Mohon tunggu...
Min Adadiyah
Min Adadiyah Mohon Tunggu... Ahli Gizi - nakes ahli gizi, pembelajar manajemen abadi

Penata Impian (karena yakin Sang Maha selalu realisasikan impian kita)

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Mekar seperti Matahari - 2

14 April 2023   18:16 Diperbarui: 14 April 2023   18:19 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Genda mengangguk melihat gelengan kepalaku. Dan itulah pertemuan terakhirku dengan beliau  di Indonesia. Aku memiliki akses untuk mengunjungi di tempat beliau berniat menetap untuk selamanya, dan memang betul kulakukan. Tak ada yang mengenali kami di tempat semua muslim dari penjuru dunia berkumpul. Arafah. Tiga musim haji berturut-turut. 

***

Matahari pagi melembut menerpa pintu kamarku yang berwarna putih. Rumah yang dibuat oleh suamiku. Murni dari tangannya yang kadang-kadang kasar dan pecah. Dia memang benar-benar tak pernah menyadari siapa dirinya, hingga hari ini. Dia tetap  pekerja keras menjadi instruktur berbagai pendidikan non formal yang diampunya bersama tim yang dibangunnya. Benar-benar membangun sendiri semua itu dari 0. Aku menjadi saksi. 

Kadang-kadang, dan itu sering. Aku merasa kasihan padanya. Dia harus berjuang  bersungguh-sungguh menghadapi kerasnya kehidupan. Mandiri. Namun, memang sikap itulah yang semakin membuatku jatuh cinta akhir-akhir ini. Tak lagi pura-pura. Aku sudah memutuskan untuk mencintai dan mensyukuri keberadaannya di sampingku. Setulusnya. Dan aku tahu persis, dia memang tulus. 

Aku menyaksikan bagaimana dirinya sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara harus berjibaku menyelesaikan semua tantangan kehidupan. Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku sendiripun kadang merasa memiliki banyak keterbatasan. Semua akses perbankanku ditutup sejak 8 tahun lalu. Aku punya ATM yang tak kutahu  nomer pin nya. Semua harus dimulai dari 0. Sama persis seperti ketika kakek memulai semuanya. Konyol sekali rasanya menemukan kenyataan ini. Namun, itulah hidup. Tak akan seindah ini kalau saja aku tahu sejak awal bahwa ternyata skenario kakek dan Genda benar-benar berhenti di titik ini. Di titik yang tak pernah kusangka akan seperti ini. 

Kadang aku masih seperti bermimpi. Tidur bangun berkali-kali dan meneruskan mimpi yang sama. Capek tapi bahagia karena semua ini sudah terwujud alhamdulillah. Aku benar-benar bisa retire young, retire rich. Rich sepenuhnya. 

"Hai, katanya mau tidur. Masih jet lag?" tanyanya ketika masuk ke kamarku. Aku tersenyum. Wajah tirusnya melebar ketika memelukku. Dia menerbangkanku  begitu ijin dari ayah kuperoleh. "Aku merindukanmu di sini. Di rumahku." bisiknya. Aku  mengangguk. Sama, aku juga. Rasanya kami seperti terrpisah bertahun-tahun lamanya. Padahal kami terus bersama-sama selama tiga tahun ini, tapi perbedaan misi itu seperti membebani kami. Kami seolah berada dalam sisi berseberangan. Berbagai perjalanan yang harus kami tempuh dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang demikian cepat memaksaku melupakan sejenak apa yang disebut sebagai "santai". Aku benar-benar meringkas perjalanan 15 tahun yang didesain kakekku. Benar-benar skenario Allah SWT  yang jauh lebih spektakuler. Dua puluh orang staf terepercaya yang tersebar di  5 kantor utama kami benar-bear telah menduplikasi diri menjadi jauh lebih cepat. Bantuan digital yang dikirimkan oleh Melinda benar-benar sangat membantuku. Itu hanya sebagian kecil dari serpihan silicon valey yang menjadi bagiannya saat berpisah dengan Bill.  

Aku masih tenteram dalam pelukan Robert  ketika dia memperhatikan seantero kamar. "Kamu suka kamarmu yang baru?" tanyanya. Aku mengangguk. Aku suka semua ornamen yang terpasang. Hanya ada satu pigura berwarna putih, prestasi nasionalku satu-satunya di Indonesia, kalender yang juga berbahasa Indonesia dan satu almari penuh buku yang benar-benar kurindukan. Beberapa di antara ratusan buku itu adalah bukuku.  Selebihnya adalah PC lamaku, TV besar miliknya dan sejumlah gadget tempat kami mengoperasikan bersama-sama Center of Philantropy ini. Terhubung dengan seluruh tempat di muka bumi melalui internet yang bahkan  tak ada 1/10 kapasitasnya dari internet di kantor resmiku. 

"Ini masih pagi ya?" tanyaku perlahan. Dia memencet hidungku. 

"Ini sudah mau maghrib. Sebentar lagi buka puasa, ini ramadhan ke 23 di Indonesia." jawabnya memberi tahu. Kupicingkan mataku. Bukannya beberapa menit lalu matahari masih bersinar lembut membias di kaca, heranku. Ah iya aku ingat, aku tidur dan bangun seperti bayi beberapa hari ini. Benar-benar membebaskan diri dari beban apapun di luar sana. Semuanya setelah ayah  dan ibu memberikan restu beliau untuk aku tinggal di sini sepenuhnya. Home. 

'Kayaknya aku kangen mereka." bisikku perlahan. Robert tersenyum. "Kamu boleh menemui mereka kapan saja." ujarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun