noam Chomsky

Kehidupan kesusastraan, seperti banyak dibahas oleh para pakar dan kritikus, sedang diambang kepunahan. Tidak terhitung suara miring dan pesimistis, mengenai apakah sastra akan bertahan dalam laju digitalisasi dan banalitas informasi. Pertanyaan yang sebenarnya bisa juga disebut pernyataan karena dengan premis awal yang dikuti tanda tanya (?) jelas-jelas berusaha mengungkap keterancaman; kematian sastra.  

Pandangan seperti ini cukup akurat, kondisi faktual kesusastraan saat ini memang sedang diancam eksistensinya oleh apa yang disebut zaman networked society. Zaman dengan akses tanpa batas, yang mana setiap individu bisa mendapatkan c(b)erita terbaru dari sebuah tempat berjarak ribuan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik. Juga berhak berkomentar, berkicau, bahkan memaki sebebas-bebasnya dalam ruang maya yang terhubung secara otomatis dengan yang lain. Sastra sebagai salah satu domain utama peradaban, hidup dalam mentalitas zaman seperti ini. Mentalitas yang mengubah karya-karya sastra, yang awalnya lahir dari balik benteng istana dan pusat ilmu pengetahuan. Disebarkan dari para bijak bestari, seniman, ilmuwan, pengelana, musafir, dan ulama kepada setiap manusia melalui pengajaran dan penaklukkan. Saat ini, bisa dijumpai di mana saja; di toko-toko buku, loakan, atau sudut perpustakaan berdebu, di blog-blog, bahkan cuitan social media.  

Namun, kenyataan tersebut tentu tidak bisa diterima dengan pasrah. Bukankah tidak etis dan bertanggung jawab jika para sastrawan sebagai entitas yang memiliki privilese memelihara kehidupan sastra, bahkan di luar mereka—masyarakat yang mencintai dan peduli akan keberlangsungan hidup sastra—terus menerus mengeksploitasi lantas memproklamirkan wacana kematian sastra. Sudah tahu keadaannya begini dan kenyataannya begitu, justru terus menerus menyuarakannya. Jika keadaan ini terus bertahan, bisa diibaratkan: lahan, sekop, nisan sudah tersedia dan para pelayat sudah menunggu di depan liang kubur yang belum terisi tubuh sastra yang sekarat. Semua hanya bisa meratap, berkabung tanpa sempat berfikir menyelamatkan tubuh sastra supaya tidak jadi dikubur. Dan, jikapun memang tubuh itu jadi mati, secepatnya harus dicari bagaimana caranya melahirkan kembali tubuh-tubuh baru yang lebih segar, tidak penyakitan, dan penuh vitalitas.[1]

Masa Depan Sastra

Asumsi yang menyatakan bahwa kekuasaaan represif-otoriter mengancam keberlangsungan dan kehidupan kesesasteraan sesungguhnya tidak begitu tepat. Bukankah setiap karya monumental, eternal, dan menjadi semacam monumen peradaban lahir dari sebuah kondisi paling getir. Kondisi yang berkelindan dengan otoritas yang membekap suara-suara dan menyekap kata-kata.

Sebut saja, satu contoh terdekat, Pramoedya Ananta Toer yang menghasilkan Tetralogi Buru ketika dirinya dirampas hak hidup dan kebebasannya oleh Orde Baru. Atau untuk menyebut beberapa nama seperti Solzhenitsyn yang menulis Gulag di Siberia, kemudian Gao Xingjian yang menghadirkan mahakarya-nya Soul Mountain dalam pengasingan, lalu One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez di bawah pemerintahan diktator Kolombia Laureano Gomez, dan seterusnya.

Mungkin salah satu, jika tidak malah satu-satunya penyebab sastra kehilangan daya pikat, daya ungkap, dan daya gugah yaitu disebabkan sastra sudah kehilangan musuh. Yudi Latif dalam Menyemai Karakter Bangsa mengatakan, “kesastraan dalam transisi demokrasi ini adalah menyediakan budaya tanding bagi fanatisme dan banalitas” (Yudi Latif, 2009: 73). Hal inilah yang hilang dari sastra dewasa ini. Sastra sudah tidak mampu, alih-alih menandingi, ia malah menjadi bagian dari kekuasaan. Yang kemudian dilestarikan, lebih fatal lagi bergantung eksistensinya pada kekuasaaan baru yang secara implisit disebut oleh Faruk, Radhar Panca Dahana, dan Seno Gumira Ajidarma berada dalam media.[2]  

Situasi paradoksal pun muncul akibat hal ini; di satu sisi sastra memiliki patron tetap yang melindunginya. Di sisi lain sastra kehilangan otonomi. Otonomi yang berhubungan dengan kebebasan ekspresi, kedalaman daya gugah, dan keliaran imaji yang menjadi senjata utama sastra. Sastra menjadi bergantung kepada ruang media, yang walaupun secara kasat mata tak terbatas, tetapi sebetulnya begitu sempit. Oleh karena, mereka (media) pada akhirnya menjelma sebagai hakim; apakah sebuah karya sastra layak terbit atau tidak, apakah sebuah karya akan diterima luas, mendatangkan keuntungan, tidak laku serta begitu banyak lagi “apakah” nantinya.[3] Jadi, bagaimana masa depan sastra kalau begitu? Mengingat, zaman teknokapitalis tidak bisa dilepaskan dari jejaring media?

J. Hillis Miller, salah satu dedengkot teoritisi sastra masa kini merumuskan formula mengenai masa depan sastra. Ia mencoba menelusuri perkembangan sastra dalam pengertian modern yang dimulai sekitar awal abad ke-18. Ketika sastra muncul di Barat, bersamaan dengan itu berkembang pesat kemelekhurufan, demokrasi, dan tumbuhnya negara-bangsa. Pada masa tersebur, sastra menjadi tolok ukur apakah sebuah bangsa lebih beradab atau kurang beradab dibanding yang lain, sebuah fungsi yang bertahan hingga PD I, PD II, dan Perang Dingin. Dalam ketiga tragedi paling mengerikan sejarah umat manusia tersebut, sastra menemukan vitalitas dan muncul dengan berbagai varian yang belum pernah ada sebelumnya. Sastra menjadi alat atau media dalam pengertian postmodern; sebagai penegas identitas nasional, pemersatu bangsa, penegak kemanusiaan, simbol perlawanan kaum tertindas, perjuangan kelas, ataupun ekspresi personal (eksistensialis).

(Tragedi perang, kematian, dan pemerintahan yang tiran biasanya menjadi inspirasi para sastrawan untuk menghasilkan karya monumental)

Selanjutnya, dunia melangkah ke luar dari Perang Dingin. Menumbuhkan gejala baru bagi sastra, yaitu sastra bergeser posisi dan fungsinya hanya sebagai pelengkap dari selebrasi masyarakat dunia yang mengklaim dirinya semakin beradab sekaligus materialistis. Sastra melebur dalam budaya massa, bercampur tanpa sekat dengan musik, sinema, reality show, opera sabun, dan yang paling mutakhir komputerisasi dan digitalisasi. Dimulai dari sinilah, suara-suara mengenai wacana kematian sastra lantang bergema (Miller, 2010: 4).

Cukup jelas terlihat bahwa sastra sebagai sebuah ilmu paling purba—sepurba manusia itu sendiri—tidak akan pernah mati. Sejarah telah membuktikan: saat kata-kata paling awal terucap dari bibir-Nya dan Adam, lalu ditulis dalam perkamen, hingga kertas cetak Gutenberg, dan saat ini berbentuk digital, sastra tetap Ada. Kematian sastra hanya berhubungan dengan transformasi bentuk dan terkuburnya sastra (modern) yang selama berabad-abad identik dengan karya cetak.[4]

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa teks-teks cetak sedang ngos-ngosan mengejar teks-teks digital yang bisa diproduksi berjuta kali lebih cepat daripadanya. Kematian dunia cetak merupakan sebuah keniscayaan, yang tidak perlulah kita repot-repot menghabiskan tenaga untuk mencegahnya.

Konteks Indonesia

“Saat jurnalisme dibungkam kuasa, sastra bicara”. Begitu kredo Seno Gumira Ajidarma. Hal ini membuktikan kedahsyatan kekuatan sastra sebagai suara alternatif dalam menyuarakan kebenaran (baca: fakta). Masa Orde Baru yang represif, yang membungkam suara-suara kritis para pewarta dan institusi media membuat sastra menempati posisi vital. Sastra memenuhi takdirnya sebagai oposisi, sebagai medan pergulatan antara mitos dan fakta. Ia menyediakan ruang, ketika ketertiban rezim terus menekan. Pada zaman ini, antara media massa dan sastra terjalin hubungan saling melengkapi, saling menopang.  

Namun, sekarang Orde Baru sudah runtuh. Diganti Reformasi yang menjanjikan terbukanya keran kebebasan ekspresi dan berpendapat. Kecenderungan ini membuat media massa bergeser posisinya. Bukan lagi sebagai pengabar fakta, alat kontrol terhadap kekuasaan, penerang kegelapan masyarakat serta korban dari kekuatan represif. Melainkan sebagai salah satu aktor utama, si Pemenang, selain mahasiswa dan para tokoh reformasi, dalam meruntuhkan sebuah rezim. Terutama dalam era informasi, media massa sudah menjadi satu-satunya sumber rujukan kita mengenai dunia, orang lain, bahkan diri kita sendiri. Pada kondisi ini terancamkah kehidupan kesusateraan Indonesia? Di tengah dominasi media massa yang semakin komersil dan sensasional.

(Koran cetak, pengabar fakta, alat kontrol terhadap kekuasaan, penerang kegelapan masyarakat serta korban dari kekuatan represif. Masih kah demikian?)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu sebuah koreksi kritis dan pembeberan klasifikasi genre sastra itu sendiri. Karena pada kenyataannya, tidak semua genre sastra; sebut saja (1) novel, (2) cerpen, (3) puisi, (4) drama, dan (5) esai-kritik sastra mengalami nasib sama. Genre nomor satu termasuk paling beruntung. Eksistensinya dilindungi penerbit-penerbit buku, beberapa di antara mencapai status best seller. Sebagai contoh, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, 5 cm, dan Gajah Mada, untuk menyebut beberapa judul.

Genre yang kedua, masih dalam kondisi meyakinkan. Meski tidak begitu dicintai penerbit seperti halnya novel, tapi cerpen masih sangat dilindungi oleh koran dan terbitan-terbitan berkala lainnya seperti majalah, tabloid, dan indie publisher. Lihat saja, setiap Minggu kita bisa menikmati cerpen dari media-media (massa–cetak) tersebut dengan ekspresi literer yang beragam.

Sedikit berbeda dengan novel dan cerpen, keberadaan puisi dan drama justru jauh lebih lestari. Hal ini disebabkan keduanya mengalami revitalisasi dalam kantung-kantung sastra berbasis komunitas. Pementasan-pementasan puisi dan drama masih sering kita temui di berbagai daerah. Bahkan, meski dijauhi penerbit-penerbit buku, tetapi beberapa ruang koran masih melindungi keduanya dalam kadar serba terbatas. Genre yang disebut terakhir, bisa dibilang terancam mati. Esai berupa kritik sastra sangat tidak akrab dengan penerbit-penerbit buku, jarang pula hadir dalam koran-koran secara berkala, juga tidak berkembang dalam kantung-kantung komunitas.

Gejala tersebut, barangkali disebabkan kritik sastra memang tidak menjanjikan keuntungan material. Kritik sastra yang umumnya kental dengan dunia akademis dan ilmiah dianggap mempunyai pasar sempit. Atau, bisa juga disebabkan beratnya beban yang dipikul para lulusan jurusan sastra karena menjadi seorang kritikus, ya seperti itu tadi, tidak menjanjikan keberlimpahan material. Sehingga mereka memilih menjadi pegawai bank, asuransi, leasing, atau menjadi marketing dadakan dalam sebuah perusahaan otomotif dan nutrisi.

Selanjutnya, bisa juga disebabkan, bahwa kritik sastra itu sudah tidak penting. Sudah tidak relevan lagi, mengingat siapa pun boleh menulis dan mengklaim dirinya penyair, cerpenis, novelis, atau esais dengan bermodal terbit dalam status-status media sosial dan blog-blog tanpa harus peduli konvensi-konvensi baku tentang bagaimana seharusnya sastra ditulis. 

Dalam konteks ini menarik memperbincangkan tulisan almarhum Veven Sp. Wardhana yang berjudul “Kritik Sastra Sampul Belakang” (Kompas, 27 Januari 2013) yang menyoroti fenomena endorsement di sampul belakang buku. Ia menyayangkan, bahwa para penerbit buku seringkali memakai endorsement karena sudah bisa ditebak, jika yang terbit adalah buku-buku sastra, endorsement tersebut tentu berasal dari sastrawan cum kritikus sastra terkemuka. Para penerbit ini, terkadang seenaknya mengutip kritik sastra untuk di tempatkan di sampul belakang buku, yang isinya hanya kesan berupa puja-puji kepada penulis dan isi buku. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar kenapa para penerbit melakukan ini, dengan akan akal sehat pun sudah bisa dimengerti; agar laku dan untung.

 

(Maman S. Mahayana, satu dari sedikit kritikus sastra yang masih tersisa di Indonesia)

Tren endorsement yang ditunggangi kepentingan komersil ini membuat kritik(us) sastra, tereduksi fungsinya—hanya sekadar alat rekomendasi, penopang omzet penjualan, lebih tragis lagi hanya disajikan 3 hingga 5 baris kalimat. Membuat kritik sastra, seperti kapal kehilangan jangkarnya kata Radhar Panca Dahana.[5] Terduksinya kritik sastra, “… merupakan gejala umum dunia (kesusateraan) yang diakibatkan oleh komersialisasi karya, yang sudah eksisif bahkan desisif dalam menentukan keunggulan hingga kualitas karya.”

Apakah kemudian hal ini berpengaruh terhadap kelangsungan kesusasteraan? Jawabannya, tentu saja berpengaruh. Ketiadaan kritik(us) sastra berpotensi menyebabkan karya-karya sastra kehilangan arah. Tanpa kritik(us) sastra, karya-karya sastra akan memproklamirkan dirinya sebagai bagian dari selebrasi kapitalisme dan kekuasaan yang menggurita dalam media.

******

Kritik(us) sastra sangat penting, mengingat bertebarannya karya sastra bersama teks-teks iklan, berita koran, majalah dewasa, dan wacana politik tentu membutuhkan sebuah kontrol. Dan, pada kondisi inilah, kritik(us) sastra mesti berperan aktif. Tugas yang berat tentu saja karena tugas kritik(us) sastra bukan lagi menghakimi bahwa sebuah karya bernilai sastra atau tidak. Bukan juga memberi rekomendasi bahwa karya ini harus dibeli sedangkan yang lain tidak. Pun, mengunggulkan karya kolega dan golongannya lebih unggul dari yang lain. Melainkan untuk memberikan apresiasi yang kritis. Apresiasi yang dengannya mampu membangkitkan serta merangsang—melalui kritik-kritik proporsional—si pengarang bisa berkarya lebih baik, lebih peka, dan lebih kritis lagi. Khusus lebih peka dan lebih kritis, kritik(us) sastra bisa berperan menjadi juru selamat mengembalikan spirit romantik sastra yang tanpa henti menggerakkan perlawanan (movere) terhadap kekuasaan yang menindas. Seperti kata Faruk, “ (sastra) sebagai karya imajinatif, simbolik, yang berguna bagi perlawanan terhadap budaya modern yang sekuler dan prosaik.”(Faruk,1995: 157).

Bagi para konsumen sastra sendiri, kritik(us) sastra haruslah mampu membuka ruang dialog antara sastrawan dan pembaca (baca: masyarakat); mengeksplorasi jelajah tematik serta ekpresi literer secara lebih mendalam; menyajikan sejarah pengarang dan proses kreatif pembuatan karya; dan menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca.

