Mohon tunggu...
asih oesih
asih oesih Mohon Tunggu... -

mencoba untuk berbagi.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Seperti Beli Permen, Nak...

31 Maret 2010   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak selalu polos, jujur apa adanya. Celotehan dan ungkapan yang terlontar dari bibir mereka pun hanya sebatas apa yang terlintas dipikiran saja. Enaknya jadi anak-anak....
Tapi kadang kepolosan itu yang justru jadi sentilan buat kita, orang dewasa. Kadang aku takjub dengan nalar mereka yang kupikir jauh dari jangkauan otakku. Seperti kejadian suatu sore beberapa bulan lalu.

Dimulai dari cerita gonjang-ganjing rumah tangga yang masih ku simpan rapat-rapat dari keluargaku. Dengan alasan, belum saatnya aku bongkar kerena aib internal dan aku berusaha sekuatnya menjaga nama baik suami (pada waktu itu). Tapi apa hendak dikata? Karena setitik nila rusak susu sebelanga. Ku hias sebagus apapun kalau sudah retak, dengan lem secanggih dan semahal apapun tetap akan hancur. Akhirnya bubar jugalah kisah rumah tanggaku.

Di tengah-tengah pertikaian saat itu, permata hatiku yang sulung sudah bisa menilai gelagat tak baik dari hubungan kedua orang tuanya. Wajar saja, kontak batin ibu dan anak tak bisa dipungkiri ada. Takjubnya aku, di lebih bijak menyikapi keadaan. Suportnya yang membuatku berani untuk mengambil keputusan. Aneh, kan???

Gadis kecilku yang tegar. Suatu malam saat baru tiba dirumah dari aktivitas rutinku (ngorder barang, karena saat itu aku berprofesi sebagai sales) segera kumasuki kamar untuk melepas seragam yang terasa lengket dengan keringat. Sepasang mata lekat memandang diriku, meski aku tak berhadapan langsung. Gadis kecilku terus menatap tak berkedip. Akhirnya tak tahan diperhatikan, aku pun membuka kata, "kenapa, Kak...? Ada yang aneh sama Mama?"....
Setengah agak menahan isak dia pun berujar, "Aku kasihan sama Mama..."
" Kenapa?"....segera kupotong kalimatnya.
"Mama kerja sendiri, ngurus anak juga sendiri....Kenapa ga cari "pacar" lagi, sih, Ma?" ujarnya tanpa dosa...
Aku pun cuma tersenyum. Tapi dirinya tak diam begitu saja. Diberondongnya aku dengan bebagai tanya. Akhirnya kuputar otak untuk menjawab, "Kak, Mama masih istri Abah mu...Ga baik Kakak bicara gitu...Kamu ga sayang sama Abah?"

Jawaban yang tak kan ku buka disini. Dan akhir dari percakapan itu kututup dengan kata-kata yang dengan pengharapanku bisa memuaskan pertanyan Gadis kecilku.
Ku bilang, " andainya Mama sudah bukan jodoh Abah mu lagi, ga akan semudah itu Mama cari gantinya...Mau tau alasannya, Kak? Mama tau Kakak pasti berharap punya keluarga utuh, meskipun Kakak ga bisa terima Abah lagi. Tapi cari teman hidup itu ga mudah, Kak...Bukan seperti membeli permen di warung, kita bawa uang lalu saat itu juga bisa kita pilih permen mana yang kita mau."
Gadis kecilku terdiam lalu kulanjut lagi berujar, "Jangan pernah menyimpan benci, karena seburuk apapun orang tua tetap orang tua. Mama juga ga pernah mengajarkan Kakak untuk benci, pada siapapun itu. Kakak janjikan ga akan belajar benci dengan orang lain?"

Dan dengan perasaan yang campur aduk, ku peluk rapat-rapat kepalanya dalam dadaku. Semoga ini obat yang bisa meredam benih kebencian, meski tak ku jamin akan abadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun