Rivalitas Anies Baswedan versus Presiden Joko Widodo tak bisa dielakkan lagi. Meski dua sosok ini pernah tampil mesra kala Pilpres 2014. Dimana Jokowi yang kala itu masih nyapres, mendaulat Anies sebagai juru bicara. Puncaknya, ketika terpilih sebagai Presiden, Jokowi memercayakan posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Anies.
Namun apa lacur, kemesraan itu raib dan malah beralih jadi rivalitas. Ini bermula ketika Jokowi menyudahi jabatan Anies di tengah jalan. Sejak saat itu, Anies tampak tak nyaman dan mencari posisi politik baru. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Di tengah dinamika Pilgub DKI, nama Anies mencuat dan muncul sebagai salah satu calon berpasagan dengan pengusaha muda, kaya raya nan menawan rupa, Sandiaga Uno. Kali ini, posisi politik Anies berkebalikan 1800. Dari gerbong pemerintah, Anies menyeberang ke gerbong rival Jokowi ketika Pilpres 2014.
Ya, Anies meniti takdir politik barunya di barisan Prabowo Subioanto. Orang yang pernah ia lontari kritik pedas ketika Pilpres. Tapi namanya juga politik, lawan bisa jadi kawan yanag berangkulan.
Perlahan dan pasti, Anies berada di posisi yang berlawanan dengan Jokowi. Orang yang Anies pernah hantar menuju singgasana RI 1. Jokowi adalah sekutu dekat Ahok. Lawan tanding Anies di Pilgub DKI. Jadi suka atau tidak, rivalitas Anies vs Jokowi tak bisa disembunyi.
Dan tampaknya, kedepan, rivalitas dua tokoh ini akan semakin meruncing.Â
Pertama, Jokowi sebagai presiden dari PDIP tentu ditugasi partai untuk menyukseskan calon usungan mereka. Sebagai personal, tanggungjawab tersebut melekat. Meski Jokowi bekali-kali bilang posisi pemerintah adalah netral dalam pilkada.
Barangkali bukan Jokowi yang turun langsung memenangkan Ahok. Tapi sebagai pemegang tampuk kekuasaan dimana seluruh akses politik, hukum, ekonomi dan intelejen ada di dalam genggaman tangannya, bukan hal sulit bagi Jokowi melakukan ‘operasi bawah tanah’ untuk memenangkan Ahok.
Meski fakta dan kalkulasi politik menunjukkan, bukan hal mudah Ahok bisa memenangi putaran dua nanti. Kasus penistaan agama yang masih bergulir dan jadi momentum politik umat Islam, adalah sandungan terbesar Ahok. Sebaliknya, ini jadi bola cantik bagi Anies.
Kedua, titik rivalitas lain antara Anies vs Jokowi adalah pada kebijakan soal reklamasi. Jika skenario Anies menang dalam Pilgub terjadi, artinya ia berada pada posisi berseberangan dengan Jokowi terkait reklamasi.
Presiden Jokowi, sejak awal sangat tegas bersikap bahwa reklamasi harus dilanjutkan. Sebagai penganut teori developmentalisme, Jokowi tentu tak punya alasan menolak reklamasi. Apalagi berbagai kajian ilmiah bilang Jakarta akan tenggelan tahun 2030 jika bagian utara ibu kota dibiarkan tanpa upaya membendung air bah.
Pembantu-pembantunya di kabinet, sudah bulat, satu suara ihwal reklamasi. Bappenas dan Kemenko Maritim di antaranya, menyatakan lampu hijau untuk reklamasi. "Untuk selamatkan Jakarta dari banjir rob," ungkap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala, Bappenas Bambang Brodjonegoro belum lama ini.
Dalam tapat kabinet April tahun lalu, Presiden Jokowi juga secara tegas bilang kepada menteri-menterinya bahwa reklamasi ini harus jadi win-win solution. Jangan sampai merugikan masyarakat maupun dunia usaha. Karena itu, solusi yang ditawarkan pemerintah adalh mengintegrasikan reklamasi tanggula raksasa atau Proyek Garuda dengan reklamasi 17 pulau.
Menko Kemaritiman, Luhut Pandjaitan menyatakan keputusan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang terintegrasi dengan Proyek Garuda, berdasarkan kajian ilmiah. Ia memastikan kelanjutan proyek tersebut untuk kepentingan nasional dan masyarakat Jakarta.
Ketiga, Bappenas sendiri  baru akan melanjutkan pembahas reklamasi ini jika proses pilgub DKI usai. Setelah ada nahkoda baru, maka hasil kajian Bappenas diserahkan. Tentu saja terkait rekomendasi melanjutkan reklamasi.
Masalahnya, dalam berbagai kampanye Anies menjadikan penolakan atas reklamasi sebagai satu janji politik. Reklamasi disetop, begitu janji Anies.
Tapi bisakah janji politik setop reklamasi itu ditunaikan jika pemerintah pusat, Presiden Jokowi bilang lanjutkan reklamasi? Apa memang iya, pemprov DKI bisa membantah kebijakan pemerintah pusat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H