Film yang Saya tonton untuk menutup tahun 2019 sangat mengena banget untuk Saya pribadi yang sebenarnya seringkali tidak PeDe juga karena bertubuh mungil dan berwajah baby face. Hanya saja saya terlalu pintar untuk menutupi ketidakpedean Saya dengan narsis atau mencintai diri sendiri dengan sedikit lebih setiap kali ada yang mengomentari tubuh atau wajah Saya 😀😀Â
Setiap Saya bertemu dan berkenalan dengan orang baru, pasti Saya dipandang 'anak kemarin sore' yang masih belia. Bahkan seringkali dikira Saya masih berusia 23 tahun, padahal si kebalikannya 😢😢. Salah satu alasan itulah yang membuat Saya kemana-mana selalu mengenakan heels  yang lumayan tinggi untuk menutupi kekurangan Saya.Â
Meskipun demikian, Saya tidak pernah mempermasalahkan penampilan karena Saya termasuk perempuan cuek dan nggak bisa dandan. Teman-teman kerja banyak yang menasehati Saya untuk cobalah berdandan sedikit saja, hari gini inner beauty itu nomor sekian. Begitulah selalu mereka menasehati Saya.Â
Saya memang bukan tipe orang yang suka memperhatikan penampilan dan melihat orang dari penampilan. Dalam keluarga Saya selalu diajarkan untuk tidak cepat menilai orang dari penampilan luarnya saja. "Dont Judge The Book From The Cover." Kenali dulu baru menilai. Namun beberapa sanggahan yang seringkali dilontarkan teman setiapkali Saya narsis tidak mau berdandan ada benarnya juga, bagaimana Kita bisa tertarik dengan isi buku itu kalau cover nya tidak mendukung. Film ini sedikit menyentil Saya bahwa "Isi otak saja tidak cukup. Rupanya casing yang good looking pun diperlukan".Â
Akan tetapi, melalui film ini pula Saya banyak belajar soal bersyukur. Bukan hanya bersyukur dengan keadaan fisik yang Saya miliki, tetapi juga bersyukur memiliki orang-orang di sekitar Saya yang mau menerima Saya bagaimanapun keadaan fisik dan selalu mengingatkan Saya, memberi masukan dan nasehat untuk kebaikan Saya.
Ok, lain Dian lain Rara. Rara (Jesicca Milla) tokoh dalam film ini dikisahkan memiliki gen seperti Ayahnya, berkulit hitam, rambut keriting dan berbadan gemuk. Sejak kecil Rara sudah sering dibanding-bandingin dengan sang adik, Lulu (Yasmin Napper) yang berkulit putih, wajah blesteran dan rambut lurus. Ia merasa cuek dengan hal itu. Toh Ia sudah punya pacar yakni Dika (Raditya Dika) yang menerima dia apa adanya. Sampai suatu ketika Rara harus menggantikan atasaanya di kantor. Pemilik perusahaan tempatnya bekerja meminta Rara untuk memperbaiki penampilan, sebab menurutnya Rara harus merepresentasikan perusahaan. Rara pun berusaha keras mengubah penampilannya. Di sisi lain perjalannan cintanya dengan Dika sedikit terguncang. Dika merasa dengan penampilan Rara yang baru, Rara berubah menjadi sosok yang tidak Dika kenal.
Menurut Saya, Imperfect ini benar-benar sukses menggambarkan ketakutan orang-orang melalui para tokohnya. Penggambaran insekuritas masing-masing karakternya mengajak Kita untuk berkaca dan instropeksi diri supaya lebih bersyukur dengan apa yang Kita punya. Karena Insekuritas atau ketidakpedean ternyata juga dirasakan oleh mereka yang Kita nilai ganteng, cantik bahkan terkenal.Â
Film ini membuka mata banyak orang betapa body shamming sangat menyakitkan hati. Satu kalimat yang mengejek kondisi fisik seseorang bukan hanya mempengaruhi fisik itu sendiri, tetapi juga mental orang yang mendapat ejekan tersebut.Â
Kesimpulan atau pelajaran yang dapat diambil dari film Imperfect antara lain :
1. No Body Shamming
Tokoh Rara cukup mewakili banyak orang bagaimana tidak enaknya jika orang-orang sekitar mengomentari bentuk tubuh bahkan melontarkan kata-kata yang menyakitkan. Rasanya hidup ini bakal lebih indah dan damai jika para netizen, orang-orang yang hidup di dunia maya dan yang hidup disekeliling Kita memilih untuk membahas hal-hal yang lebih bermutu dan intelektual dibanding masalah fisik atau pamer tubuh.
2. Kemampuan lebih utama daripada penampilan
Dalam film-film sering digambarkan perempuan pintar pasti cupu, berkacamata dan penampilannya biasa saja. Sementara perempuan-perempuan yang gaul, seksi dan cantik digambarkan tidak begitu pintar. Lewat tokoh Rara dan teman-teman kantornya, Kita disadarkan bahwa dalam mengejar karier, cantik saja tidak cukup. Kecerdasan seseorang justru lebih unggul daripada kecantikan, untuk posisi-posisi tertentu.
3. Olahraga itu untuk sehat, bukan untuk Kurus!
Ada satu perkataan Rara ketika penampilannya sudah berubah dan Ia masih datang ke Gym untuk berolahraga yang sempat Saya rekam. "Olahraga itu untuk sehat, bukan untuk kurus".  Selama ini gadis-gadis banyak yang datang ke gym, gabung ke sanggar senam dengan tujuan untuk menguruskan badan. Buat apa capek-capek berolahraga kalau tujuannya untuk kurus doang. Padahal tujuan olahraga sebenarnya adalah untuk menyehatkan badan.
4. Bersyukur apa adanya
Melalui tokoh Dika, adik-adik remaja dapat belajar bahwa dalam hal menerima seseorang (mungkin dalam hal ini jadi pacar) tidak melulu karena melihat fisiknya. Dialog Dika mengenai mencintai ketidaksempurnaan dengan sempurna tepat sasaran dan sangat mengena sehingga Kita bisa lebih bersyukur dengan apa yang sudah Kita miliki dan Tuhan berikan.
5. Cantik itu relatif
Standar kecantikan semakin menjajah media sosial dan menghantui masyarakat terutama kaum perempuan yang tidak pernah bisa berdamai dengan tubuhnya sendiri. Cantik atau ganteng itu relatif, banyak ragamnya dan nggak butuh standar. Film ini menunjukkan bahwa yang ganteng ataupun cantik belum tentu bahagia. Banggalah dengan segala keunikan yang telah Tuhan berikan. Karena kecantikan itu sejatinya terpancar dari hati.
Anyway, Imperfect menjadi film penutup tahun yang sangat manis. Seperti tagline nya "Ubah insekyur menjadi bersyukur", benar-benar menjadi mantra bagi perempuan supaya mereka mau menerima kondisi fisiknya apa adanya sebagai pemberian Tuhan yang tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H