Mohon tunggu...
Stefanus Dominggus
Stefanus Dominggus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Filsafat Unika Parahyangan Bandung. culture studies, lovely music and writing

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Intepretasi Ulang Film "Daun di Atas Bantal"

4 Februari 2014   17:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“artikulasi budaya”

Gambaran kusam ala kehidupan jalanan yang diperankan oleh Kancil,Heru dan Sugeng dalam Film ‘Daun diatas Bantal’ gubahan Garin Nugroho, seyogyanya menjadi ‘sindiran halus bagi kita sebagai ‘masyarakat modern’ yang hidup dalam banyak ‘topeng’. Sebab mau tidak mau, kepada Merekalah kita dapat melihat kejujuran atau ,’ketelanjangan ‘hidup yang paling berani memainkan peranya sebagai ‘manusia bebas’. Mereka saling memaki, saling sikut, pukul-pukulan,meludah, merokok ,menonton blue film, masturbasi,melihat pembunuhan,membiarkan darah ditangan dan tidak membasuhnya. Mereka tidak harus berpikrir panjang atas segala urusan yang akan terjadi nanti.

Dalam kaca mata masyarakat uraban yang nota bene hidup dalam kesejahteraan yang cukup, mungkin kita merasa “aneh dan geli”. Akan tetapi toh kita kemudian bertanya, cara pandang siapa yang dipakai untuk menilai mereka. Bukankankah kegelisahan ini hanya ada pada orang yang melihat, dari sudut pandang mereka, atau jangan-jangan perasaan gelisah ini hanya milik orang-orang yang memiliki standar hidup, yang memang dituntut oleh Kontrol sosial.

Mereka dekat dengan keseharian yang didalamnya selalu bersinggungan dengan hayalan dan realita. Disatu sisi mereka berjuang untuk hidup yang lebih baik, dipihak lain; realita yang mereka hadapi seolah-olah tidak mengijinkan mereka untuk berubah. Atau dengan kata lain, hidup bahagia ala televisi dan sinetron merupakan utopia belaka, toh the facto mereka tetap kembali pada rutinitas yang sama. Hal ini bahkan dipertegas oleh Ibu Asih“kalo mau selamat ya mbok ga usah mimpi macem-macem”. Akan tetapi yang menarik dari point ini adalah ;adanya proses peniruan-peniruan massif pada kelompok ini, baik Sugeng, Heru,maupun Kancil hidup layaknya orang dewasa (merasa dewasa sebelum umurnya) dengan meniru elemen-elemen dasar seperti Heru yang memakai Pearcing dengan tindikan peniti, jeans belel,rambut gondrong, merokok, hingga ‘ngelem’ dan minum-minuman keras. Proses mimikri ala anak-anak seusia Heru dkk, jelas bukan pada porsinya, mereka pada titik ekstrim ‘serupa namun tidak sama’ atau yang dalam bahasa Homi Bhaba dikatakan sebagai “almost the same, but not quite”.

Mereka terlihat hampir sama dengan orang-orang dewasa,namun tidak benar-benar sama. Heru dkk menciptakan sebuah ambivalensi antara umur yang tidak cukup dengan segala kelakuan serta tampilan diri yang bukan pada porsinya. Pada tahap ini, Heru dkk melahirkan “trend” baru diusianya yang kemudian diikuti oleh teman-temanya. Mulai dari sugeng yang menginginkan bonekanya hingga bocah didalam gorong-gorong yang dilarang oleh Heru untuk ‘nge-lem’. Maka identitas Heru dkk adalah proses peniruan akan segala hal yang sebetulnya tidak benar-benar dimengerti. Mereka berhasil memakai “topeng” yang memang disediakan pada keseharian hidupnya. Permasalahanya adalah, mereka sebetulnya belum siap, akan tetapi lingkungan atau realitas sosial yang memaksa mereka untuk memilih pilihan. Bukan kesalahan meraka untuk meniru realita disekelilingnya, akan tetapi menjadi menarik ketika mereka berlaku seolah-olah hidup inilah milikku, kebebasan inilah harga matiku, yang disaat bersamaan mereka justru terhimpit atau tidak dapat menikmati hidup dan kebebasanya. Dikala mereka dibunuh karena “permainan asuransi “, ketika mereka tidak dapat dikubur layaknya manusia, disaat mereka tidak terdaftar sebagai warga negara, dll yang semakin menampilkan sisi paradoksnya, tapi toh mereka tetap survive dan menikmati.

Membaca Ulang Ruang ketiga.

Bhaba menawarkan konsep ruang ketiga sebagai ruang kemungkinan dari adanya percampuran segala unsur. Segala hal yang diterima akan dimaknai sebagai bentuk baru. Makna itu tidak akan sama persis dengan apa yang ditampilkan oleh ruang pertama maupun kedua. Ruang ketiga adalah kemungkinan baru untuk menujukan kebaruan sekaligus nilai lama yang disusun secara bersamaan. Disini hibriditas tidak selalu diartikan percampuran dari segala unsur, akan tetapi hibriditas pada film Daun di atas Bantal adalah “ambivelensi hibriditas”. Hibriditas tidak dimaknai sebagai percampuran namun percampuran sekaligus paradoks yang saling mengait dan menganyam. Dengan kata lain ini saya menyebutnya sebagai “artikulasi budaya”.Mereka tidak harus mencari,menerima maupun menegasi segala unsur‘budaya’, justru yang dihadirkan dalam kisah daun diatas bantal ini, adalah ‘Disclosure’ yakni ketersingkapan budaya yang kemudian menyergap mereka. Pada posisi ini, mereka tidak lagi dihadapkan pada suatu pilihan, namun justru “pilihanlah” yang memilih mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun