ISBN sempat diperketat beberapa bulan yang lalu, alhasil buku ini terbit tanpa ISBN.Â
Saya seorang penulis yang menerbitkan beberapa buku. Belum lebih dari 10. Satu di antaranya terbit di era ketikaPenerbit memberikan 2 opsi sebenarnya : nunggu hingga ISBN berhasil diperoleh atau apa adanya diterbitkan namun hanya diberikan barcode sebagai bentuk pertanggungjawaban  pihak penerbit. Saya memilih opsi kedua. Saya tidak mempermasalahkan buku saya ber ISBN atau tidak, yang penting terbit dulu. Mengapa demikian ?Â
Berikut alasannya :Â
1. Saya menulis untuk berbagi. Â
Buku saya biasanya memang ditujukan untuk dibaca oleh banyak orang. Ini agak berbeda dengan blog saya. Kadang-kadang saya baru berani menginformasikan isi tulisan di blog saya, berbulan-bulan kemudian.Â
Terutama karena biasanya saya menulis untuk mendokumentasikan sesuatu. Perasaan. Cita-cita atau sebuah momentum yang saya pakai untuk melanjutkan impian pribadi saya.Â
Maka, sebenarnya saya tidak terlalu memperdulikan ISBN, saya cukup menginformasikan buku itu pada sahabat dan rekan-rekan saya dan saat mereka memesan untuk membacanya, saya bersyukur dan berdoa semoga buku itu manfaat.Â
2. Isi tulisan saya saat itu lebih bersifat self improvement
Jadi, ceritanya ada sebuah forum menulis memoar. Saya berusaha mengikuti dengan cara menginkubasi tulisan saya di sebuah forum menulis yang mempersyaratkan menulis secara maraton selama 30 hari berturut-turut.Â
Tulisan inilah yang kemudian menjadi modal saya mewujudkan buku. Tulisan ini saya harapkan berwujud buku dengan harapan nanti bisa dibaca  ulang oleh saya sendiri yang kemudian diharapkan berdampak untuk peningkatan kualitas diri saya sendiri.
Maka, buat saya saat itu, tak perlulah harus nunggu ISBN.  Mungkin lain ceritanya jika saya menulis buku ajar untuk mahasiswa saja misalnya. ISBN akan menjadi hal penting  untuk karir saya sebagai dosen tentunya.Â