Tanda-tanda tertentu, karena keterkaitannya yang erat dengan budaya tertentu, menunjukkan tingkat ketidakmampuan menerjemahkan yang kuat dalam penerjemahan lintas budaya. Misalnya, simbolisme yang tidak menyenangkan dari angka "empat" (å››) dalam budaya Tiongkok berasal dari kedekatan fonetiknya dengan kata "kematian" (æ»). Dalam banyak karya film dan televisi Tiongkok, angka "empat" sering digunakan untuk mengungkapkan kemalangan atau pertanda buruk. Meskipun simbolisme ini diterima secara luas dalam budaya Tiongkok, tidak ada makna yang serupa dalam budaya Indonesia. Jika penerjemah hanya mengubah simbol ini menjadi angka "empat" dalam bahasa Indonesia, konteks budayanya akan hilang sama sekali. Dengan demikian, penerjemah harus menyusun strategi untuk melestarikan atau menjelaskan signifikansi budaya dari simbol-simbol tersebut.
II. Kendala Waktu dan Ruang dalam Penerjemahan Subtitel Film dan Televisi
Penerjemahan subtitel film dan televisi memiliki tantangan yang unik, terutama dalam hal kendala waktu dan ruang yang ketat. Subtitel harus sinkron dengan visual sekaligus mempertimbangkan kecepatan baca dan pemahaman alur cerita oleh audiens. Akibatnya, penerjemah harus menyampaikan informasi seakurat mungkin dalam ruang subtitel yang terbatas, sehingga menimbulkan tantangan yang signifikan bagi simbol-simbol budaya yang kompleks.
(1) Keterbatasan Waktu dalam Subtitel
Saat penonton menonton film atau drama televisi, subtitel biasanya ditampilkan hanya selama beberapa detik, khususnya selama dialog cepat atau perkembangan alur cerita yang cepat, saat waktu tampilan mungkin lebih terbatas. Ini berarti penerjemah harus menyampaikan informasi sebanyak mungkin dalam bahasa yang ringkas dan mudah dipahami dalam waktu yang singkat. Bagi budaya numerik Tiongkok, makna simbolis dari angka-angka tertentu mungkin memerlukan penjelasan terperinci agar dapat dipahami oleh audiens, tetapi dalam penerjemahan subtitel, penjelasan yang diperluas seperti itu sering kali tidak memungkinkan.
Misalnya, dalam baris yang berisi simbolisme numerik, penjelasan tentang makna budaya di balik angka-angka tertentu mungkin diperlukan. Namun, karena keterbatasan waktu, penerjemah tidak dapat menguraikan konotasi budaya ini dalam waktu tampilan subtitel yang terbatas. Oleh karena itu, menyampaikan informasi yang paling penting dalam batasan tersebut menjadi tantangan yang signifikan.
(2) Batasan Ruang dalam Subtitel
Selain batasan waktu, ruang subtitel juga dibatasi oleh ukuran layar dan persepsi visual. Saat penonton menonton film atau drama, subtitel biasanya terbatas pada area kecil di bagian bawah layar. Jika subtitel terlalu panjang atau rumit, penonton mungkin kesulitan membaca dan memahaminya dalam waktu yang ditentukan. Akibatnya, penerjemah harus menyeimbangkan antara akurasi semantik dan keringkasan subtitel.
Menghadapi keterbatasan ruang ini, penerjemah sering kali perlu menyederhanakan atau menghilangkan penjelasan simbol budaya tertentu saat berhadapan dengan budaya numerik Tiongkok. Misalnya, angka seperti "delapan" (å…«) yang melambangkan kekayaan atau "empat" (å››) yang menunjukkan kemalangan dapat langsung diterjemahkan ke dalam padanannya dalam bahasa Indonesia. Namun, penyederhanaan tersebut dapat menghalangi penonton untuk memahami latar belakang budaya dalam teks asli, yang pada akhirnya memengaruhi pemahaman mereka terhadap alur cerita.
III. Penerimaan Penonton Indonesia terhadap Budaya Numerik Tiongkok dan Kelayakan Transplantasi Budaya
Meskipun minat penonton Indonesia terhadap film dan drama televisi Tiongkok semakin meningkat, pemahaman mereka terhadap simbol budaya Tiongkok masih relatif terbatas. Sebagai fenomena budaya yang kompleks, budaya numerik, khususnya dalam komunikasi lintas budaya, sering kali memerlukan transformasi melalui transplantasi atau lokalisasi budaya. Dengan mempelajari pemahaman dan reaksi penonton Indonesia terhadap budaya numerik Tiongkok, penerjemah dapat lebih memastikan simbol mana yang cocok untuk transplantasi budaya dan mana yang memerlukan strategi penerjemahan alternatif.