Matahari mulai surut menarik diri dari bumi, membiarkan kegelapan beringsut masuk perlahan menjamah kehidupan didalamnya. Hawa panas ikut terbawa menghilang entah kemana berganti dingin yang lambat laun akan semakin menusuki pori – pori kulit yang tak berpakaian. Jalanan mulai dipadati para anak manusia berjejalan dijalan dengan wajah lelah, sendu, berharap lekas sampai dirumah; mandi, menikmati setiap tepukan – tepukan air ditubuh seolah dalam pelayanan pijat refleksi seorang tukang urut ternama, kemudian menghempaskan tubuh diatas kasur dua tingkat terasa nyaman saat hempasan dilawan balik oleh dua kasur itu hingga menimbulkan beberapa goyangan – goyangan yang akhirnya merayu mata untuk terpejam dan mulai berlayar menuju alam antah barantah, sungguh nikmat. Jam empat sore adalah waktunya para pekerja untuk menutup sejenak semua urusan yang berhubungan dengan pekerjaan, dan pulang. Namun, bagi Ratna, inilah waktunya untuk mulai bekerja, membuka warung pecel lelenya, mengatur dua steling - rak besar dan kecil yang terbuat dari stainless, mengangkat dan mengatur tiga meja panjang, menyusun kursi – kursi plastik disetiap sisi meja – meja panjang itu, meletakkan gelas – gelas, sambal, dan tisu diatasnya, serta memasang sebuah spanduk dengan lebar satu meter dan panjang dua meter digantung diatas steling - rak stainless besar sampai menjolor kebawah dengan tulisan ‘Pecel Lele Mbak Ratna’.
Selesai menyiapkan semuanya, seperti biasa Ratna mengambil sebuah kursi plastik berwarna merah, mengangkatnya, dan meletakkannya tepat didekat pintu masuk menuju meja dan kursi tempat makan yang telah disiapkannya tadi, bak seorang satpam yang menunggui rumah majikannya. Wajahnya putih penuh dengan bedak menutupi keriput di wajahnya yang mulai kalah melawan usia. Jilbab panjang dan baju langsung dipakainya hari ini, dengan celana jeans sebagai bawahannya, membuat penampilannya nampak sedikit lebih mudah dari seorang yang berusia 40 tahun. Mulutnya tak henti mengucap kalimat ‘Subhanallah… subhanallah… subhanallah..’ sambil mata mengawasi jalan raya dihadapannya, seakan berharap ada yang terpanggil hatinya untuk singgah, kemudian mencicipi dagangannya.
Sebenarnya, Ratna tak punya pilihan lain selain terus mengucap zikir. Malam tadi untuk kesekian kalinya terjadi keanehan diwarungnya, beberapa pelanggan sudah menghentikan kendaraan, melihat itu Ratna merasa gembira bukan kepalang akan ada pelanggan yang masuk, tapi itu tidak terjadi. Pelanggan – pelanggan itu hanya berhenti sebentar, lalu pergi lagi tanpa singgah makan pecel lele di warungnya. Tak ubahnya seperti seorang gadis yang terbuai oleh harapan palsu janji suci yang diucapkan kekasihnya, kecewa, begitulah perasaan Ratna. Matanya agak berkaca – kaca dan hatinya merintih, teganya Tuhan memberikan harapan palsu padanya. Sampai seorang pria dengan pakaian lusuh berlengan panjang mampir diwarungnya. Dia duduk. Matanya mengawasi sekeliling warung Ratna. Dengan sopan Ratna bertanya apa menu yang diinginkan pria itu; pecel lele, ayam bakar, ayam goreng atau bebek. Senyuman dengan gigih putihnya menyembul keluar sedikit serta mata yang sedikit menyipit menimbulkan kesan manis disetiap mata yang memandangnya. Ratna tidak ambil pusing dengan tingkah pria itu yang terlihat aneh mengawasi setiap jengkal tanah didalam warungnya, seperti ada hal yang sedang diperhatikannya.
“Di warung ini ada banyak sekali dedemit…! Disana, didekat bak air itu, ada satu sosok tinggi besar, matanya merah, kulitnya hitam legam, sedang berdiri melihat ke arah sini. Dua sosok wanita kurus berambut panjang ada disamping kiri saya ini. Punggungnya bolong. Matanya bulat besar melotot ke arah saya, seolah ingin saya pergi secepatnya dari warung ini. Itu, tepat disamping kursi tempat ibu duduk tadi, satu sosok bertubuh jangkung berdiri melebarkan tangannya. Satu tangan memegang tiang dan satu lagi memegang rak jualan Ibu ini, seakan tidak menyuruh siapapun untuk masuk ke dalam warung ini,” tanpa ditanya, pria itu menjelaskan apa yang sedang dia lihat disekeliling warung Ratna.
Ratna sempat menelan air liur dan merinding, tapi itu tidak berlangsung lama. Pria ini bukanlah yang pertama kali mengungkapkan sosok – sosok ghaib yang ada di warungnya. Sudah ada dua atau tiga orang sebelumnya. Semuanya mengungkapkan hal yang sama, dan memintanya untuk berhati – hati, kalau bisa tidak berjualan lagi disini kalau tidak mau merugi saja. Saran mereka tidak mudah dilakukan Ratna. Janda tiga anak ini tidak punya simpanan uang untuk menyewa tempat yang baru bila harus meninggalkan warung yang sekarang, belum lagi Ratna sudah cukup punya banyak pelanggan selama berjualan disini, hanya saja setiap kali Ratna kedatangan banyak pelanggan, malam berikutnya Ratna akan menyaksikan satu dua orang saja yang singgah. Tak tahu apa sebabnya, tapi hati kecilnya menebak, ini pasti ada hubungannya dengan Eti, pemilik pecel lele Rupi yang terletak tak jauh dari warung Ratna. Satu lahan tanah dengan seng mengitari sebagai pagarnya adalah pemisah pecel lele Mbak Ratna dan Rupi.
Ratna pernah bekerja sebagai pemasak di pecel lele Rupi sebelum dia mendapatkan pinjaman lunak dari kelurahan untuk membuka usaha pecel lele yang sekarang ini. Dia yang mengolah sambal, menggoreng ikan dan ayam, serta mencuci piring saat itu, sedangkan Eti, sang pemilik, duduk tenang diatas kursi kayu mengawasi setiap pengunjung yang datang, dan tentu saja cara kerja Ratna. Pengambilan sambal dibatasi dengan menggunakan sebuah tempat kecil dari plastik. Bila ada pelanggan yang ingin tambah sambal, biasanya Eti yang akan maju menyambutnya, jika tidak dengan wajah ditekuk, akan keluar kata – kata,”Cabai mahal Mas, jangan banyak – banyak..!” Ratna sudah terbiasa mendengar kata – kata yang tidak mengenakkan dari Eti. Telinganya sudah kebal. Selama Eti tidak menyinggung perasaannya, atau berlaku keras secara fisik, Ratna akan tetap fokus pada pekerjaannya, yang penting dibayar pikirnya.
Eti punya seorang Ustadz di pulau Jawa sana. Disaat warungnya tak ramai, sedikit pelanggan yang datang, sehingga pemasukkan berkurang, Eti akan menyuruh anak perempuannya yang tertua untuk menelpon Ustadz itu. Setelah itu, anak perempuan Eti akan menyampaikan semua keluhan orang tuanya, dimana pada akhirnya meminta Ustadz itu untuk membuat warung orang tuanya ramai kembali. Biasanya Ustadz itu akan meminta Eti mengirimkan pulsa sekitar beberapa ratus ribu, dan menyiapkan beberapa sesaji. Mendengar itu, Ratna bisa menebak kalau ini Ustadz abal – abalan, berkedok islam untuk menyesatkan manusia.
Kemudian, anak perempuan Eti akan bersemedi dipojok warung yang gelap sepanjang malam. Bak sebuah pertunjukkan keajaiban, tak tahu apa yang dilakukan oleh anak perempuan Eti itu selama semedinya dan apa yang dilakukan oleh sang Ustadz dipulau Jawa nun jauh disana, warung pecel lele Rupi kembali ramai di malam berikutnya, sampai Ratna tak bisa istirahat lebih dari lima menit.
Kerja sepanjang malam, mendapat terpaan angin dingin yang tak kenal ampun, membuat fisik Ratna ambruk dan jatuh sakit. Eti memaklumi mengizinkan Ratna tidak masuk kerja, beristirahat sampai sehat. Malangnya, sejak saat itu Eti tidak akan melihat Ratna bekerja lagi ditempatnya. Ada bantuan modal usaha dari pemerintah Kota untuk keluarga – keluarga yang berkeinginan membuka usaha, guna menurunkan angka pengangguran sekaligus menurunkan angka kemiskinanan, tentu saja bantuan ini tidak pernah gratis. Para peminjam harus mengangsur modal yang dipinjam dengan bunga ringan dibandingkan pinjaman dari Bank. Ah, bagi rakyat kecil mana ada bunga yang ringan, karena mereka harus tetap membayar.
