Maka mempersiapakan semua proses agar beliau pulang bersamaku ke Indonesia menjadi perjalanan yang tidak mudah. Butuh waktu mempersiapkan semua legalitasnya. Satu yang  pasti. aku memastikan ridho suamiku. Dia perlu yakin bahwa keberadaan orang tuanya di Indonesia jauh lebih baik dari pada di manapun tempat lainnya. Sudah waktunya beliau menikmati kesyukuran-kesyukuran kembali menjadi orang Indonesia yang juga tinggal di Indonesia. Pada dasarnya, aku tahu persis bahwa beliau memang merasa diri sebagai orang Indonesia. Beliau sama sekali tidak pernah mempedulikan ketika semua orang mengatakan bahwa beliau keturunan Jepang. Setidaknya sejauh yang aku tahu, cucu-cucu beliau justru menjadi lebih "Indonesia" karena seringnya berdiskusi dengan beliau.Â
"Pa, tugas saya selesai tahun ini, insyaallah saya memutuskan akan full tinggal di Indonesia. Apakah papa berkenan pulang ke Indonesia ?" tanyaku saat itu. Ramadhan  hari ke 9 tahun 1443 H.Â
Sejak saat itu, diskusi demi diskusi mengenai kemungkinan kedua orang tua suamiku akan tinggal di Indonesia bersama kami menjadi wacana yang terus menerus digulirkan. Aku tahu pada saatnya ini harus terjadi. Sekokoh apapun beliau dulunya, saat ini di usia sepuhnya beliau pun pasti merasa lebih bahagia bersama keluarga. Khususnya suamiku. Kemiripan karakter mereka justru menjadi titik temu yang jauh lebih menyenangkan untuk didiskusikan, di banding berbagai silang pendapat mereka saat di kantor. Dulu, menentukan berapa persen alokasi pengembangan untuk embrio GPT pun sempat menjadi bahan diskusi mereka  yang tak kunjung reda. Apalagi menentukan jalur-jalur penerbangan beberapa  privatte jet yang dimiliki secara bersama-sama oleh beberapa artis Indonesia yang seperti menjadi trend. Perdebatan yang selalu panas, papa merasa lebih berpengalaman, Robert merasa lebih modern. Tak pernah selesai, karena memang dua-duanya benar. Maka, kadang akulah pemberi keputusan akhir. Para  artis itu mitraku, mewakili keberadaan customer, keputusanku memiliki keberpihakan pada pasar, maka kecenderungan sepakat dengan pemikiranku akan muncul di akhir-akhir diskusi.Â
Tentu saja tidak boleh menyebut ini di depan mereka, mereka harus merasa itu pendapat mereka jika kamu mau aman. Haha... Aku meniru pendapat mama mertuaku mengenai ini. Pasti tidak ada yang menyangka bahwa di balik kelembuatan sikapnya dan berbagai sikap plegmatisnya yang cinta damai, beliau sebenarnya adalah pengarah diskusi yang sesungguhnya. Banyak keputusan papa diam-diam adalah keputusan mama. Tanpa seorangpun menyadari. Termasuk para  wakil perusahaan mereka  di belahan dunia manapun.Â
"Seorang perempuan memang diciptakan dari tulang rusuk suaminya, maka posisi paling nyaman bagi dia memang agak mundur sedikit di belakang suaminya. Tak peduli apa namanya, namun justru banyak keuntungan secara politis bagi seorang perempuan adalah ketika dia memposisikan diri sebagai orang yang paling perlu dilindungi oleh suaminya. Suaminya akan dengan senang hati melindungi  karena memang mereka dilahirkan untuk melakukan hal demikian. Berdirilah dalam sudut pandang itu, maka rumah tannggamu akan selamanya terasa seperti  surga."
Luar biasa bukan?Â
Itu pendapat yang tak pernah disitir rekan media manapun dan tak pernah diungkap oleh mama di forum manapun. Seolah-olah seluruh dunia melihat mama hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang menemani papa mertua tinggal di manapun sesuai kebutuhan. Padahal sebelum mereka menikah, konon mama adalah perempuan bekerja. Semua atribut dilepas untuk menjadi teman papa yang baik. Padahal konon dulu, mereka mengawali seluruh investasi ini dimulai dari papa yang bekerja sebagai pekerja migran. Pekerja migran yang nomaden. Berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Tak menentu.Â
"Kamu beneran mau pulang ke Indonesia dan menetap di sana sepenuhnya Dri?" tanya mama saat kami selesai makan pagi. Aku mengangguk tersenyum. Papa sudah beranjak beberapa menit sebelumnya.Â
"Iya Ma, saya rasa, sudah saatnya saya retire. Ini semua sudah lebih dari cukup. Saya rasa, sudah saatnya saya fokus menemani anak-anak dan fokus mendoakan mereka. Konon, doa-doa terbaik adalah doa seorang ibu. Saya ingin merasakan  menjadi ibu terbaik untuk mereka."
Mama mengangguk. Memang semua keputusan ini tidak pernah lepas dari semua obrolan kami sebelumnya. Aku memutuskan untuk merangkum semua pengalaman manajerial yang kuperoleh selama 8 tahun ini untuk menjadi bahan bagi sebuah buku. Buku yang merekam pelatihan internal yang dikembangkan. Sudah mendapat ijin sepenuhnya dari Genda. Tinggal menunggu waktu untuk distribusinya. Salah satunya harus terbit dalam bahasa Indonesia. Aku harus pastikan ini lolos dari intaian inteligen.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H