Mohon tunggu...
Budi Waluyo
Budi Waluyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An IFPer & a Fulbrighter | An alumnus of Unib & University of Manchester, UK | A PhD student at Lehigh University, Penn, USA. Blog: sdsafadg.wordpress.com. Twitter @01_budi. PIN BBM: 51410A7E

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hangat Rintik Musim Semi

4 April 2015   07:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_407508" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Setelah hampir empat bulan diselimuti musim dingin, temperatur di Bethlehem, Pennsylvania, Amerika sedikit demi sedikit beranjak dari minus di bawah nol derajat hingga melewati 10′ C, situasi yang sudah dinanti-nantikan, terutama oleh mahasiswa internasional yang sedang menempuh studi di Negeri Paman Sam ini. Sempat dua hari yang lalu, di senja hari salju turun dengan deras, saya dan seorang teman dari Prancis berbincang membicarakan cuaca yang tak kunjung lepas dari salju walaupun musim dingin sudah resmi masuk dua minggu yang lalu. Ternyata, tidak hanya kami yang merasa bosan dengan cuaca dingin, sesampai di kelas, Professor yang mengajar pun memberi tahu perasaannya yang sudah tak sanggup melewati cuaca dingin penuh salju lagi.

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Lapangan Broughal Middle School di Musim Dingin lalu – Tempat Bermain Bola"]

1428106946627021681
1428106946627021681
[/caption]

Hari ini, langit tidak begitu cerah, tapi temperatur melonjak naik 18′ C. Rasanya mau langsung syukuran dapat temperatur sehangat ini. Teman langsung mengajak bermain bola di sebuah lapangan sekolah yang di musim dingin lalu tak ada celah satu rumput pun bisa dilihat, tertutup salju. Beranjak sore, hujan rintik-rintik turun, tapi tidak terasa dingin, padahal bermain dengan tanpa sehelai baju melekat di badan, mungkin sudah terlatih selama musim dingin. Bahagia rasanya bisa kembali bermain bola dengan mahasiswa-mahasiswa internasional dan Amerika lainnya, pertama kali setelah musim dingin.

[caption id="attachment_376576" align="aligncenter" width="630" caption="Suasana Kampus musim dingin lalu"]

14281070281735163116
14281070281735163116
[/caption]

Sebelumnya, saya menghabiskan waktu sehabis Jum’at duduk di perpustakaan sambil diskusi dengan seorang teman asal Turki. Dia teman sekelas PhD, satu tahun di atas saya. Ketika pertama kali datang ke Amerika, studi Masternya dibiayai oleh beasiswa Fulbright. Kemudian, tanpa jeda, dia melanjutkan ke jenjang PhD. Pengalaman studi dari S1 sampai S3-nya dilalui tanpa jedah dan tanpa pengalaman kerja. Diskusi kami asik membahas bagaimana perjuangan dia dalam menjalani studi PhD selepas dari beasiswa Fulbright. Untuk bidang pendidikan, funding sangatlah terbatas, berbeda dengan jurusan teknik yang banyak memiliki proyek-proyek besar.

Tahun pertama PhD, dia mendapatkan satu beasiswa dari kampus untuk komunitas minoritas. Beasiswa ini memberikannya uang bulanan, meskipun lebih sedikit dibandingkan beasiswa yang sebelumnya didapatkan, sedangkan untuk biaya mata kuliah, kampus membiayainya. Setidaknya dia tidak perlu khawatir menjalani satu tahun itu. Memasuki tahun kedua, kekhawatiran yang sama datang lagi, akankah dia mendapatkan funding lagi untuk satu tahun ke depan? Bagaimana kalau tidak dapat, pupuslah harapannya melanjutkan PhD. Di musim panas akhir semester 2 dia pulang ke Turki, lalu kembali lagi ke Amerika dengan penuh kebingungan dan tanpa gambaran bagaimana dia akan menjalani hidup satu tahun ke depan. Untuk biaya mata kuliah, tidak perlu dikhawatirkan karena fakultas sudah menjaminnya. Di tengah kebingungannya, dia tetap berusaha mencari funding, akhirnya dapat dari Professor pembimbingnya sendiri, tapi uang bulanan yang didapat sedikit sekali untuk hidup tiap bulan, bayar akomodasi, asuransi dan sebagainya.

Setelah beberapa bulan menjalani PhD tahun kedua, dia mendapatkan pekerjaan di kampus. Hatinya pun merasa lega. Dia hanya butuh menghabiskan mata kuliah selama 2 tahun ini. Di akhir semester 4 ini, dia akan pulang dan fokus mengerjakan disertasi dari Turki. Dengan begitu, dia tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal funding agar bisa bertahan hidup di negeri Liberti ini. Kuliah PhD di Amerika sedikit berbeda dengan di negara lain seperti di Inggris atau Belanda. Di sini, mahasiswa PhD diharuskan mengambil mata kuliah sebanyak 48 SKS, di mana satu semester 3 mata kuliah, artinya kalau setiap semester diambil 3 mata kuliah dengan bobot masing-masing 3 kredit, menyelesaikan 48 SKS bisa memakan waktu 3 tahun. Dia bisa menyelesaikan mata kuliah dalam waktu 2 tahun karena beberapa mata kuliah S2 lalu ada yang sama, dan di musim panas dia mengambil mata kuliah secara online.

Bagi mahasiswa PhD yang hanya menjalani kuliah mengikuti jadwal setiap semester, 3 tahun adalah masa menyelesaikan mata kuliah. Setelah itu, mahasiswa baru bebas mengerjakan disertasi penelitian. Sayangnya, kebanyakan beasiswa PhD yang ada hanya membiayai selama 3 tahun, seperti beasiswa Fulbright yang saya dapatkan sekarang. Ini berarti kalau saya tidak pandai memanfaatkan musim panas untuk mengambil mata kuliah lainnya, alamat bisa menemui kesulitan selepas dari beasiswa Fulbright. Pulang ke Indonesia sambil menyelesaikan disertai rasanya bukan pilihan yang mudah karena akan terlalu banyak situasi yang membuat diri tidak fokus. Tidak sedikit mahasiswa yang pulang ke kampung halaman sambil mengerjakan penelitian tugas akhir, malah tidak selesai-selesai dan menghabiskan waktu yang lama.

Bisa studi di luar negeri dengan beasiswa memang sangat menguntungkan. Tugas utama kita cuma belajar, that’s it! Setiap bulan uang masuk ke rekening tabungan. Tinggal pandai-pandai membagi antara untuk biaya akomodasi, makan, beli buku, sampai jalan-jalan. Beasiswa sponsor luar negeri biasanya selalu memberikan lebih kalau dikonversi ke rupiah. Namun, saat memutuskan untuk kuliah ke luar negeri dengan tanpa beasiswa, kemudian berusaha mencari funding sambil kuliah, juga tidak jelek. Hanya saja perlu sedikit keberanian dan kepercayaan diri yang lebih kalau bakal mendapatkan funding. Perjuangan itu selalu ada mau studi dengan beasiswa ataupun tidak. Satu hal yang membuat orang-orang ini berbeda, yaitu karakter. Mereka sadar kalau mau bagaimanapun pilihan yang diambil, akan ada konsekuensi yang harus diambil. Maka, mereka memutuskan untuk lanjut mengambil jalan yang diinginkan, walau harus berjuang lebih dari sekedar tidak tidur siang dan malam. If you don’t risk your life, you can’t create a future – Luffy.

Tentang perjuangan, saya jadi teringat pengalaman seorang profesor asal Amerika yang mengobservasi proses pembelajaran di kelas di Negeri Sakura, Jepang. Di satu mata pelajaran Matematika, si guru menjelaskan satu konsep bangunan. Lalu, si guru menginstruksikan siswa untuk menggambarnya di buku masing-masing. Selang beberapa menit, si guru memanggil seorang murid untuk maju dan memintanya menggambarkan bangunan itu. Murid ini bukanlah yang terbaik gambarnya, dan si guru tahu itu. Tapi, dia tidak memanggil siswa yang pandai untuk menggambar bangunan itu di papan tulis.

Dengan perlahan si siswa menggoreskan garis-garis di papan tulis. Setelah gambar selesai, si guru bertanya kepada siawa lain apakah seperti itu gambar yang seharusnya, dengan kompak siswa lain mengatakan tidak. Siswa itu menghapus gambarnya, kemudian mulai menggambar lagi. Selesai menggambar, guru kembali bertanya pada siswa lainnya dan jawabannya tidak. Sampai beberapa kali mencoba, akhirnya siswa itu berhasil membuat gambar bangunan itu dan seluruh siswa di kelas bersorak riang. Suasana pembelajaran seperti ini sulit ditemukan di kelas Amerika. Ada perbedaan antara memilih murid yang paling pandai untuk memberikan contoh pada siswa lain dengan memilih murid yang tidak pandai untuk memberikan motivasi dan semangat belajar.

Saya mengibaratkan situasi pembelajaran di atas seperti situasi antara kita dan Tuhan. Terkadang, kita banyak mengeluh dengan situasi diri yang tidak terlalu pandai dan banyak kekurangan, terutama saat berjuang meraih beasiswa studi ke luar negeri atau untuk bisa studi di luar negeri dengan mencari funding sendiri. Padahal, mungkin Tuhan sedang mendidik kita layaknya bagaikan si siswa yang tidak pandai yang ditunjuk guru tadi. Dia ingin kita terus mencoba dan berjuang, tanpa putus asa. Bila kita berhasil, orang-orang di sekitar akan terinspirasi dan menjadikan kita sebagai role model tentang sebuah perjuangan. Intelligence bukanlah jaminan atas kesuksesan, melainkan kerja keras, ketekunan, dan fokus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun