Maka, dengan 2 alasan tersebut, saat itu saya tidak memperhatikan betul pentingnya ISBN di buku yang terbit. Fokus saya ada pada pendidikan untuk diri sendiri dan sesiapa yang mau mengambil hikmah dari buku yang saya tulis. Saya masukkan kategori ini menjadi buku pendidikan. Bisa dinikmati sebagai sebuah ilmu namun disampaikan dengan bahasa seperti novel.
Hikmahnya, saya bisa tulis ulang atau parafrase isi buku tersebut setelah buku jadi, dibaca orang, dikomen mengenai isinya sehingga saya dapat testimoni. Setelah itu masuk ke keputusan berikutnya. Cetak ulang dengan  ISBN atau tetap cukup dengan barcode saja.Â
Mungkin pembaca ada yang penasaran  dengan buku tersebut? Saya  gambarkan sampulnya dulu ya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H