Tidak ada mendung, hanya kulit saya merasakan sentuhan nyes, semilir dari pepohonan yang menaungi hampir di sepanjang perjalanan saya sore itu. Senja baru saja menampakkan diri sebelum, masih agak lama menuju petang. Saya berdiri di belakang rumah Mas Budi yang juga merupakan 'markas' tempat beliau menghabiskan nyaris seluruh waktunya.
Mata saya tertuju pada tumpukan kayu, limbah kayu dan beberapa macam peralatan yang entah apa fungsinya, yang saya paham itu dinamakan alat bubut.
"Di sini saya biasa bekerja," Mas Budi mulai memperkenalkan diri dan segala macam aktifitas yang dilakoninya.
Jika kamu bertanya sebenarnya saya sedang apa dan di mana? Maka bolehlah saya jawab kalau saat itu saya (sebetulnya tidak hanya sendirian tapi juga bareng teman Genpi Jogja) sedang melakukan perjalanan piknik pintar di daerah Rumah Adat Mangunan.
Saya tidak akan bercerita banyak, fokusnya hanya pada Mas Budi dan usaha yang dilakukannya; bisnis kerajinan kayu.
Pernah jalan-jalan ke Malioboro atau toko-toko souvernir lalu melihat aneka oleh-oleh lucu dari kayu? Misal mobil-mobilan, kalung, gantungan kunci sampai nampan dan miniatur gedung bertingkat?
Pernah?
Jujur saja saya lagi tergila-gila dengan kalung etnik dari bahan kayu. Saya bukan kolektor tapi merasa bahagia punya beberapa biji kalung kayu tersebut. Semakin bahagia karena akhirnya saya bisa ketemu Mas Budi yang merupakan salah satu pengerajin kayu.
Tadi sebelum saya masuk 'bengkel' keren yang punya banyak mesin bubut, saya lebih dulu terpesona oleh produk-produk yang di pajang di ruang depan rumah Mas Budi. Sepertinya Mas Budi tahu kalau saya sangat-sangat tertarik dengan usahanya kerajinannya, maka tidak lama-lama beliau langsung mengajak saya ke belakang dan mengenalkan sekaligus mempraktekan cara membuat kerajinan tangan yang simpel.
"Ini mau membuat apa?" tanya saya diantara deru mesin bubut yang memekakkan telinga (saya enggak yakin bakal kuat jika setiap hari harus berurusan dengan mesin yang begitu berisik). Dan bayangkan, Mas Budi setiap hari berurusan dengan mesin tersebut.
"Ini mau buat yoyo." Mas Budi mengambil beberapa alat lain dan terus dengan lincah membuat permukaan kayu menjadi halus. "Tahu yoyo?"
Yoyo? Okey fine, Mas Budi tidak sedan bercanda dan saya jujur bahwa saya kenal yoyo sejak dari balita. Kamu?
Melihat Mas Budi begitu antusias menjelaskan proses kerjanya, saya semakin yakin dan jatuh cinta sama produk hasil karya Kakilangit. Ya Kakilangit, begitu yang saya dengar tentang rumah kerajinan milik Mas Budi.
Menurut penuturan Mas Budi, beliau bekerja tidak sendirian. Beliau dibantu istri dan beberapa karyawan untuk mengolah kayu-kayu sesuai dengan permintaan pasar. Tidak hanya membuat kalung atau souvenir kecil-kecil, mereka juga menerima pesanan dalam ukuran dan jumlah besar. Ribuan jumlahnya.
Di tempat ini (Mangunan) tidak hanya Mas Budi seorang yang berprofesi sebagai pengerajin kayu. Ada banyak pengerajin yang lain dengan produksi yang hampir serupa. Dari pengakuan Mas Budi, saya juga tahu kalau para pengerajin itu juga saling bekerjasama. Bentuk kerjasama mereka antara lain adalah saling membagi pesanan jika memang pesanan sedang dalam jumlah besar besarnya.
"Kalau di sini kewalahan, saya akan mengajak teman lain untuk ikut produksi."
Sambil mendengar Mas Budi bercerita panjang (yang hampir-hampir mereka habiskan memori ponsel) saya asyik memainkan sisa-sisa kayu yang tidak terpakai. Secara spontan muncul pertanyaan, "lalu sisa-sisa kayu ini diapakan?" Maksudnya sisa itu bukan potongan kayu tapi remah-remah hasil gergajian.
"Dijual ke tukang tahu."
Okey, jadi tidak ada yang terlahir sia-sia di bengkel ini.
Selain bercerita tentang produknya yang punya dua pasar; dalam dan luar negeri, dengan ramah (semua orang yang saya temui sore itu ramah-ramah) Mas Budi bercerita tentang perjalanan karirnya sebagai seorang pengerajin kayu.
Kayu blabakan dan gelondongan adalah dua bentuk kayu yang selalu ada di rumahnya. Merupakan bahan pokok untuk produksi. Selama ini saya enggak paham apa apa tentang kayu meski di rumah juga punya warisan kayu. Kata Mas Budi kayu dengan bentuk gelondongan lebih mudah pecah saat digarap. Beda dengan kayu blabakan yang lebih tahan bermacam hal termasuk jika dilempar ke ruang oven.
Saya tidak tahu seberapa besar penghasilan para pengerajin kayu di tempat ini, bertanya pun saya kira kurang pas. Toh saya bukan pejabat yang datang meninjau sebuah lokasi pontensial lalu dengan dermawan menggelontorkan dana milyaran untuk menyokong proses kreatif para artisan kayu tersebut.
Yang saya tahu dan tangkap, usaha ini cukup membuahkan hasil, lebih-lebih jika hasil yang diproduksi benar-benar berkualitas.
Saya sempat sih karena penasaran lalu bertanya tentang yoyo yang tadi Mas Budi buat, kira-kira berapa harga, dan saya cukup kaget mengetahui harganya dibawah lima ribu rupiah perbiji. Bandingkan dengan harga yang ada di pasaran!
Gimana? Ada yang niat beli dalam jumlah besar? Saya ada kontak beliau. Sebab ternyata beliau tidak menjual hasil karyanya lewat online.
Selesai melihat Mas Budi demo membuat yoyo, saya dan rombongan diajak kembali ke depan, ke ruangan yang menjajar aneka souvernir jadi.
Salah satu teman saya tertarik dan membeli ketapel buatan Mas Budi.
Saya jatuh cinta pada kalung yang digantung.
Suatu hari nanti saya harus bisa berkunjung ke Kakilangit lagi. Banyak cerita yang belum selesai saya dengar. Dan banyak kawasan yang belum saya kenali.
Kamu, mungkin juga tertarik ke sini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H