Mohon tunggu...
Budi Waluyo
Budi Waluyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An IFPer & a Fulbrighter | An alumnus of Unib & University of Manchester, UK | A PhD student at Lehigh University, Penn, USA. Blog: sdsafadg.wordpress.com. Twitter @01_budi. PIN BBM: 51410A7E

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Filosofi Kopi dan Gula

11 April 2015   09:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428718239749058665

[caption id="attachment_377880" align="aligncenter" width="600" caption="Duduk di sisi The Capitol Reflecting Pool, Washington, DC, USA"][/caption]

Ibu saya dulu memiliki usaha kecil berjualan kue yang dititip di sekolah dan warung. Dari mulai senja hari sampai malam beliau mulai mempersiapkan bahan, kemudian di saat dini hari sekitar jam tiga beliau bangun mulai memasak bahan yang sudah siap menjadi berbagai macam kue, seperti kue dadar, kue lapis, martabak, dan lain sebagainya. Sebagai anak tertua dan nomor dua, saya dan adik perempuan mendapat tugas mengantarkan dan mengambil kue di pagi dan sore hari. Biasanya, selepas subuh, saya mulai mengeluarkan sepeda hitam kecil setinggi kurang lebih dari satu meter, mengikatkan tempat kue selebar tiga puluh sentimeter bersama dengan kue di dalamnya, lalu mulai mengayuh sepeda menuju beberapa sekolah dan warung satu per satu untuk menitipkan kue-kue ini.

Mengantar kue di waktu subuh tidak terlalu sulit, karena kebanyakan orang masih tidur dan jalanan masih sepi. Paling diuji mental saja ketika melewati jalanan yang sepi, gelap, dengan pepohonan besar yang berjajar. Terkadang, saya mengayuh sepeda secepat mungkin sambil mata melihat lurus ke depan, dalam hati berdo’a semoga tidak melihat sesuatu yang aneh. Dilain waktu, saya harus sedikit berteriak ‘kegirangan’ sekedar mengusir rasa takut. Pernah, satu pagi, sedang kuatnya mengayuh sepeda, suasana sepi dan gelap, di depan terlihat satu bentuk makhluk yang sedang duduk di atas sebuah jalanan yang mendaki. Rasanya, dada langsung berdetak kencang cepat, mulut terasa membeku, mau berhenti tidak bisa karena sepeda sudah dikayuh kuat sekali agar bisa mendaki jalanan yang di depan ini. Pasrah, semakin mendekat sepeda ke arah makhluk itu, semakin kencang jantung berdetak. Setelah dekat, ternyata itu hanya seorang bapak yang sedang duduk di tengah-tengah jalan sambil merengggangkan otot-ototnya, olahraga pagi. Begitulah, setiap subuh, rasa kantuk saya selalu hilang seketika, karena selalu terbayang akan bertemu hal-hal aneh di jalan nanti.

Berbeda dengan saat mengambil kue di siang hari, saya selalu ditemani oleh seorang teman yang selalu siap pergi, bahkan dia mau menunggu saya pulang sekolah. Dengan dia, saya cukup mengeluarkan sepeda saja, dia sudah tahu kalau saya akan berangkat mengambil kue dari sekolah dan warung. Dia akan segera melompat ke belakang sepeda kecil saya, dan mulailah kami bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan dibawah teriknya sinar matahari. Saya selalu kebagian sebagai pengayuh dan dia menjadi penumpang, tapi dengan posisi yang berbeda-beda, mulai dari berdiri di belakang sepeda, duduk di depan, sampai duduk di stang sepeda. Panasnya sinar matahari tidak pernah menyurutkan niat dia untuk tidak ikut dengan saya. Namun, sayangnya dia punya harapan yang berbeda dengan saya. Bila saya berharap kue yang akan diambil habis tanpa sisa, sedangkan dia berdo’a semoga ada kue yang tersisa. Iya, dia memang saya suka sekali dengan kue buatan ibu saya dan ikut dengan saya mengambil kue merupakan cara untuk dapat menikmati sisa jualan kue dengan gratis.

Karena terlalu sering berdua mengambil kue, seorang ibu di sebuah sekolah menggelari kami dengan sebutan “Kopi dan Gula”. “Nah, kopi gulo sudah datang ko,” ujarnya dengan bahasa Bengkulu setiap kali melihat kami tiba. Memang, kondisi kulit kami terlihat kontras sekali, apalagi dibawah teriknya matahari. Saya yang memang sudah keturunan berkulit coklat, terlihat mengkilat sekali, bak diolesi minyak manis, dan tentu saja bertambah hitam, sedangkan teman saya kebalikannya, kulitnya putih bersih dan terpaan sinar matahari tidak berpengaruh sama sekali. Mungkin, dari ujung jalan, setiap orang sudah akan melihat kami berjalan seolah bagaikan kertas hitam dan putih atau gula dan kopi. Waktu kecil saya tidak terlalu peduli dengan menjaga keputihan kulit, yang terpenting saya punya teman yang bisa menemani setiap siang dan sore hari mengambil kue dagangan ibu.

