Lima tahun yang lalu, seekor burung kecil yang lincah perlahan tapi pasti mengepakkan sayapnya menuju Tuannya. Tinggal sedikit lagi perjalanan, tak disangka tiba-tiba angin kencang menghempaskan tubuh mungil itu ke permukaan bumi
Sakit terasa... tapi hal itu tidak membuatnya putus asa. Perlahan ia bangkit, kembali mengepakkan sayapnya. Namun  perhitungannya belum tepat. Ditengah perjalanan kembali ia  menghadapi  rintangan. Kali ini tak hanya angin kencang hujan badai  dan sambaran  petirpun mengoyak tubuh itu kembali menghempaskannya ke  dasar bumi.  Tak berhenti sampai disitu, di bumipun ternyata ia sudah disambut  kerikil-kerikil tajam yang membuat kakinya terluka dan berdarah.
Perih terasa... Semakin perih ketika ia mencoba mengepakkan sayapnya, Ya... ternyata satu sayapnya telah PATAH. Tak kuasa ia membendung airmata  itu. Terasa sangat perih dan berat, karena dia hanya sendiri, tak ada kawan yang membersihkan darahnnya, tak ada yang membantu mengobati lukanya, dan tak ada yang membalut sayapnya yang patah. Ia hanya berharap Tuannya sabar menantinya kembali sembari ia menunggu penyembuhan luka dan menggenapkan tekad tuk segera mengepakkan sayapnya
Lima tahun telah berlalu, luka pada sayapnya perlahan telah pulih, darah tidak lagi mengalir. Burung kecil itu bertekad untuk melanjutkan perjalanannya bertemu dengan Tuannya. Sayapnya, meskipun tak lagi sempurna telah mampu membawanya terbang tinggi. Dalam sisa perjalanannya itu Ia terus belajar membaca arah angin sehingga ia tahu kapan ia harus turun ke bumi ketika angin kencang bertiup dan kapan ia kembali mengepakkan sayapnya yang kini tak lagi sempurna, perlahan tapi pasti menuju Sang pemilik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H