Namanya Anna. Apel yang berasal dari pegunungan indah. Kota tempat kita kali pertama bersua.
Sepagi subuh hingga terbenam, terik tak mau mendekat. Dingin digigil sepanjang malam dan hari. Selimut kabut pekat berantak di rimbun daun.
Aku menenteng keranjang. Kupunguti apel anna yang terjatuh. Kupetiki buahnya yang matang.Â
Kamu di antara pohon pohon itu. Berdiri mematung menatap bayang bayang kabut yang turun. Semilir menyapu ilalang.
Kujumputi bunga bunganya. Kukumpulkan dan kuronce. Sebagiannya kusimpan dalam genggaman.
Kamu masih mematung di situ. Geming beku tanpa asbab. Seolah kamu bangunan es di kutub utara. Aku risau.
Hai...
(Hai... hai... hai... hai... )
Haaai...
(Hai... hai... hai... hai... )
Pantulan suara itu mengikuti teriakanku. Kau terusik. Hanya pundakmu yang sedikit terangkat.Â
Auwa uoooo....
Kutirukan teriakan gaya tarzan. Berkali dan pecahlah sunyi.Â
Bunga bunga ilalang masih dalam genggaman. Kudekati kamu dan bertanya. Apa yang kau pikirkan, dear? Senyum tipismu mengembang. Bunga bunga ilalang kuhambur ke wajahmu.Â
Kali ini kamu terpekik.
Kamu punguti daun daun yang berserak. Kamu lempari wajahku dengan daun daun itu.
Aku berlari...
....
Apel anna masih tinggal sekerat. Setelah kumakan beberapa butir baru saja.
Ciputat, 5 Juli  2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H