“Kau dulu lahir dililit tali pusek. Kalo idak ditahan kek jari telunjuk bidan, mungkin idak bisa hidup kau. Kato orang itu artinyo kau bakal banyak disukoi orang. Terus, kau lahir di Sabtu Pahing. Kalo kecek orang Jawa, orang yang lahir waktu itu, kalo baik, baik nian tapi kalo jahat, jahat nian…”
Kalimat diatas masih selalu kuingat sampai sekarang aku sudah di negeri orang. Ibuku menyampaikan kalimat ini ketika aku masih kecil. Terlepas dari benar atau tidaknya apa yang dimaksud ibu, sungguh kalimat ini memberiku kekuatan untuk senantiasa memelihara mimpi-mimpi yang kubangun dalam hidup ini.
Keluarga besarku bukanlah keluarga yang berpendidikan. Rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar. Ibu tidak ingin kami menjadi seperti mereka. Oleh sebab itu, beliau yang SD saja tidak tamat mendidik kami dengan kerasnya. Sangking kerasnya, hampir tiap malam ikat pingggang hitam hinggap di badanku. Mulai habis Maghrib, lonceng jam belajar sudah dibunyikan. Biasanya ibu akan berkata,”Budi, ado PR dak? Mano, ambik buku kau bawa siko, belajar.” Padahal aku sama seperti anak kecil lainnya yang tidak selalu senang belajar. Apalagi disaat aku tidak bisa menguasai apa yang ibu ajari, seperti hitung-hitungan, hinggaplah sudah ikat pinggang hitam itu ditubuhku. Adikku yang cewek yang waktu itu belum masuk sekolah, terdiam saja melihatku belajar dengan kondisi seperti itu. Mungkin dia sudah mengerti kalau suatu hari nanti dia akan merasakan apa yang dirasakan kakaknya ini.
Saat masuk SMP, Ibu tidak begitu bisa mengajariku lagi karena sudah banyak pelajaran yang tidak dia ketahui. Tetapi, tetap saja malam-malam aku harus belajar. Mungkin lecutan ikat pinggang sudah jarang aku dapatkan disaat itu. Ada rasa senang di hati ini. Namun, aku mulai menyadari bila aku harus sudah bisa belajar sendiri karena sudah tidak ada lagi dirumah yang mampu mengajariku. Beranjak SMA, ketakutan akan jadi apa aku nanti selalu membayangi. Sayangnya, aku tidak punya orang yang bisa dijadikan contoh dirumah dan tidak ada yang bisa ditanyakan tentang perkuliahan, pekerjaan kantoran, dan lain sebagainya.
Akhirnya, aku membiarkan imajinasiku terbang tinggi sampai bermimpi untuk kuliah keluar negeri. Membaca cerita-cerita orang-orang yang telah sukses adalah angin-angin yang menerpa sayap-sayap imajinasiku untuk terus terbang tinggi, tinggi, dan lebih tinggi lagi. Terbang menuju mimpi yang selalu akan dianggap mustahil oleh setiap orang yang pernah bertemu denganku. Disaat diriku lemah digeluti rasa tidak mampu bertahan menopang mimpi itu. Ketika rasa percaya diriku mulai memudar. Aku selalu ingat kata-kata ibu,” Kau dulu lahir dililit tali pusek. Kalo idak ditahan kek jari telunjuk bidan, mungkin idak bisa hidup kau. Kato orang itu artinyo kau bakal banyak disukoi orang. Terus, kau lahir di Sabtu Pahing. Kalo kecek orang Jawa, orang yang lahir waktu itu, kalo baik, baik nian tapi kalo jahat, jahat nian…”
Di bulan April 2009, aku lulus Sarjana. Tiga bulan kemudian, aku melihat sebuah pengumuman beasiswa di gedung Dekanat Universitas Bengkulu. Hatiku langsung berdetak kencang ketika membacanya. Aku merasa inilah kesempatanku untuk mewujudkan mimpi kuliah keluar negeri itu. Aku ceritakan niatku untuk melamar beasiswa tersebut kepada Ibu. Seperti biasa, Ibu selalu berkata,” Cubo ajo dulu. Kalo rezeki pasti dapek. Ibu selalu do’akan kau.” Mendengar kata-kata ini, rasanya beban pikiran yang ada terasa terhapus dibawa aliran air yang mengalir. Lembut tetapi menghilangkan dan menyegarkan.
