Jarak sering kali menjadi alasan bagi sebagian orang untuk melupakan, meninggalkan dan mencari yang baru.
Ini bukan tentang cinta yang baru kemarin sore engkau kenal. Bukan pula tentang sekerat roti dari toko seberang jalan yang baru seminggu ini buka.
Jarak ini bicara tentang kenangan yang sempat kita ciptakan dalam secangkir kopi yang demi mengulur waktu, kita sengaja untuk mencicipinya pelan-pelan, sesesap demi sesesap.
Minggu lalu aku kembali ke tempat itu, kedai kopi mungil samping lampu merah (kau menyebutnya demikian), sementara aku menyebutnya kedai Noe seberang Galeria Mal.
Kedai itu masih seperti saat pertama kita ke sana; romantis dengan aroma kopi berdesakan. Kumpulan buku yang pernah kita jumpai masih tersusun rapi di sana, nyaris seperti saat kita tinggalkan tempo hari.
Tidak ada yang berubah, kecuali mungkin teman yang membersamai mengunjunginya. Tak ada kamu, tentu saja sebab kita sedang dipisahkan oleh 'negara'. Sayangnya aku selalu mengingatmu lewat aroma kopi yang terhidu di Noe coffee.
Bagaimana bisa kamu merekomendasikan makanan pedas untukku? Beruntung chef Noe baik dan bersedia memodifikasi cabe yang aku minta. Barista yang membuatkan kopi juga menyenangkan. Jangan cemburu sebab mas barista di sini bersedia jika aku minta tolong untuk diajari menggambar di atas kopi pesananku. Kamu, mana bisa seperti dia.
Noe dan Bidak-bidak catur
Di meja panjang yang ada di tengah ruangan, aku menemukan papan catur dengan Bidak-bidak utuh diam di tempat. Bidak-bidak itu mengingatkan aku pada Kang Pepih, guru sekaligus salah satu pendiri Kompasiana.Â
Beliau menggilai papan dan permainan catur, sama persis dengan kamu yang menggilai noken dan serat serat tumbuhan. Kadang tak habis pikir, bagaimana mungkin orang sepertimu mengenal kehidupan modern ala Noe caffee.
Aku ceritakan kepadamu; kemarin aku bertemu langsung dengan manager yang mengelola kedai ini. Dan tahukan kamu apa yang beliau bilang? Beliau berkata jika ruangan tengah, ruang VIP bisa kita pinjam untuk merapatkan hari pernikahan kita. Ini lucu, sebab kita belum tahu kapan bakal menikah namun sudah disodori tempat buat rapat.
14 orang cukup ditampung di ruangan mungil itu. Daripada nunggu rapat pernikahan, mending aku pakai saja buat ulangtahunku Minggu depan. Semoga kamu ingat.
Tanpamu aku bisa mencicipi banyak makanan tanpa perlu malu-malu. Dan juaranya tetap chiken rice with sambel matah.
Kemarin aku ditemani chef cantik saat menghabiskan sepiring chiken rice sambel matah, di luar sedikit dingin usai hujan, aku bercakap panjang dengan chef. Tentang bahan-bahan yang ada di dapur sampai pertemuan kopi-kopi di meja barista.Â
Dari chef cantik, aku tahu jika kopi di Neo berasal dari petani-petani kopi di pelosok negeri. Sayangnya di sini tidak melakukan perostingan sendiri melainkan minta bantuan pada perostingan lokal. Hmmm padahal aku ingin sekali melihat mereka memanggang kopi, pasti mengasyikkan.
Kalau kamu sudah balik, aku akan mentraktirmu kopi Toraja. Dan aku juga akan memintamu mengajariku bermain catur.
Jika kamu hendak ke Noe coffee, kamu harus tahu bahwa di sini buka setiap hari dari pukul 9 pagi sampai pukul 2 dini hari.
Kabari aku jika kamu hendak ke sini. (Min)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI