ilustrasi: hikbalujir.blogspot.com
bulan hampir habis
sudah dua pelabuhan terlewati
sebentar lagi tiba di pelabuhan terakhir
tanda hampir genap pelayaran diri di lautan Ramadhan
Ramadhan, bak sebuah telaga bening
airnya sarat dengan pengampunan
bertebar barokah
malam menggigil diselimuti sunyi dinginnya langit
selepas mengaji televisi, ku termangu di tepian beranda kapal
hilang anganku
melayang
mengepakkan sayap jauh ke ujung rasa
berjalan menyusuri desir-desir darah nadiku
meracau
jadi bumerang
seketika berhamburkan
menjelma mozaik
serupa termutilasi bom
pikirku tersengal
dijejali lidah kehidupan yang menjemukan
meninggalkan teori-teori patrol pendidikan lama
pelabuhan pertama
kala itu ada bunga rampai doa pengiring malam yang berdendang
ada gemericik dzikir dan sahutan alunan senandung syahdu Kalam Tuhan
ada tangis nyanyian taubat kala subuh menjelang
pun anyir mulut menjelma manis kata
memahat indah polah tingkah manusia
busana tertutup membalut tubuh meliuk-liuk
ada goresan tawa renyah dalam senja
meski terkadang ditemani kepul asap rokok
dan jamuan yang semula biasa menjelma istimewa
Ramadhan, bak membawa aroma terapi
tak perlu repot mengundang
tak perlu capai teriak
manusia berduyun-duyun datang
masjidku terasa sempit
pelabuhan kedua
adzan masjid mulai tenggelam
manusia masih berduyun-duyun datang
ribuan dari mereka berbondong-bondong memenuhi pasar
berjejalan
serupa ikan-ikan sarden dalam kaleng
beriring-iringan berjalan di los-los pasar
membentang dari timur ke barat, selatan ke utara
tanpapeduli keringat dan nafas bercampur panasnya hawa
adu cepat
tak tahan
kala rayuan maut sang raja diskon menawari
ber-Tuhan-kan selimut, sirup, dan biskuit
meski gabah-gabah gabug
pun jala-jala tersangkut hutang gadai
Tuhan kala itu adalah sang tunjangan, selimut,sirup, dan biskuit
ritual Ramadhan tinggal sahur dan berbuka
pelabuhan ketiga
manusia pun berduyun-duyun datang
datang dari kota ke desa
serupa aku yang berjejalan dalam lubang kapal
ada pula yang rela berjejalan dalam bis berjendela terbuka
memuat puluhan nyawa
atau dalam onggokan besi yang berjalan diatas rel
tak sedikit dari mereka rela nangkring di atasnya
pun dengan motor roda dua
berjejalan dengan onggokan kardus, tas-tas besar, dan bungkusan
melupakan terik sang mentari
tak pedulikan jika ada yang meregang nyawa di jalan
berakhir tangis suka, berganti rintih duka
tak sedikit pula berada dalam kotak besi
sorak sorai di jalan raya
lupa akan jala-jala yang tersangkut hutang gadai
ya, atas nama mudik
tanah air! kompas di hati
meski harus menikmati ayunan malas kendaraan dengan serta merta
masjidku yang penuh tambahan tenda, kini menjelma parkir sepeda
tahajud kian karam
tinggal desis dzikir yang kelu
bulan hampir habis
menggantung diam
terkantuk-kantuk kelelahan
bahtera pelayaran ini sebentar lagi berlabuh
sementara gairah Ramadhanku luruh, cintaku pada-Mu rapuh
hatiku was-was tak terkira
kupikir pun tak kan habis
sebelum dihujam batu gerimis nan jatuh cepat
sebelum malam menepi menjelma kota berdebu
sebelum usia kehilangan waktunya
takut tak mampu merangkul-Mu
karna tlah dicatatkan alamat pada alir air
tak tentu sampai ke hilir
adakah aku hanya jadi budak selama berlayar di lautan Ramadhan?
ber-nostal(gila) dengan semua-mua ritualnya
serupa siklus nan terus kembali berputar
lautan Ramadhan, memang sarat ombak gila
meniupkan topan ribut
meminang kumparan angin
tak kan mudah ikan berenang dalam kesunyian nafsu
agar sirip tak patah sia-sia
adakah aku tak membacanya?
atau berpura buta?
tentang apa yang memberatinya, aku tetap tak mengerti
ini bukan judi yang pasti dikhatamkan dengan kemenangan
bukan nasib yang ditentukan dengan hompimpah
bukan pula pernak pernik penghias pura semata
karna tak kan ada pegadaian hari
dingin memang malam ini
menusuk hingga ke dalam iga-iga
menggetarkannya bak piano bernada rusuh
aku berlari ke padang belantara hati
berkaca pada retak cermin
mengaji kembali
alif ba ta, terbata
kugali hatiku dengan linggis alif-Mu
aku terjatuh di tebing doa“Rabbigh firli...”
izinkan ku sampai pada muara fitri
(Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat, 30th Ramadhan-1433H)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H