Mohon tunggu...
Eka Saripudin
Eka Saripudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

It's New Me... menulis, menulis dan menulis walau masih Newbie. my lovely place: http://yayrahmah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Percobaan Jarimah

5 Januari 2013   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:29 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

d. Pendirian Hukum Positip
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (wetboek van strafrecht) (S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t. dg. UU No. 1/1946). Pada Bab ke IV tentang percobaan pasal 53:
(1) Percobaan untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
(3) Bila kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst., 1845, 3024 , 3515, 3522.)
Pasal 54.
Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 60; Inv.Sw. 46.).
Dengan demikian pendirian hukum positif sama dengan syara’ tentang tidak adanya hukuman pada fase-fase pemikiran perencanaan dan persiapan, dan pembatasan hukuman pada fase pelaksanaan semata-mata. Akan tetapi di kalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
Menurut Aliran Obyektif (objective leer), saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan material yang membentuk sesuatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan saja, maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak masuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan. Dengan perkataan lain, aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.
Menurut Aliran Subyektif (subjectieve leer), untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pembuat telah memulai suatu pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada perbuatan jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, aliran tersebut lebih menekankan kepada subyek, atau niatan pembuat.
Kedua aliran tersebut terlalu menyebelah (eenzijdig), sedang seharusnya kepidaan, tidak dicukupkan dengan segi dari pembuat atau dari segi perbuatannya saja, melainkan harus memperhatikan kedua segi tersebut yakni perbuatan dan pembuat.
Perbandingan dengan syari’at Islam, ternyata pendirian syari’at Islam dapat menampung kedua aliran tersebut bersama-sama. Perbuatan yang bisa dihukum menurut aliran subjectif bisa dihukum pula menurut syari’at Islam. Akan tetapi syari’at Islam menambahkan syaratnya, yaitu apabila perbuatan yang dilakukan oleh pembuat bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan maksiat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Sedang menurut aliran subjetif perbuatan yang dimulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materialnya jarimah.
Sebagai contoh ialah orang yang masuk suatu rumah dengan maksud untuk melakukan perbuatan zina dengan orang (wanita) yang ada didalamnya, dan perbuatan yang diniatkannya itu tidak terjadi, karena sesuatu sebab, ada orang lain umpamanya. Menurut aliran obyektif, perbuatan tersebut tidak dapat dihukum, sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan. Menurut aliran subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena sudah cukup menunjukkan teguhnya maksud yang ada pada dirinya.menurut syari’at Islam, juga dapat dihukum sebab peraturan itu sendiri merupakan maksiat (perbuatan salah).
Pendirian syari’at Islam mirip dengan yang hidup dikalangan para sarjana hukum positif. Vos misalnya, menganggap aliran subyektif lebih benar dari pada aliran obyektif, akan tetapi harus diperbaiki dengan rumus berikut: pembuat baru dapat dihukum, jika perbuatannya berlawanan dengan hukum. Dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak dibolehkan (oleh masyarakat atau hukum) berhubungan dengan kepentingan hukum yang dikenai oleh jarimah tersebut.
Sistem hukum pidana RPA mengambil teori subyektif, demikian pula keputusan-keputusan mahakamah kasasinya.

3. HUKUM “PERCOBAAN”

Menurut aturan syari’at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan tersebut berdasar pada hadits Nabi SAW.,
ﻣﻥﺑﻠﻎ ﺤﺩﺍ ﻔﻰ ﻏﻳﺮﺣﺩ ﻓﻬﻭﻣﻥ ﺍﻟﻣﻌﺘﺩﻳﻥ
Artinya: “Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka ia termasuk orang yang menyeleweng”.

Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas dan qisas termasuk juga hudud, karena hukuman tersebut sudah ditentukan pula jumlahnya. Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukum yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu jilid dan rajam. Dengan demikian sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan tesebut.
Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang telah selesai, maka akan mendorong pembuat untuk menyelesaikan jarimah tersebut.
Pada hukum positif sendiri kita dapati sistem pembedaan dan persamaan tersebut meskipun berbeda cara penerapannya. Pada KUHP Indonesia disebutkan bahwa hukuman percobaan melakukan suatu kejahatan diancam dengan maksimum hukuman pokok untuk kejahatan, dengan dikurangi satu pertiganya.

4. TIDAK SELESAINYA PERCOBAAN

Seseorang yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya ia dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan karena ia bertobat dan menyesal serta kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu diluar tobat dan penyesalan diri, misalnya karena kekurangan alat-alat atau khawatir terlihat oleh orang lain, atau hendak mengajak temannya terlebih dahulu.
Kalau tidak selesai suatu jarimah dikarenakan terpaksa dan bukan karena bertobat, maka pembuat wajib mempertanggungjawabakan perbuatannya itu. misalnya terpaksa tertangkap atau terkena sesuatu kecelakaan yang menghalang-halangi berlangsungnya jarimah, maka keadaan tersebut tidak merubah berlangsungnya pertanggung jawaban pembuat. Selama perbuatan yang dilakukannya itu termasuk kedalam kategori maksiat.

a. Tidak Selesai Karena Taubat
perbuatan jarimah yang diurungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah hirabah (pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hirabah maka pembuat tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya. Hal ini sesuai dengna firman Allah surat al maidah ayat 34: yang pada akhir ayat itu berbunyi “kecuali orang-orang yang tobat sebelum kamu dapat menangkap mereka. Maka ketahuilah bahwasannya Allah adalah Zat yang banyak memberi ampun dan kasih sayang .”
Kalau para Fuqaha sudah sepakat tentang hapusnya hukuman atas jarimah hirabah, karena tobat dan penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka masih memperselisihkan terhadap pengaruh taubat dan penyesalan itu tersebut pada jarimah selain hirabah.
 Pendapat pertama, dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, yang menyatakan bahwa tobat bisa menghapuskan hukuman. Adapun alasan yang dikemukakan adalah bahwa Qur’an menyatakan hapuslah hukuman hirabah karena tobat, sedang hirabah jarimah yang paling berbahaya.
Kalau tobat dapat menghapuskan hukuman jarimah, maka lebih-lebih lagi untuk jarimah-jarimah lainnya. Untuk hapusnya hukuman tersebut diatas para Fuqaha memberi syarat, yaitu bahwa jarimah yang termaksud ialah yang menyinggung hak Allah, artinya jarimah yang melanggar hak masyarakat seperti perzinahan, minum-minuman keras dan bukan jarimah yang menyinggung hak perorangan seperti permbunuhan dan penganiayaan.
Menurut sebagian Fuqaha masih ada satu syarat lagi yaitu dibarenginya tobat (penyesalan) dengan perilaku yang baik dan syarat ini berarti menghendaki berlalunya sesuatu masa tertentu, untuk mengetahui ketulusan dari taubatnya itu. Tapi menurut Fuqaha lain hal ini tidak perlu karena yang cukup dengan tobat.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka hukuman hapus dari orang yang mengurungkan perbuatan jarimahnya karena tobat, apabila jarimahnya berhubungan dengan hak masyarakat. Untuk jarimah-jarimah yang mengenai hak-hak perorangan, meskipun diurungkan karena bertobat, namun tidak menyebabkan dihapusnya hukuman.
 Pendapat kedua, dikemukakan oleh imam Abu Hanifah, serta beberapa Fuqaha dikalangan Syafi’i dan Ahmad. Menurut mereka tobat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah saja yang sudah ada ketentuannya. Pada dasarnya tobat tidak bisa meghapuskan hukuman karena kedudukan hukuman ialah kifarat maksiat (penebus kesalahan)
Menurut para Fuqaha ini jarimah hirabah tidak ada sedikitpun kemiripan dengan jarimah-jarimah yang lain.
 Pendapat ketiga, dikemukakan oleh Ibn Taimyah beserta para muridnya, yaitu Ibn Qayyim dan kedua-duanya termasuk mazhab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman dapat membersihkan maksiat, dan tobat dapat menghapuskan hukuman jarimah-jarimah yang brhubungan dengan hak Tuhan, kecuali pembuat sendiri yang menghendaki hukuman untuk penyucian dirinya. Dalam keadaan menginginkan hukuman, maka ia bisa dijatuhi hukuman meskipun sudah bertobat.

b. Tidak selesai karena taubat pada hukum positif
Pada umumnya hukum positif berpendirian bahwa tobat dan penyesalan pembuat tidak dapat menghapus hukuman. Pendirian tersebut sama dengan pendapat imam-imam lain yang sependapat.
Akan tetapi beberapa macam hukum positif tidak menjatuhkan hukuman, apabila pembuat dengan kehendak sendiri tidak menyempurnakan jarimah yang telah diperbuatnya, diantaranya, ialah hukum pidana RPA prancis. Pendirian ini sama dengan sebagian Fuqaha yang mengatakan bahwa tobat dan penyesalan bisa mengahapuskan hukuman. Sistem hukum pidana lain, seperti inggris dan India, tidak membebaskan pembuat dari pertanggungjawaban, meskipun ia dengan sukarela menurungkan perbuatannya.

5. pencobaan Melakukan Jarimah Mustahil

Dikalangan Fuqaha nampak adanya pembahasan tetang percobaan melakukan “jarimah mustahil” yang terkenal dikalangan para sarjana-sarjana hukum positif dengan nama ”ondeug delijk poging” (percobaan tak terkena = ﺍﻠﺸﺭﻮﻉ ﻓﻰﺍﻟﺟﺮﻳﻣﺔ ﺍﻟﻣﺳﺘﺣﻳﻠﺔ, asy-syuru’ fi al jarimah al mustahil), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai melakukannya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal. Atau boleh jadi karena barang atau perkara (voorwerp) yang menjadi objek pembuatnya tidak ada, seperti orang menembak orang lain dengan maksud untuk membunuhnya, sedang sebenarnya orang tersebut telah meninggal sebelumnya.
Biasanya dibedakan antara “percobaan-tak-terkena-absolut” dengan “percobaan-tak-terkena-relatif” (absolut ondeug delijk poging dengan relatief ondeug delijk poging). Apabila ada seseorang yang hendak meracuni orang lain bukan dengan bahan racun atau dengan bahan racun tetapi sedikit sekali, sehingga tidak menyebabkan matinya korban. Atau pengguran kandungan dengan sengaja terhadap seorang wanita yang sebebenarnya tidak hamil. Dalam kedua contoh tersebut, perbuatan-perbuatan itu disebut, “percobaan-tak-terkena-absolut”. Akan tetapi pada contoh pertama disebut absolut (mustahil) dari alat yang dipakai (midded) maka pada contoh kedua adalah absolut (mustahil) dari segi perkara yang menjadi objek (voorwerp).
Apabila pada peracun sebenarnya racun yang diberikan sudah cukup mencapai dosisnya, akan tetapi orang yang diracun kuat badannya sedemikian rupa, sehingga ia tidak meninggal, maka perbuatan tersebut disebut “percobaan-tak-terkena-relatif” dari segi alat. Atau seseorang yang mencoba meledakkan gudang alat senjata dengan bom pembakar; akan tetapi kebetulan alat senjata tersebut sedang basah. Perbuatan ini disebut “perbuatan-tak-terkena-relatif” dari segi perkara yang menjadi objek jarimah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun