Mohon tunggu...
MiniE Kholik
MiniE Kholik Mohon Tunggu... -

Saya mulai menulis sejak ikut dalam sebuah komunitas penulis amatir pada sebuah situs on line yaitu; www.kemudian.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dendam

15 Desember 2010   20:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_80096" align="alignleft" width="300" caption="by google"][/caption] Lagu apa yang harus kunyanyikan, saat telingamu telah tuli. Isyarat seperti apa yang harus kuperlihatkan saat mata tak berfungsi. Masihkah hatimu mampu mengakui bahwa kebenaran telah kau ingkari. Aku di masa lalu, masa kini dan masa depan, Aku tak pernah ingat benda apa yang pertama kali tertangkap oleh retina mataku dulu. Akupun tak pernah tahu melalui jalan apa Malaikat Izroil mencabut nyawaku nanti. Yang aku tahu aku terlahir melalui rahim ibu dengan peranan bapak. "Kamu terlahir saat orang tuamu hanya memiliki sebuah gubuk kecil dibawah pohon randu," ucap bapak dengan nada sendu waktu itu, saat aku mulai mengerti apa arti kemiskinan. "...Kau terlahir dua tahun setelah kakakmu yang belum sempat kami kenali wajahnya," lanjut beliau sambil mengepulkan asap dari cerutunya. Setiap sore kami hanya duduk di  beranda rumah selepas ayah pulang dari sawah. Ibu sibuk di dapur dengan cucian dan peralatan masak. Terlalu lelah menahan payahnya kehidupan terpaksa ibu ikut sibuk membantu pekerjaan bapak. menjemur padi mengupas singkong lalu mengolahnya menjadi campuran nasi. Waktu itu ibu sedang hamil muda. Dengan usia yang terlalu belia beliau pun tidak tahu banyak tentang menjaga kehamilan. Akhirnya keguguran. Itulah alasan kenapa aku tidak pernah melihat wajah kakakku. "Ah, begitu sengsarakah hidup kita, Bunda?" aku sering menatap kosong sebuah nisan bertulis nama ibuku. Disanalah tempat aku merakit mimpi. Disana pula aku tidak pernah malu bagaimana memamerkan airmata. Tapi aku murka saat tiba-tiba kuburan ibu hilang dari tempatnya. Kuburan itu telah rata, aku kehilangan tempat manadah air mata. Hingga akhirnya kukeringkan seketika dengan kayu dan bambu yang aku punya aku lari sekencang-kencangnya menanyakan siapa yang merampas kuburan sepetak yang aku punya. Lalu kepala desa bilang, "itu tanah milik orang kaya, kau tidak berhak menggugatnya." Sejak saat itu aku ingin kaya, benar-benar kaya agar semua makam bisa kubeli berapapun harganya. Aku mendatangi setiap orang kaya yang lupa hartanya, mengambil tanpa sepengetahuannya. Malam ini aku duduk di sebuah kamar dengan sinar temaram pada tiap sudutnya. Menikmati segelas vodka yang tidak pernah aku perlu tahu harganya. Tentu saja aku hanya memenuhi undangan setiap orang yang butuh pesta. Seorang wanita telah duduk dihadapanku dengan gaun malam berwarna merah. Malam keberapa aku melayaninya? aku rasa aku lupa bagaimana cara menghitung bilangan. Pada liukan malam tubuh memanas kian geram pada lekuk kehidupan inikah bentuk ketidak adilan? *** MK, Taipe 14122010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun