Mohon tunggu...
Cathaleya Soffa
Cathaleya Soffa Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga

Bersyukur dan jalani saja hidup ini. Man jadda wa jadaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pisang Goreng

10 September 2019   22:13 Diperbarui: 10 September 2019   22:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aiih... pagi-pagi begini bunyi musik keroncong di perutku terdengar merdu sekali. 

"Bu De. Nasi ramesnya satu bungkus ya" pintaku padanya.

"Sayurnya sama apa, Mbak e?"

"Sayur lodeh boleh. Lauknya sama telor ceplok saja." 

"Oh. Sebentar ya."

Menunggu Bu De warung meracik makanan yang kupesan, berasa lama sekali. 

Tugas kampus kemarin membuatku lupa untuk makan malam. Setelah semuanya beres, aku buru-buru tidur di ranjang. Sampai tidak sadar waktu menunjukkan jam empat menjelang subuh. Jam bekerku berdering kencang. Barulah aku tersadar. Aku belum makan malam.

Pagi-pagi sekali aku ke warung Bu De langgananku. Padahal pintunya saja belum dibuka. Aku sudah menunggu di depan rumahnya. 

Bersyukurlah. Ketika Bu De membuka warungnya, makanan sudah siap tersaji. 

Aku menyapu pandanganku ke arah makanan yang sudah terhidang di atas meja. Ada pisang goreng kesukaanku. Tergeletak di antara makanan itu. Wauw. Ada makanan favoritku nih. Tanpa berpikir panjang, kucomot satu penganan yang masih hangat-hangat kuku.

Tetiba saja ada anak kecil mojok di ruangan sempit menangis histeris. Dia memanggil ibunya. 

"Huwaa.... huwaaa....Maak"

"Eh, kenapa Dek?" Aku menyapanya.

"Huwaa.... huwaaa..." dia makin mengeraskan suaranya.

Hah! Nih anak kenapa coba. 

"Bu De, adek itu kenapa?" Tanyaku penasaran. Disapa, makin ngegas.

"Ah, biasa. Emang begitu." Bu De tidak memperhatikan tangisan anaknya.

"Huwaa... huwaaa..." 

"Kenapa Dek?" Kembali kusapa adek itu.

"Udah jangan digubris. Lagi manja saja dia." Bu De memintaku untuk mengabaikan tangisan anak itu.

"Huwaa... huwaaa. Kakak itu." Eh, dia nunjuk-nunjuk ke arahku.

"Jangan bikin gara-gara." Bu De warung memarahi anaknya.

"Dia makan pisang gorengkuu..., Huwaa... huwaaa...." Dia menangis sejadi-jadinya. Lebih kenceng malah.

Aku terperanjat. Oh, jadi gegara ini. Makan pisang goreng miliknya. Ya Tuhan. Kupikir pisang goreng yang kumakan itu dijual, makanya aku berani mengambil satu untuk kumakan. 

Salah sendiri terhidang apik di depanku. Mana kutahu kalau pisang goreng ini miliknya. 

10 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun