Mohon tunggu...
Mini GK
Mini GK Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Muda Yogyakarta

Mini GK; perempuan teman perjalanan buku dan kamu ^^ Penerima penghargaan karya sastra remaja terbaik 2015 Penulis novel #Abnormal #StandByMe #LeMannequin #PameranPatahHati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kolaborasi Warna, Gambar dan Cerita

23 Agustus 2017   21:23 Diperbarui: 23 Agustus 2017   21:27 2029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana ceritanya seekor ayam bisa bertanduk? Itu mustahil. Bagaimana bisa ada kelinci mendadak berkacamata, bersweeter dan duduk di sebuah kursi sembari menenteng buku bertuliskan 'sejarah kereta api'?

Saya sangat yakin teman-teman bisa membayangkan seperti apa menggemaskannya kelinci yang sedang membaca buku sejarah kereta api. Saya juga sangat percaya jikalau teman-teman pernah melihat film yang berkisah tentang hewan yang menjalani hidup bagai manusia; berumah tangga, memasak, bekerja kantoran, belanja, main ayunan dan lain lain dan lain lain.

Bagaimana bisa mereka jadi seperti itu?

 "Bermain warna itu boleh, tapi harus dengan logika dong!"

"Hello, sejak kapan matahari bewarna biru? Sejak kapan pula laut jadi ungu?"

"Ini kepiting? Sejak kapan kepiting lahir dengan sayap?"

Kali ini saya tidak yakin jika teman-teman pernah menerima keritik serupa di atas. Tapi saya yakin pasti teman-teman pernah dengar pertanyaan-pertanyaan serupa itu dilontarkan seorang dewasa kepada adik-adik. Saya yakin pernah.

Pensil Warna, Gambar dan Buku

Hari Minggu lalu seperti biasa Klub Buku Yogyakarta menggelar lapak baca gratis di khawasan CFD dekat dengan toko buku Gramedia. Kebetulan hari itu juga sedang ada acara Gramedia Festival Literasi. Suasana riuh dan semarak. Para peserta karnaval memakai atribut yang mencolok dengan rumbai-rumbai yang dibuat sedemikian hingga menimbulkan naluri untuk ikut selfie atau sekedar satu jepretan mengabadikan suasana.

Saya duduk bersila di aspal yang insyaAllah pagi itu masih suci dan gigil.

Bagai seorang mbok-mbok penjaja cabe, saya menggelar buku-buku di alas dan menunggu para pengunjung mampir untuk baca-baca.

Selain menyediakan buku bacaan, ada juga kertas bergambar dan pensil warna yang sengaja disediakan untuk menarik perhatian anak-anak.

"Mari sini, Dik. Sini baca buku gratis. Bisa mewarnai gratis. Bisa gambar juga. Ayo sini-sini."

Satu persatu anak-anak mulai menyemut, seolah-olah pensil warna dan kertas bergambar tadi adalah magnet yang menyedot besi. Anak-anak itu langsung duduk (tidak rapi), memilih gambar yang disukai dan pensil warna. Anak yang sedikit lebih besar memilih mengambil buku tebal yang isinya cerita anak dengan ilustrasi gambar aneka rupa. Besar dan penuh warna.

"Oh mewarnai kura-kura," saya melihat seorang adik kecil yang saya taksir usia kurang dari empat tahun memulaskan warna ungu pada badan kura-kura.

"Wah kura-kuranya warna ungu. Siapa nama kura-kuranya?" sambil tersenyum saya terus mengajak obrol adik tersebut, ya meski hanya dijawab dengan anggukan dan gelengan.

Kehadiran pensil warna dan kertas bergambar itu adalah tak lain sebagai umpan. Ya, ibarat memancing, dibutuhkan umpan yang gendut, menggairahkan dan jauh dari kesalahan. Bagi anak-anak, pensil warna adalah sebuah kegembiraan, keceriaan dan pesona. Ya mereka memang belum bisa membaca. Jangankan membaca, membuka buku dengan cara halus saja masih memprihatinkan. Maka dibutuhkan pensil warna untuk menarik perhatian mereka agar mau datang ke lapak kami. Perlahan-lahan dan dengan seiring berjalannya waktu saya berkeyakinan adik-adik yang gemar bermain kertas dan pensil warna itu kelak akan juga mencintai buku.

Bermula dari gambar yang lucu dan penuh warna, mereka akan terbiasa memegang buku. Lalu otak akan terasah dan menerbitkan rasa ingin tahu.

Mengajak anak membaca buku dengan cara memaksa itu salah. Yang benar adalah mengenalkan buku dengan cara menyenangkan sesuai dengan kepribadian anak-anak.

img-20170820-073311-599d8b9b5cab7e190b34bac2.jpg
img-20170820-073311-599d8b9b5cab7e190b34bac2.jpg
Penulis dan Pelukis dalam satu karya

Kalau ditanya apa yang membuat saya iri di dunia ini, maka jawabanya sama dengan tokoh Remi dalam novel Perahu Kertas milik Dee, yaitu pelukis.

Siapa saya ini yang sok-sokan berani iri dengan hidup para pelukis?

Sejujurnya iri saya sudah berubah menjadi sebentuk 'dendam'. Bermula dari iri karena susah membuat sebuah gambar akhirnya saya dendam dengan para teman yang bisa menggambar. Dendam saya itu berwujud keinginan untuk berkolaborasi dengan mereka pada suatu hari nanti dalam sebuah karya berwujud buku.

Tahun ini ada lomba yang mengharuskan penulis berkolaborasi dengan pelukis. Lomba itu berupa lomba membuat buku bacaan anak. Setiap buku yang ditulis (maksimal 50 halaman) harus dilengkapi dengan ilustrasi minimal lima gambar dan sampul buku dengan penuh gambar.

Saya melongo dengan lomba tersebut. Bukan karena saya tidak punya kenalan yang bisa menggambar apik, tapi lebih dari itu mendadak ide saya liar kemana-mana. Mimpi saya untuk 'balas dendam' seolah-olah ada di depan mata.

Di lain waktu saya bertemu dengan seorang pelukis keren sebut saja @cerita.kecil. Banyak sketsa beliau yang lucu-lucu dan menarik perhatian. Terbitlah keinginan untuk meminang gambar-gambar tersebut.

"Apakah kakak sudah pernah diajak kolaborasi dengan penuli atau penerbit? Sekarang lagi ngetrend buku-buku anak dengan ilustrasi seperti yang kakak buat." Obrolan itu tidak bisa saya bendung, mengalir begitu saja seolah-olah memang ini sudah waktunya untuk bicara tanpa jeda.

"Belum, Kak Min. Belum pernah sama sekali."

"Saya penulis. Bagaiamana kalau suatu hari nanti kita berkolaborasi?"

"Dengan senang hati. Mohon bimbingannya."

Setahun kemudian sejak obrolan berfaedah tersebut, saya dikejutan dengan postingan beliau di instagram dan facebook. Ternyata sekarang beliau sudah mewujudkan harapannya untuk berkolaborasi dengan penulis. Sebuah buku cerita terbitan baru dari Gramedia memuat gambar-gambar beliau untuk ilustrasi cerita sekaligus sampul buku.

Saya langsung beruluk salam. Berucap selamat dan masih berembel-embel agar kelak bisa juga berkolaborasi apik macam itu.

Beliau tersenyum dan saya tak henti-hentinya mengagumi gambar si beruang coklat berkacamata duduk di atas kotak kayu.

faber castell pensil warna / dok.pribadi
faber castell pensil warna / dok.pribadi
Hidup dari goresan warna

@cerita.kecil hanyalah salah satu contoh. Banyak kawan lain yang juga terlibat dalam proyek besar semua bermula dari goresan pensil warna. Guru Seni Rupa saya sewaktu SMA juga berhasil go-international gara-gara goresan warna yang diciptakannya dalam tembok-tembok kota.

Saya selalu kagum dengan mereka yang dengan santai bisa merubah tembok kusam menjadi satu bidang penuh cerita.

Seperti penulis yang menikmati hasil dari bercerita. Pelukis pun demikian. Tidak sedikit orang yang menghidupi hidupnya dengan jalan menggambar. Menggambar apa saja. Warna apa saja.

Menggambar tidak melulu di atas kanvas atau kertas. Bagi seorang yang sudah hidup denga menggambar, mereka bisa melakukan di mana yang ia inginkan. Di tembok sebagai mural. Atau di mangkuk, cangkir bahkan cermin. Tidak sedikit juga yang mengusapkan warna ke dalam kain. Melukis dengan bebas.

Seorang guru SD akan menggambar di papan tulis sebagai salah satu bentuk metode mengajar. 

salah satu mural di daerah Prawirotaman
salah satu mural di daerah Prawirotaman
Menulis dan menggambar membutuhkan imajinasi bebas. Jangan pernah sok-sokan menasehati tukang gambar tentang warna. Siapa kau berani melarang orang berimajinasi.

Bayangkan jika pada suatu hari warna-warna dilarang beredar. Apa yang akan terjadi?

Bayangkan jika suatu hari orang tidak boleh berimajinasi sebebas-bebasnya. Apa yang akan kita lihat di tembok, di layar televisi atau di dalam buku-buku.

Jika hari ini saya memarahi si adik kecil karena telah mewarnai kura-kura dengan warna ungu, entah apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak. Saya sendiri tidak pernah keberatan jika ada gambar anak ayam bertanduk atau tikus bersayap. Sampai kapan pun saya akan menerimanya sebagai sebuah cerita. Bukankah film sekelas avatar juga dibangun dengan imajinasi bebas penuh warna? Andai diharamkan mewarnai gambar tubuh manusia dengan warna biru, maka mungkin kita tidak akan mengenal avatar.

Dan saya masih terus memupuk harapan agar mimpi saya segera berbuah nyata; sebuah buku karya saya dengan ilustrasi cantik di dalamnya. Hitam putih pun adalah warna.

sketsa Kak Yehezkiel Cyndo
sketsa Kak Yehezkiel Cyndo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun