Bagi para konsumen sastra sendiri, kritik(us) sastra haruslah mampu membuka ruang dialog antara sastrawan dan pembaca (baca: masyarakat); mengeksplorasi jelajah tematik serta ekpresi literer secara lebih mendalam; menyajikan sejarah pengarang dan proses kreatif pembuatan karya; dan menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca.
Catatan Kaki
[1]Saut Situmorang dalam sebuah tulisannya mengkritik habis-habisan sastrawan dan kritikus sastra yang “mengharamkan” sastra cyber. Ia tidak bisa menerima bahwa kritikus sastra Indonesia yang menyebutkan bahwa sastra cyber itu sampah dan merupakan salah satu indikasi krisis kesastraan Indonesia. Padahal, menurut Saut itulah invensi yang sangat penting untuk kehidupan sastra Indonesia di masa depan. Kemunduran sastra Indonesia justru disebabkab para kritikus sastra yang hanya punya ilmu setengah-setengah, feodal, dan eksklusif. Secara tidak langsung hal ini berhubungan dengan polemik terbaru antara kritikus sastra Maman S. Mahayana dengan penyair Leon Agusta tentang Puisi Esai di Kompas.
[2] Seno Gumira Ajidarma mengatakan, “... antara sastra dan kritik sastra berlaku perbincangan timbal balik, karena karya sastra maupun kritik sastra di Indonesia sama-sama dimuat di media massa, dengan redaktur—yang kompeten atau tidak kompeten—terpaksa berperan menetukan dalam dua bidang berbeda itu”. Tentang menjelmanya media sebagai kekuasaan baru. Baca Faruk. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra Politik Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
[3]Tidak begitu mengherankan, tumbuh pesatnya komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah—walaupun memang dalam tataran tertentu merupakan reaksi atas arogansi kekuasaan media—belum mampu menggoyahkan kemapanan media. Hal ini disebabkan bukan karena kurangnya militansi dan perlawanan dari komunitas-komunitas tersebut, melainkan posisi tawar-menawar seni pada akhirnya tunduk pada pasar. Selain juga, disebabkan komunitas-komunitas tersebut membutuhkan pengakuan untuk mengukuhkan keberadaannya. Sudah bisa ditebak, yang mampu membuat mereka “Ada” adalah media.
[4]Kematian sastra, selain kematian yang berkaitan dengan bentuknya (cetak vs digital) juga berkaitan dengan redefinisi sastra oleh para dekonstruksionis. Sastra dalam pengertian modern dianggap sudah mati. Sastra bukan lagi teks transenden, luhur, atau agung dan mulia. Sastra tidak lebih dari sekedar representasi, diskursus, dan pergulatan kepentingan di baliknya.
[5] Kata pengantar berjudul “Ziarah ke Kuburan Kritik dan Diri Primordial” dalam buku 20 tahun Cerpen Pilihan Kompas: Shalawat dari Dedauban sampai Kunang-Kunang di Langit Jakarta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2012. Kata pengantar ini juga merupakan otokritik terhadap dirinya sendiri (Radhar Panca Dahana) sebagai seorang kritikus sastra cum sastrawan yang merasa tidak berkutik menghadapi era informasi digital.
Bahan Pustaka
Buku