Ratna segera mengurusi semua persyaratan untuk mendapatkan modal usaha tersebut; kartu keluarga, dan KTP. Dia sudah lama ingin memiliki usaha pecel lele sendiri, dan kesempatan itu sekarang sudah didepan matanya, tak akan dibiarkannya lewat begitu saja. Eti sebenarnya tidak tahu menahu tentang meracik bumbu pecel lele, sambal, dan lain – lainnya. Ratna yang menangani semua itu, maka seperginya Ratna, Eti harus memutar otak agar usahanya tetap berjalan. Anehnya, warung pecel lelenya masih saja tetap ramai dengan pelanggan yang kendaraannya parkir berjubel. Namun, Ratna tidak sedikitpun terperangah dengan hal itu. Dia sudah tahu kalau Eti tidak berjualan sendiri, ada orang pintar dibalik semua keramaian pelanggan itu. Hal yang selalu bertentangan dengan keimanan Ratna setiap kali bekerja disana.
Tapi, Eti sama sekali tidak menunjukkan wajah yang bersahabat ketika Ratna mengibarkan spanduk bertuliskan ‘pecel lele Mbak Ratna’ ditempat yang tidak jauh dari warungnya. Dia dongkol sekali. Uratnya panas hingga membuat didih otaknya.
“Ratna mau bersaing rupanya. Ah! Lihat saja nanti..!”
Padahal Ratna berjualan murni untuk mencari makan, bukan untuk mencari musuh apalagi keributan. Sudah lima belas tahun dia ditinggal sang suami, saat anaknya yang paling tua masih berusia tiga tahun. Tak ayal, sepeninggal suaminya, Ratna berjuang sendiri menghidupi tiga orang anaknya yang masih bersekolah. Beban yang tak mudah untuk dipikul oleh seorang wanita. Tak urung, bulir – bulir air mata kadang menetes keluar menyusuri pelupuk matanya, tak mampu menahan kepedihan yang mendera fisik dan hatinya. Namun, hidup harus terus berjalan, ada tiga anak yang dititipkan Tuhan padanya, untuk merekalah perjuangan yang Ratna geluti sekarang.
Bila hati telah terbakar dendam, tidak ada yang bisa memadamkannya selain meluapkan semuanya dalam bentuk kemarahan dan mendapatkan kekacauan yang diinginkan, hati Eti dipenuhi perasaan ini. Beberapa pedagang buah dan nasi goreng yang berjualan disekitar warung Ratna beberapa kali memberitahu Ratna kalau suami Eti pernah berjalan ke arah warung Ratna dengan membawa sesuatu ditangannya. Mereka tidak tahu pasti apa yang dibawanya, tapi mereka yakin itu sesuatu yang tidak baik. Warung Ratna tutup biasanya pukul dua belas malam, lebih cepat dari pedagang – pedagang lainnya. Fisiknya sudah tidak mudah lagi, angin malam bisa merobohkannya dalam sekali pukulan. Dia tak ingin dipusingkan dengan sakit hingga harus mengeluarkan uang untuk biaya rumah sakit. Hutangnya sudah terlalu banyak untuk ditambah lagi dengan hal itu.
“Bu, sepertinya sosok dedemit di warung ini menjadi penghalang untuk warung Ibu, makanya sedikit orang yang datang belanja kesini. Seandainya ibu bisa melihat, tepat didepan warung ibu ini ada seonggok kotoran besar yang bau sekali. Itu juga yang membuat orang - orang enggan mampir ke warung ini,” lanjut pria itu dengan suara datar.
“Jadi, saya harus bagaimana, Pak?” tanya Ratna dengan wajah panik. Dia lupa kalau tadi bertanya tentang menu yang diinginkan pria ini.
“Kalau ibu mau, saya bisa kasih Ibu penglaris,” pria tua itu menjawab pertanyaan Ratna sambil tersenyum seakan berhasil menawarkan sebuah jalan keluar emas untuk permasalahan yang dihadapi Ratna.
Otak Ratna berpikir, saraf – saraf otaknya berlarian menyampaikan pesan keseluruh penjuru bagian tubuhnya. Akal sehatnya mengiyakan tawaran pria tua ini. Keimanan yang berdiam disudut kalbunya berdiri tegak sambil menasehati, “Itu syirik Ratna! Allah mengampuni semua dosa, kecuali syirik – menyekutukan Allah.” Pergolakkan batin terjadi, begitu juga dipikirannya, seperti riak gelombang ombak yang menghempas – hempas di pantai. Tawaran untuk menggunakan penglaris ini juga bukan yang pertama kali didapatkan Ratna. Sudah ada dua orang lainnya menawarkan hal yang sama, ditolak Ratna. Tapi untuk yang satu ini, ditengah kondisi dagangan tak laris – laris, uang yang masuk tak sebanding pengeluaran, sedangkan kebutuhan sehari – hari tak bisa ditutupi, anak – anaknya butuh perlengkapan sekolah, dan tentu saja, ada hutang yang harus diangsur, maka tawaran pria ini sulit untuk ditolak. Ratna tak pernah menyangka kalau dunia perdagangan dipenuhi mistis – mistis ghaib perjanjian dengan jin sebagai penglaris dagangan. Pria itu melihat kebimbangan dari sorot mata Ratna, sekaligus menangkap kesempatan.
“Ini kartu nama saya. Kalau Ibu berubah pikiran nanti, hubungi saja nomor telpon yang ada di kartu itu. Penglaris yang saya berikan beda dengan yang lain, Bu. Buktikan saja nanti. Sekarang hanya lalat banyak menggerumbungi warung Ibu ini, tapi dengan penglaris dari saya nanti, lalat – lalat ini akan berubah jadi pelanggan, berbondong – bondong masuk ke warung Ibu dan makan,” pria itu berkata dengan nada rendah terdengar sangat meyakinkan, kemudian dia pamit pergi. Tak jadi makan. Ratna terbengong. Satu lagi pelanggan yang pergi. Dia menghela nafas panjang, terduduk dikursi plastiknya dengan pandangan penuh kebingungan.
Apa yang salah dengan Ratna? Dia sering memberikan makan pengemis, ataupun penjaga kuburan yang singgah di warungnya. Peminta - minta yang yang datang kewarungnya juga kebagian sedekah recehan darinya. Bukankah itu semua kebaikan yang bisa mengundang rezeki dari Tuhan? Tapi mengapa kondisi Ratna jadi merugi begini? Sepulang dari berjualan, Ratna selalu menyempatkan untuk shalat malam. Apakah itu masih tak cukup untuk merayu Tuhan agar menitipkan rezeki berlebih padanya? Sungguh, hal yang sulit diterima akal, semoga Ratna tak kehilangan akalnya disebabkan hal itu.
Seorang laki laki dengan wajah ceria masuk ke warung Ratna. Dia melintasi Ratna namun tidak mendapat respon. Satu sosok yang sebenarnya sangat dikenal oleh Ratna. “Bu! Oi, Bu!” laki – laki itu berteriak ke arah Ratna. Dia tersenyum melihat Ratna yang terkejut bukan kepalang. “Lagi ngelamunin apa? Saya mau ayam goreng Bu, makan disini,” lanjut laki – laki itu sambil menuju ke meja tempat makan.
Tanpa menjawab pertanyaan laki – laki itu, Ratna segera beranjak dari tempat duduknya, mengambil satu paha ayam dan mulai menggoreng. Laki – laki itu terlihat gembira sekali melihat – lihat ke arah sebuah cincin yang dipegangnya. “Saya mau menikah lagi, Bu,” laki – laki itu menjelaskan. Pikiran Ratna masih melayang jauh dari tempatnya sekarang. Jadi, dia tidak menanggapi kata – kata laki – laki itu. “Istri pertama saya kemarin meninggal. Sekarang, saya mau melamar seorang gadis cantik, Bu. Bosan saya hidup sendirian, serasa tidak ada lagi yang mau dikejar. Pekerjaan sudah ada, gaji mencukupi, tapi pasangan belum ada. Semoga gadis yang akan saya lamar ini adalah jodoh saya, pelengkap setengah agama saya, Bu.” Laki – laki itu terus mengoceh dengan mata berbinar – binar melihat ke arah sebuah cincin emas yang dipegangnya. Ratna tidak menyadari kalau mata laki – laki itu sekali – sekali mencuri pandang ke arahnya. Fisik Ratna cepat menyiapkan menu yang dipesan laki – laki itu, tanpa menanggapi penjelasannya tadi, pikiran Ratna masih tersangkut pada soal penglaris. Selesai menyajikan menu yang diminta si laki – laki, Ratna kembali duduk dikursi plastiknya. Masih terdiam. Akhirnya, malam itu cuma ada satu orang pelanggan yang belanja di warungnya, si laki – laki dengan cincin emas itu. Kondisi ini semakin menguatkan bisikan setan untuk mencoba penglaris yang ditawarkan pria tua tadi.
***
Sesampai dirumah, Ratna melemparkan tubuhnya diatas kasur. Matanya terasa berat, pikirannya terasa kalut. Kesekian kalinya, dia pulang tanpa uang yang setimpal. Bagaimana belanja untuk besok pagi? Uang jajan untuk anak – anaknya? Kepalanya semakin terasa berat seperti ditimpali besi baja, dan akhirnya dia terpejam. Hatinya sudah mulai condong pada penglaris. Mungkin memang itulah solusi atas semua permasalahan keuangan ini. Rasanya setiap pedagang menggunakan penglaris, jadi tak ada salahnya mencoba, satu lagi rayuan setan terbersit dipikirannya.
Diluar perkiraan, dalam tidur Ratna hanyut di alam mimpi, bertemu dengan seorang laki – laki yang dulu tidak menyuruhnya bekerja, karena nafkah dia yang beri - suaminya.
“Ratna, sukakah kau menukar surga dengan neraka demi kenikmatan yang tidak lebih dari umur seekor kuda?”
Hah!... Ratna terbangun. Mulutnya mengucap Istighfar berkali – kali sambil mengurut dada. Pikirannya melayang mencoba memikirkan kata – kata yang diucapkan suaminya dalam mimpi barusan. Dia jarang bermimpi tentang suaminya. Berarti mimpi tadi pasti ada maksud yang tersembunyi. Tak salah lagi, pasti ada hubungan dengan tawaran penglaris itu, otak Ratna menyelidiki. Dia lihat jarum jam menunjuk pukul tiga pagi. Ratna memutuskan untuk mengambil wudhu, mengerjakan shalat malam. Hatinya khusyuk menghadap pada Allah, dihamburkannya semua keluh kesah pada sang pencipta dengan mengangkat tangan tinggi – tinggi. Lirih bibirnya berucap,
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu baginya; dan demikian itulah diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama – tama menyerahkan diri kepada Allah…”
Diusapnya muka yang sudah penuh dengan air mata. Dia membaca surat Al An-‘Am ayat 162 – 163 dalam do’anya. Hati Ratna terasa dialiri air dingin yang menyejukkan. Pikirannya yang kacau kembali tenang. “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah? Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu, termasuk bagi pria itu. Aku tidak akan menukar surga dengan neraka untuk hidup yang seumur kuda ini. Biarlah kunikmati setiap kesulitan berdagang dengan ikhlas, kuyakin Allah disana tersenyum melihatku teguh pada jalanNya.”
Ratna bangkit dari tempat shalatnya, meraih tas yang digunakannya tempat menyimpan uang hasil jualannya. Ketika tangannya merogoh isi dalam tas itu, dia menyentuh benda bulat kecil. Hatinya langsung terbetik, ini cincin! Dengan cepat dia keluarkan tangannya, terlihat sebuah cincin emas berkilau disinari cahaya lampu. Segera kebingungan menyergap pikiran dan hatinya, namun… dia langsung teringat seorang laki – laki yang tadi masuk ke warungnya, satu – satunya pelanggan malam ini yang makan.
“Oh… dia… Heri… oh… betapa bodohnya aku mengacuhkannya tadi karena memikirkan penglaris. Jadiii.. gadis yang diceritakannya tadi itu… diriku… benarkah? Ah, dia menggodaku dengan mengatakan akan melamar seorang gadis.” Ratna langsung bersimpuh, sujud syukur. Heri bukanlah orang asing bagi Ratna. Tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah Ratna. Dia laki – laki yang baik, menduda karena ditinggal istrinya yang meninggal dunia karena sakit kanker. Dia pria yang mapan, hidup bersamanya pasti akan meringankan beban perjuangan Ratna. Dan cincin ini pertanda bahwa Heri serius ingin mempersunting Ratna sebagai istrinya. Beginilah ajaibnya Tuhan. Dia memberikan solusi disaat hambanya akan berputus asa. Disaat Ratna bimbang dengan masalahnya dan ingin memutuskan memakai penglaris, disaat itu pula Dia mengirim Heri untuk menjadi solusi atas kesulitannya. Cuma butuh kesabaran dan shalat untuk menyingkap dan melihat solusi suci itu secara jelas, seperti firman Allah,
”Jadikanlah, sabar dan shalat sebagai penolongmu.” Surat Al – Baqarah ayat 153.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H