Beberapa tahun kemudian, saya pindah rumah dan ibu tidak lagi berjualan kue. Sejak saat itu, saya dan teman ini tidak terlalu punya banyak waktu bermain bersama. Entahlah, apakah saya harus bersyukur atau harus bersedih. Di lingkungan sebelumnya, teman-teman saya semuanya bisa dibilang nakal, dan saya termasuk diantaranya, tapi nakal yang diam-diam. Setelah pindah, suasana hidup saya berubah drastis, tidak punya banyak teman bermain di sekitaran rumah dan lebih sibuk pada pelajaran di sekolah. Tiga sampai enam tahun berlalu, saya terus melanjutkan sekolah ke jenjang SMP dan SMA yang cukup populer. Dari ibu saya dengar kalau teman ‘Gula’ saya tidak naik kelas, begitu juga dengan beberapa teman lainnya. Mereka semua teman dekat saya dan banyak memori indah yang kami ukir bersama, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak terlalu berhasil di bidang pendidikan, ada yang kemudian menikah, yang lainnya putus di tengah jalan.

Sebenarnya, diantara teman-teman sebelumnya, mungkin hanya saya yang berasal dari keluarga yang sederhana. Berbicara soal uang dan perkejaan orang tua, secara logika orang tua mereka bisa dengan mudah menyekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan sampai kuliah. Kenyataannya, malah berbalik, saya yang secara logika harus berjuang susah payah bergantung dengan beasiswa agar bisa menyelesaikan pendidikan dasar, SMP, dan SMA, malah bisa melanjutkan kuliah ke jenjang S1, lalu mendapatkan beasiswa S2 studi ke Inggris dan S3 ke Amerika. Walaupun sudah jarang bertemu dengan ‘Gula’ dan teman lainnya, dalam kesendirian saat belajar atau ketika mendapatkan berbagai kesempatan menimba ilmu di negeri orang dan bertemu dengan orang-orang ‘hebat’, ingatan masa kecil ini senantiasa muncul, sampai berharap dapat terulang kembali.

Kopi dan gula adalah sebutan yang diberikan pada saya dan teman yang senantiasa menemani perjalanan saya dalam mengambil kue dagangan ibu dari sekolah dan warung. Namun, ada hikmah lain yang bisa diambil sebagai pelajaran. Kopi dan gula jelas sekali berbeda rasa dan bentuknya; yang satu pahit dan cair sedangkan yang satunya lagi manis dan padat. Meskipun demikian, semua perbedaan yang mereka miliki bukan alasan untuk tidak bisa menyatu dan memberikan sesuatu yang berarti. Bukan rahasia lagi bila kopi dan gula selalu menjadi teman pagi sebagian besar orang-orang di dunia. Beberapa perusahaan yang khusus menyajikan kopi bahkan mampu menembus batas negara. Kopi dan gula mewakili perbedaan yang bisa menyatu, menjalin harmoni untuk mewujudkan satu hasil yang diharapkan.

Dalam konteks hidup, kopi dan gula bisa berarti pahit dan manis, susah dan senang, menderita dan bahagia, gagal dan sukses. Terkadang, keindahan hidup itu hilang ketika kita merasa sedih, sulit, dan kecewa. Sebaliknya, hidup terasa indah disaat kita merasa senang, mudah, dan dihargai, sesederhana itu. Sayangnya, Tuhan seringkali menempatkan kita di tempat sebaliknya yang berlawanan dengan harapan agar kita bisa memaksimalkan potensi diri. Teman saya ‘Gula” mengajari bahwa bila menginginkan sesuatu, harus pandai mencari cara bagaimana bisa mendapatkannya dengan cara lain. Berdiam diri serta menadahkan tangan bukan cara yang terbaik. Dia mau berpanas ria dan bermandi keringat bersepeda dengan saya, walaupun sering kali kue dagangan ibu saya habis tak bersisa. Di saat itu, dia hanya bisa tersenyum dan menghibur diri,” Besok lagi kito pai, Bud,” ujarnya.

Berbicara tentang kegagalan, sewaktu mengikuti tes masuk perguruan tinggi, saya gagal lulus di universitas pilihan pertama dan harus mau kuliah di universitas pilihan kedua. Sedih sudah pasti, tapi hidup harus tetap berjalan. Saat menjalani kuliah S1, saya mendapatkan kesempatan mengunjungi universitas yang dulu menjadi pilihan pertama. Mengunjungi universitas ini dan bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa di dalamnya beserta fasilitas belajar lainnya membuat saya terkesima dan merasa rendah diri. Saya kemudian membangun mimpi lainnya untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, karena di kampus dalam negeri saja saya gagal lulus di pilihan pertama. Untungnya, Tuhan tidak menentukan jalan hidup seseorang berdasarkan logika manusia.

Alhasil, saya mendapatkan beasiswa studi S2 dan S3 secara beruntun ke Inggris dan Amerika. Tahu apa yang hal membuat saya terkejut selanjutnya? Dahulu saya selalu merasa rendah diri ketika bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari kampus-kampus besar di Sumatera, sekarang malah mahasiswa-mahasiswa kampus besar nasional konsultasi dan minta pendapat saya tentang bagaimana bisa meraih beasiswa studi ke luar negeri. Saya rasa begitulah cara Tuhan mencampurkan ‘Kopi’ dan ‘Gula” dalam kehidupan kita. Bila kita hanya fokus pada Kopi saja, dengan hal-hal yang pahit dan mengeluh, tanpa berusaha menemukan ‘Gula’, atau sebaliknya, selalu berharap hal yang manis saja tanpa mau merasakan pahitnya Kopi, maka kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya minum Kopi yang dicampur dengan Gula buatan Tuhan.

– – – – – – – – – – –

Budi Waluyo I BBM 7DCB0622 I Line ID: Sdsafadg I Twitter @01_budi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun