Mohon tunggu...
asih oesih
asih oesih Mohon Tunggu... -

mencoba untuk berbagi.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Sebuah Status"

8 April 2010   03:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Status" untuk manusia yang masih bernyawa adalah suatu yang erat melekat didiri. Untuk hal apapun itu, baik pekerjaan, strata hidup, hubungan dan lain-lain. Seyogyanya manusia adalah makhluk sosial, dimana status adalah tolak ukur pribadi seseorang. Berhasil tidaknya hidup seseorang pun sering dilihat dari sebuah status.

Status juga merupakan 2 sisi mata uang. Andai timbul pertanyaan, "Lho, koq begitu?"..... Jawaban pastinya, "Ya, iyalah..." Karena dari sebuah status akan menimbulkan dampak positif dan negatif.

Contoh umum, seseorang yang dianggap menyandang status "karyawan", sisi positifnya otomatis cap "pengangguran" luntur. Tapi negatifnya biar pun dalam saku kita "cekak" biasanya orang jarang percaya pastinya akan timbul seloroh, "masa iya ga punya uang, kan kemarin baru gajian...".

Aku pribadi, setuju ga setuju juga jika status jadi sudut pandang kita untuk seseorang, karena terkadang hal itu tidak sesuai dengan kapasitasnya. Contoh nyata dari pengalamanku ketika masih menyandang predikat mahasiswa di Kota Gudeg, saat menikmati angin semilir di atas sebuah becak yang dikayuh oleh Pak Becak yang menurutku sangat ramah, terhanyutlah kita dalam suatu percakapan asyik. Mungkin bagi orang lain profesi pengemudi becak akan dianggap sebagai pekerjaan untuk orang yang kurang terpelajar. Ada pengecualian untuk Pak Becak (yang masih terlihat tampan dalam penampilan sederhananya) ini. Bisanya aku "sok" menilai begitu, karena pembicaraan beliau begitu berbobot. Selidik punya selidik (bakat jadi wartawanku ternyata ada, walaupun realitanya..hehe susah juga mau jadi wartawan asli) ternyata beliau penyandang gelar Sarjana Pendidikan yang dijamannya bergelar "Drs" atau Doktorandus. Hmmm....Pak Becak yang terpelajar. Lalu koq ya beliau mau mengayuh becak, toh banyak hal lain yang bisa lebih mengangkat derajatnya. Kalau timbul pertanyaan itu, jawabnya karena mungkin keberuntungan untuk menjadi seorang pendidik atau guru belum berpihak (untuk memperlunak kata "tidak" berpihak) pada beliau. Dan dalam kondisi sebagai tulang punggung keluarga dengan 2 orang anak yang bercita-cita tinggi, hal apapun beliau lakoni sebatas dalam konteks berikhtiar mencari hasil yang halal. Sebagai Sang Ayah yang bercita-cita melihat anaknya bisa meraih mimpinya, meski harus mencucurkan keringat ditengah teriknya mentari siang yang menyengat pun beliau rela.

Terpetik sebuah pelajaran bagiku, jangan pernah menilai seseorang dari tampak luar saja. Dan hal apapun atau profesi apapun yang digeluti seseorang bukanlah suatu konteks untuk menilai seseorang. Melainkan falsafah hidupnya yang patut kita pelajari dari tiap-tiap personal, dimana kematangan seorang manusia dapat kita ketahui.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun