Mencuatnya isu reklamasi yang sebetulnya biasa-biasa saja dan sudah lama bergulir ini, menimbulkan sinisme tersediri kepada para developer. Mereka dipandang miring. Padahal, peran para developer ini sangat besar dalam membangun Indonesia. Khususnya menata pembangunan kota dan kawasan hunian yang pasti tak mampu dibangun sendiri oleh pemerintah.Â
Alih-alih mengharapkan APBN atau APBD maupun BUMN dalam membangun, pemerintah mestinya memperlancar dan memuluskan jalan pihak swasta agar pembangunan di Indonesia kian pesat. Tak bisa dipungkiri, kelemahan pemerintah dalam membangun adalah tanpa masterplan. Pembangunan sporadis tersebut berakibat pada tidak tertatanya kawasan hunian, pendidikan, industri dan perkantoran sehingga menimbulkan banyak dampak negatif. Misalnya konsentrasi aktivitas warga di satu titik mengakibatkan macet.
Sebaliknya, ketika membangun developer selalu mengacu pada kajian mendalam bagaimana menbuat penghuninya nyaman. Sangat jarang misalnya developer dengan nama besar seperti Agung Podomoro Land membangun suatu kawasan seadanya, asal bangun sana sini. Faktanya, di setiap kawasan hunian yang mereka kembangkan, fasilitas publik yang memungkinkan masyarakat beraktivitas secara efektif dan efisien dipenuni. Sisi keindahan kawasan pun pasti perhatikan. Profesionalitas yang berkonsekuensi bagi kesinambungan bisnis mereka itu, menjadi alasan mengapa developer sangat produktif membangun kompleks yang ikonik dan berkelas. Ya, terlepas besaran harga yang harus ditebus untuk menjadi penghuni kawasan tersebut. I think, it's make sense lah ya.
Saya sendiri, mengimpikan suatu hari nanti bersama suami dan anak-anak tinggal di kawasan super blok terpadu. Yang mana ketika ingin beraktivitas tak harus berkutat dengan kemaceta terlebih dahulu. Nah, terkait ini, saya termasuk menikmati iklan-iklan properti yang berseliweran di televisi. Suka membayangkan, suatu saat bakal punya rumah di kawasan tersebut. Afirmasi positif. Ok, kembali ke topik.
Karena itu, keterlibatan developer dalam proyek reklamasi patut di syukuri. Sebab mereka dipastikan menghasilkan kawasan yang tertata dan tidak dibangun sporadis. Selain itu, para developer ini juga membuka banyak lapangan kerja baik secara kangsung maupun secara tidak langsung. Seperti diungkapkan Guru Besar Kelautan IPB dan bekas Menteri Perikanan dan Kelautan, Rokhmin Dahuri, mengandalkan APBN tentu tidak masuk akal untuk menggerakkan perekonomian.Â
Kekuatan APBN hanya 15% dalam memacu roda perekonomian. Karena itu, dibutuhkan keterlibatan swasta. Artinya, pemerintah harus memberikan kepastian hukum dan menjamin iklim usaha, agar swasta bisa berimprovisasi.Â
Diketahui, dalam proyek reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta, ada 9 developer yang terlibat. Termasuk 1 BUMN dan Pemprov DKI. Yang memperoleh porsi paling besar yaitu PT. Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group dengan porsi 1.331 Ha.Â
Presiden Jokowi sendiri telah memutuskan bahwa proyek reklamasi 17 pulau tersebut, akan dibuat terintegrasi dengan Proyek Garuda atau great sea wall. "Presiden telah memberikan arahan sekaligus meminta Bappenas selama moratorium 6 bulan ini untuk menyelesaikan planning besarnya antara Garuda Proyek tadi, atau NCICD dengan terintegrasinya reklamasi yang 17 pulau," kata Pramono menirukan Presiden Jokowi dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta (27/4).
Selain Jokowi, tentu banyak kalangan yang setuju dengan program reklamasi yang digagas pemerintah, dan siap menjadi garda terdepan dalam pelaksanaannya. Diantaranya pihak pengembang, dan kalangan masyarakat perkotaan. Dengan memperhatikan prosedur standar yang ditetapkan pemerintah, para pengembang menjadi ujung tombak pembangunan pesisir pantai maupun pulau-pulau buatan. Di atasnya bisa dibangun kawasan hunian baru bagi penduduk, pusat-pusat-pusat industri, sentra pelabuhan dan bandar udara, hingga destinasi objek wisata bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Keberadaan kawasan hunian baru menjadi kabar baik bagi penduduk perkotaan yang mengalami ancaman kekurangan lahan akibat penyempitan daratan yang sudah padat dengan beraneka macam bangunan. Hunian di atas pulau-pulau buatan akan membuat penduduknya hidup tentram karena bisa terlepas dari ancaman penggusuran lahan yang sudah kerap kali terjadi di kota-kota besar, sebut saja misalnya Jakarta, Surabaya, maupun Bali.
Dengan berpindah ke hunian di pulau buatan, setidaknya para penduduk perkotaan tidak perlu melepaskan rutinitas hariannya di kota besar seperti berkantor, menjadi pegawai, ataupun pengusaha. Ditinjau dari living cost maupun ongkos transportasi pun, tinggal di kawasan pulau buatan pesisir pantai yang dekat dengan kawasan perkotaan lebih ringan daripada harus memulai kembali dari nol di pulau-pulau terpencil. Oleh karena itulah, keberadaan reklamasi didukung oleh penduduk perkotaan.
Bagi para pelaku industri pun demikian. Penambahan luas daratan hasil reklamasi dan difungsikan sebagai pelabuhan ataupun bandara bisa menunjang lancarnya mobilitas ekspor dan impor suatu produk hasil industri. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa para pelaku industri, maupun pabrik-pabrik cenderung menyukai wilayah-wilayah yang dekat dengan pusat bisnisnya sebab bisa menekan pengeluaran biaya angkut barang hingga 60%. Keberadaan para pelaku industri sekaligus investor ini tentu di pihak lain sangat menguntungkan pemerintah saat ini yang memang tengah berupaya mengundang masuk investor-investor baru yang berkenan menanamkan modalnya di Indonesia.
Keberadaan pulau baru di lepas pantai hasil reklamasi dapat dimaksimalkan sebagai objek wisata baru bagi masyarakat. Dan ini menjadi daya tarik sendiri untuk menambah pendapatan asli daerah ataupun pemasukan bagi pengembang yang memiliki hak guna lahan.
Bagi para pelancong, keberadaan hunian yang elok disertai objek wisata baru menjadi momentum penyegaran diri di tengah padatnya ibu kota dan segala problematikanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H