"Kamu..., bisa berbahasa Indonesia?" tanyanya sembari mengamati wajahku sejenak. Aku mengangguk tegas. Dia mengangguk. "Jika begitu, aku akan menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi denganmu." tegasnya. Aku mengangguk. Sama sekali tidak keberatan.Â
Namun, sepanjang acara hingga dua hari kemudian, dia hampir sama sekali tidak merasa perlu mengacuhkan keberadaaanku. Dia membawa sendiri laptop dan buku-bukunya dan akupun sibuk memfasilitasi delegator lainnya. Namun, aku bisa mendengarkanya berkomunikasi dan memaparkan materi. Dalam bahasa Inggris tanpa aksen sama sekali. Bagaimana bisa? Â Dokumennya justru dengan gamblang menyebutkan bahwa dia konon tak pernah meninggalkan Indonesia kecuali beberapa acara semacam ini.Â
Baru pada hari ketiga dia kembali bertanya hal pendek padaku. "Kamu, bisa bantu menterjemahkan naskah ini dalam bahasa Jerman?" ujarnya sambil mengangsurkan flasdisk ke arahku. Aku mengangguk dan segera beranjak menuju komputer yang ada di pinggir ruangan. Ada sekitar 20 komputer terhubung internet yang menjadi fasilitas bagi seluruh delegator dan para LO. Kami boleh menggunakan  kesemuanya secara bergantian.Â
Saat itulah dengan gamblang  aku menemukan apa idenya untuk dunia filantropi Indonesia. Rahasia besar di industri Tembakau  yang tak pernah kuketahui. Saat itulah aku mulai mempertanyakan, apakah semua yang dijejalkan di otakku sepanjang masa kecil hingga dewasaku salah?Â
Aku mulai curiga bahwa pemahamanku mengenai Tembakau ini keliru..atau apa yang ditulis Robert hanya sebuah kamuflase untuk mempengaruhi cara  berpikirku?Â
Jika iya, jahat sekali orang ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H