Namun tanpa dinyana. Mereka bergerak masif. Tanpa ada yang memberi aba-aba. Tanpa diberi komando. Sejadi-jadinya. Mereka kompak memberikan perlawanan dengan seimbang.Â
Tidak ada yang tahu keberanian anak-anak STM ini sebesar apa. Gas air mata yang meluncur deras ke arah anak-anak STM dilempar kembali. Begitu seterusnya sampai para aparat pun panik, tercerai berai. Bahkan semprotan air yang menghunjam, menjadi candaan. "Gua mau air. Gua mau air. Sini tambah!" Teriak anak-anak STM. Tak ada rasa gentar. Tak ada rasa takut. Mereka bermain dengan riangnya. Sampai semua amunisi yang dimiliki oleh para aparat habis. Dan telak dipukul mundur oleh anak-anak STM hingga terkepung di apartemem Semanggi.Â
Pada akhirnya para aparat menyatakan damai. Kemudian anak-anak STM mendesak mereka supaya berada di barisan para demonstran.Â
Apa yang dilakukan para demonstran? Membalasnya dengan perlakuan yang sama seperti yang dilakukan aparat terhadap teman-teman mahasiswanya? Ternyata tidak!Â
Mereka lebih bernorma dibandingkan aparat.Â
Pun ketika ricuh menggiring kendaraan polisi, masih sempat-sempatnya anak-anak STM ini berteriak, "Jangan rusuh woi! Jangan rusuh!" Juga ketika adzan Maghrib berkumandang, sedangkan polisi berjibaku dengan gas air matanya, "Tahan dulu woi. Belajar ngaji lo."Â
***
Terkadang kita perlu belajar dari mereka dengan tidak memandang sebelah mata. STM dengan penampilannya yang 'slebor dan acak-acakan. Tak melulu lebih buruk disandingkan dengan prilaku mereka. Pun bisa lebih baik dari aparat yang terbilang berpendidikan dengan seragam rapi, bergaji dan memiliki fasilitas lengkap yang menempel di bajunya. Namun belas kasihnya tidak ada, etika tidak dipakai.
Andaikan tidak bersikap represif, tentu ada jalan lebih baik.
27 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H