Oleh karena itu, Wayang memiliki filosofi sebagai bayangan atau cerminan sifat manusia secara spiritual. Sehingga watak penokohan dalam Wayang kerap mirip dengan cerminan sifat manusia serta menggambarkan watak dari Tuhan Yang Maha Esa.
Cerminan tokoh ini digambarkan berbeda-beda, dimana setiap tokoh diberikan detail kostum dan warna yang membedakan satu sama lain. Sehingga cerita wayang, kerap akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Perkembangan Wayang di Indonesia
Para ahli percaya bahwa Wayang sudah berkembang jauh sebelum agama dan budaya luar masuk ke Indonesia, sekitar 1500 SM.Â
Awalnya Wayang hanya berupa boneka yang terbuat dari rerumputan. Pertunjukan pada waktu itu juga masih sederhana, namun tak terlepas dari sisi spiritual yakni melalui kepercayaan animisme dan dinamisme yang memuja roh-roh nenek moyang.
Hingga masuknya agama Hindhu-Budha ke Nusantara, cerita dalam pertunjukan wayang pun berkembang menjadi menceritakan tentang kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Seperti yang tercatat dalam sebuah prasasti dari tahun 930 Masehi, dimana terdapat pertunjukan dalam upacara penting yang bercerita tentang Bima, salah satu ksatria dalam cerita Mahabharata.
Lalu masuknya agama Islam ke Indonesia juga menambah cerita dalam perjalanan Wayang Kulit di Indonesia. Wayang mulai akrab sebagai media dakwah yang dipopulerkan oleh Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga. Wayang dipilih karena mencampurkan unsur entertain atau menghibur melalui cerita yang nanti akan dipadukan dengan unsur edukasi dengan ilmu-ilmu agama.
Masuk pada masa kolonial, dimana agama Kristen mulai masuk ke Indonesia, Wayang juga turut serta mewarnai sejarah perkembangan agama di Indonesia. Ialah Wayang Wahyu, yang merupakan pewayangan dengan latar cerita dari kisah-kisah dalam Alkitab.
Begitulah hingga sampai sekarang, Wayang Kulit turut serta dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Meski begitu, sekarang sudah sedikit masyarakat yang masih menonton pertunjukan Wayang Kulit.Â