Hugo membolak-balik buku itu. Menghela nafas dan perlahan mengangkat wajahnya melihat ke arahku.Â
"Bismillah, semoga apa yang mami pikir aku bisa, beneran bisa kutunaikan. Mami pasti tahu banyak hal yang aku tak tahu. Mami juga tahu persis ada beberapa hal dalam manajemen filantropi ini yang aku awalnya gak paham dan bahkan bisa dibilang aku tak suka." ujarnya perlahan. Aku mengangguk. Aku tahu, tahu persis. Meski demikian aku yakin, anakku tidak akan begitu saja meninggalkan tanggung jawab besar ini . Tak semua anak punya kesempatan sebagus yang dia punya. Tak setiap anak punya previledge seperti dia. Aku yakin dia akan sungguh-sungguh, jika dia tahu bahwa ini bukan hanya sekedar urusan keluarga ini. Ini jauh lebih besar dari urusan apapun yang sedang kami hadapi sebagai sebuah keluarga.Â
Dia memasukkan kembali buku aus itu ke dalam sampul kulitnya. Menutup rits nya dan kemudian berdiri.Â
"Terima kasih ya Mi, aku gak ngerti ini akan berakhir ke mana dan di mana. Aku akan melaksanakan apa yang mami mau dengan buku ini. Mungkin aku gak bakalan paham hanya dalam satu atau dua kali baca. Bisa jadi aku akan ada diskusi lanjutan ke mami maupun Medina. Satu hal, aku harap mami benar-benar paham mengenai  dana yang akan mami alokasikan. Pastikan aman ya Mi.." ujarnya sambil  memandangku tajam.Â
Aku tersenyum mengiyakan.Â
Aku yakin betul bahwa ini akan aman. Aku yakin. Aku berada di dalam komunikasi yang intens dengan hidden stakeholder yang bisa dipercaya. Aku yakin. Kali ini, Â bisa jadi kami harus berperjalanan ke turki melalui jalur wisata. Aku sudah siapkan passport dan visa. Aku dan ayahnya Hugo. Berdua saja. Namun kami akan berada dalam sekelompok turis atau jamaah umroh. Manapun yang memungkinkan. Kami akan hadir sebagai manusia biasa. Benar-benar jalur biasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H