Proses beasiswa ini cukup lama. Empat tahap proses seleksinya memakan waktu satu tahun. Aku harus terus menjaga kesabaran dan memupuk keyakinanku akan mendapatkan beasiswa ini terus menerus. Beberapa pekerjaan kontrak yang datang terpaksa aku tolak karena khawatir saat sedang dalam kontrak kerja aku mendapatkan beasiswa ini dan jadi tidak bisa berangkat karena itu. Sebagai anak tertua, pengganti sang ayah yang telah tiada. Hal ini membuat kondisi keluargaku semakin sulit. Ibu yang hanya bekerja sebagai pengasuh anak menjadi tumpuan. Walaupun uang yang kudapatkan dari mengajar sebagai freelancer cukup untuk memenuhi kebutuhanku, masih ada adik perempuan dan laki-lakiku yang masih butuh banyak uang untuk sekolah mereka. Oleh sebab itu, tak jarang air mata ini menetes turun disela-sela pipiku siang dan malam. Tetapi, aku sadar, itulah harga dari sebuah mimpi yang harus kubayar. Pilihannya cuma dua, “Pertahankan mimpi ini sampai mati atau Tuhan kirimkan ridha-Nya untukku.”
Pesan lain yang selalu ibu sampaikan adalah shalat. Aku sangat paham bahwa untuk mendapatkan beasiswa s2 ini tidaklah mudah. Bila tanpa kesungguhan, maka aku akan berakhir sama seperti orang-orang lain, hanya mampu menyimpannya didalam angan. Ku lengkapi semua persyaratan yang ada, dan siang malam shalat. Aku pernah membaca sebuah hadits yang mengatakan bahwa bila kita shalat hajat 12 raka’at dengan tiap 2 rakaa’t salam, dimana di rakaa’t pertama membaca ayat kursi dan dirakaa’t kedua surat al-ikhlas sebagai surat pendeknya, dan itu dilakukan selama seminggu berturut-turut, Insya Allah hajat yang diinginkan akan terkabul.
Akupun mengerjakan shalat hajat tersebut. Karena keinginanku ini tinggi, tidak cukup seminggu, aku melakukannya sampai aku mendapatkannya. Aku juga merasa, tidak cukup kalau aku sendiri yang shalat. Maka ibuku ikut membantu shalat hajat juga. Ini menambah keyakinanku karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ridha Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”
Suatu hari, tetanggaku pernah bertanya kepada Ibuku,
”Budi kerjo apo kini?”
“Masih ngajar-ngajar kursus kek les privat tulah.” Jawab ibuku.
“Owh…”
Mungkin merasa sedikit diremehkan, ibuku langsung berkata,
“Tapi kini nyo lagi melamar s2 keluar negeri.”
Tetanggaku itu pun menjawab,
“Anak kau tu idak sadar kek diri. Terlalu tinggi kendaknyo tuh. Idak sadar kek kondisi keluarga sendiri.”
Sesampai dirumah, Ibu menceritakan semuanya. Sungguh, tak bisa kutahan air mata ini untuk keluar menujukkan dirinya, tanpa suara namun menyakitkan. Akupun berjanji dalam hati akan berusaha semaksimal mungkin dari segi usaha dan ibadah.
Satu persatu proses beasiswa International Fellowships Program, Ford Foundation, USA ini ku lewati. Dari mulai seleksi administrasi, esai, TOEFL, sampai wawancara aku jalani. 9333 peserta yang melamar dari seluruh Indonesia satu persatu berguguran. Cobaan demi cobaan yang kuhadapi selama mengikuti beasiwa ini juga tak terasa sudah dilalui.
Tepat di bulan Agustus 2010, HP ku berbunyi. Ada SMS dari dosenku yang juga ikut seleksi beasiswa ini. Dari Bengkulu, hanya kami berdua yang lulus sampai tahap wawancara di Lampung. Waktu itu aku sedang tidur. Kubuka sedikit mataku, kemudian membaca isi SMS tersebut. Setelah membaca pesan tersebut, seketika aku meloncat dari tempat tidur. Isi SMSnya memberitahukan bahwa aku lulus beasiswa ini sebagai satu-satunya wakil dari Bengkulu. Alhamdulillah, tak tertahan lagi, sujud syukur dan air mata kebahagiaan menjadi respon terbaikku. Ibu yang mendengar berita gembira inipun melakukan hal yang sama.
Perjuanganku meraih sebuah mimpi, terbayarkan sudah. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku menyadari kalau aku tidak mungkin meraihnya tanpa dukungan dari Ibu. Mungkin pendidikan Ibu rendah. SD saja tidak tamat. Dia tidak mengerti sama sekali apa itu kuliah dan bagaimana kuliah diluar negeri itu. Tetapi, setiap kata-kata yang yang keluar dari mulutnya melebihi kata-kata dari seorang professor di kampus bagiku. Kata-katanya tidak hanya menjadi pengetahuan bagiku, tetapi juga layaknya bahan bakar yang menggerakkan seluruh tubuhku untuk senantiasa hidup dan berlari mengejar setiap mimpi yang kubangun dalam hidup ini.
Terima kasih Ibu :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H