Wina, Austria. Beberapa tahun sebelumnya. Â
Aku baru saja tiba di sini saat Lyla menjemputku di Bandara. Persis seperti yang Genda sampaikan, Lyla akan berada di sini untuk menjadi partner terbaikku. Persahabatan yang memang dibangun sejak masa kanak-kanak kami. Kami tak pernah punya kolam renang, tapi kami mahir berenang. Sungai dengan "kedung" yang dalam adalah laboratorium alami kami untuk kemahiran berenang. Lyla  beberapa kali menolongku saat aku limbung hampir tenggelam. Dia lebih tua sedikit di bandingkan denganku, aku rasa harusnya aku lebih bandel darinya, tapi tidak. Dia jauh lebih bandel dariku ternyata. Dia lebih mahir pula memainkan katapel dan bermain layangan. Dia juga sering menang dalam permainan kanak-kanak lainnya.Â
Kedua kakek kami membiarkan kami bertumbuh seperti halnya kanak-kanak lainnya. Tepatnya kakeknya Lyla dan kakek buyutku. Beliau bersahabat dengan sangat akrab dan bahu membahu membangun  komunitas masjid kecil di desa kecil bawah bukit Pendem itu.Â
Kami bertumbuh dengan alami sealami kanak-kanak desa lainnya. Naik turun bukit "Pendem" untuk mencari "lempung" (tanah liat) untuk membentuk nya menjadi piring, asbak, kuali, serta gerabah kecil mainan lainnya. Aku rasa beliau juga tahu kalau kami sering membuat "prumpon" atau rumah ikan saat kami bermain di pinggi kali Senongko. Dari mana ikan-ikan kutes itu dibawa jika bukan dari sana. Kami hanya harus pulang tepat waktu sebelum dhuhur dan segera mandi dengan bersih dan siap sholat dhuhur berjamaah. Maka, semua permainan  kecil itu tak harus diketahui siapapun.Â
Saat paling menyenangkan adalah ketika kami diberi kesempatan oleh beliau menjadi petugas pencatat zakat fitrah. Menyusuri rumah-rumah penduduk untuk melakukan survey, menanyai berapa anggota keluarga di rumah dan apa statusnya. Jika semua muda dan kokoh serta sehat, maka disarankan untuk membayar zakat di sekolah kami, jika ada yang sakit atau janda/dhuafa sepuh catatan itu akan menjadi bahan bagi para tetua untuk mengunjungi mereka dalam kesempatan berikutnya sebagai penerima zakat. Survey  dilakukan di 10 hari kedua  dan panitia zakat akan siap menerima pembayaran zakat dalam bentuk beras atau uang di depan sekolah kami. Sekolah yang dibangun sebagai sarana mensistemkan pemberian dalam manajemen schooling.Â
"Hai, nyampe di sini juga kamu akhirnya." sapa Lyla begitu aku menguraikan pelukan. Aku mengangguk mengiyakan. Dia nampak tulus dan seperti Lyla yang biasa. Masak sih dia agen ganda?Â
"Jadi, kamu berangkat dari DC?" tanyaku tanpa basa-basi. Lyla hanya mengangguk sekedarnya. Dia seperti tak ingin membahasnya. Dia juga tak bertanya, aku berangkat dari mana. Entah sengaja, atau karena dia sudah tahu  darimana aku berangkat dari Genda. Dia juga tidak mempertanyakan dari mana aku bisa menggunakan bahasa Jerman atau Belanda saat menemui tamu-tamu conference lainnya. Bekerja dengan efisien dan kompak bersama 8 anggota tim lainnya. Aku rasa mereka juga berasal dari berbagai penjuru dunia. Atau justru semuanya dididik di Indonesia? Seperti aku ? entahlah.Â
Hanya dua orang dengan fisik Asia. Lyla dan Naomi yang berangkat dari Singapura. Selebihnya memiliki kemiripan fisik denganku. Bule. Atau setidaknya, seperti itulah orang Indonesia menandai fisik kami.Â
Aku ditugaskan untuk mendampingi dan memfasilitasi 5 tamu. Satu di antaranya adalah orang yang Genda tunjukkan di foto sebelum aku berangkat, perwakilan dari Klan Dewantoro Putro. Wajahnya amat mirip dengan pekerja seni  Guruh Sukarno Putro dalam versi yang lebih tirus. Apakah mereka memang ada hubungan?  aku tidak boleh terlalu kepo. Genda selalu memberi penekanan. "Tak usah terlalu ikut campur."
"Meyer, Adriana Meyer." ucapku saat memperkenalkan diri. Dia menyebut namanya pendek. Robert. Dia memang tidak harus menyebut nama panjangnya. Aku tahu persis siapa nama panjangnya, karena itu juga disertakan dalam dokumen yang aku terima dari agency. Tidak banyak yang harus aku lakukan. Sepanjang acara aku hanya harus nampak seperti gadis bodoh yang bertugas menjadi LO dan bukan peserta conference. Aku tak keberatan membawakan tas dari delegator. Rata-rata berisi laptop seberat 2 kg beserta setumpuk naskah. Sekali lagi, aku tak boleh kepo dengan isinya. Namun, sepanjang acara aku bisa merekam semuanya dalam benakku untuk kemudian mengirimkan resumenya dalam laporan pandangan mata versi kantor cerita CNN. Genda akan menyalinnya dari belahan dunia lain.Â
Dia nampak memicing sejenak saat aku fasih mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia?Â
"Kamu..., bisa berbahasa Indonesia?" tanyanya sembari mengamati wajahku sejenak. Aku mengangguk tegas. Dia mengangguk. "Jika begitu, aku akan menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi denganmu." tegasnya. Aku mengangguk. Sama sekali tidak keberatan.Â
Namun, sepanjang acara hingga dua hari kemudian, dia hampir sama sekali tidak merasa perlu mengacuhkan keberadaaanku. Dia membawa sendiri laptop dan buku-bukunya dan akupun sibuk memfasilitasi delegator lainnya. Namun, aku bisa mendengarkanya berkomunikasi dan memaparkan materi. Dalam bahasa Inggris tanpa aksen sama sekali. Bagaimana bisa? Â Dokumennya justru dengan gamblang menyebutkan bahwa dia konon tak pernah meninggalkan Indonesia kecuali beberapa acara semacam ini.Â
Baru pada hari ketiga dia kembali bertanya hal pendek padaku. "Kamu, bisa bantu menterjemahkan naskah ini dalam bahasa Jerman?" ujarnya sambil mengangsurkan flasdisk ke arahku. Aku mengangguk dan segera beranjak menuju komputer yang ada di pinggir ruangan. Ada sekitar 20 komputer terhubung internet yang menjadi fasilitas bagi seluruh delegator dan para LO. Kami boleh menggunakan  kesemuanya secara bergantian.Â
Saat itulah dengan gamblang  aku menemukan apa idenya untuk dunia filantropi Indonesia. Rahasia besar di industri Tembakau  yang tak pernah kuketahui. Saat itulah aku mulai mempertanyakan, apakah semua yang dijejalkan di otakku sepanjang masa kecil hingga dewasaku salah?Â
Aku mulai curiga bahwa pemahamanku mengenai Tembakau ini keliru..atau apa yang ditulis Robert hanya sebuah kamuflase untuk mempengaruhi cara  berpikirku?Â
Jika iya, jahat sekali orang ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H