 

Catatan Kaki

[1]Saut Situmorang dalam sebuah tulisannya mengkritik habis-habisan sastrawan dan kritikus sastra yang “mengharamkan” sastra cyber. Ia tidak bisa menerima bahwa kritikus sastra Indonesia yang menyebutkan bahwa sastra cyber itu sampah dan merupakan salah satu indikasi krisis kesastraan Indonesia. Padahal, menurut Saut itulah invensi yang sangat penting untuk kehidupan sastra Indonesia di masa depan. Kemunduran sastra Indonesia justru disebabkab para kritikus sastra yang hanya punya ilmu setengah-setengah, feodal, dan eksklusif. Secara tidak langsung hal ini berhubungan dengan polemik terbaru antara kritikus sastra Maman S. Mahayana dengan penyair Leon Agusta tentang Puisi Esai di Kompas.

 
[2] Seno Gumira Ajidarma mengatakan, “... antara sastra dan kritik sastra berlaku perbincangan timbal balik, karena karya sastra maupun kritik sastra di Indonesia sama-sama dimuat di media massa, dengan redaktur—yang kompeten atau tidak kompeten—terpaksa berperan menetukan dalam dua bidang berbeda itu”. Tentang menjelmanya media sebagai kekuasaan baru. Baca Faruk. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra Politik Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

 
[3]Tidak begitu mengherankan, tumbuh pesatnya komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah—walaupun memang dalam tataran tertentu merupakan reaksi atas arogansi kekuasaan media—belum mampu menggoyahkan kemapanan media. Hal ini disebabkan bukan karena kurangnya militansi dan perlawanan dari komunitas-komunitas tersebut, melainkan posisi tawar-menawar seni pada akhirnya tunduk pada pasar. Selain juga, disebabkan komunitas-komunitas tersebut membutuhkan pengakuan untuk mengukuhkan keberadaannya. Sudah bisa ditebak, yang mampu membuat mereka “Ada” adalah media.

[4]Kematian sastra, selain kematian yang berkaitan dengan bentuknya (cetak vs digital) juga berkaitan dengan redefinisi sastra oleh para dekonstruksionis. Sastra dalam pengertian modern dianggap sudah mati. Sastra bukan lagi teks transenden, luhur, atau agung dan mulia. Sastra tidak lebih dari sekedar representasi, diskursus, dan pergulatan kepentingan di baliknya.

[5] Kata pengantar berjudul “Ziarah ke Kuburan Kritik dan Diri Primordial” dalam buku 20 tahun Cerpen Pilihan Kompas: Shalawat dari Dedauban sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2012. Kata pengantar ini juga merupakan otokritik terhadap dirinya sendiri (Radhar Panca Dahana) sebagai seorang kritikus sastra cum sastrawan yang merasa tidak berkutik menghadapi era informasi digital. 

 

Bahan Pustaka

Buku

Carter, David. Literary Theory. Reading: Pocket Essentials, 2006.

Damhuri Muhammad. Darah-Daging Sastra Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Faruk. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Miller, Hillis J., On Literature: Aspek Kajian Sastra. Diterjemahkan oleh Bethari Anissa Ismayasari. Yogyakarta: Jalasutra, 2001.

Radhar Panca Dahana. Dalam Sebotol Coklat Cair dan Sejumlah Esai Seni. Jakarta: Koekoesan, 2008.

Seno Gumira Ajidarma (ed). Dua Kelamin Bagi Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.

Storey, John 1996. Cultural Studies & The Study of Popular Culture; Theories and Methods. Athens: The University of Georgia Press. Diterjemahkan oleh Laily Rahmawati dengan judul Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra, 2007

Yudi Latif. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.

 

Artikel Koran

Aprinus Salam, “ Arah Perkembangan Kritik (Kajian) Sastra, Kedaulatan Rakyat, 25 November 2011.

Leon Agusta, “Mempersoalkan Legitimasi Puisi Esai” Kompas, 13 Januari 2013.

Maman S. Mahayana, “Posisi Puisi, Posisi Esai”, Kompas, 30 Desember 2013.

S. Prasetyo Utomo, “Membangun Komunitas, Mencipta Sejarah Sastra” Suara Merdeka, 28 April 2013.

Veven SP Wardhana, “Kritik Sastra Sampul Belakang”, Kompas, 27 Januari 2013.

   

Sumber gambar: SatuDuaTigaEmpat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun